Keterangan Tulisan Tentang Cangkolang

 Ach. Maimun Syamsuddin

Berikut keterangan tambahan dari tulisan tentang cangkolang:

Tulisan bersambung:

  1. Hermeneutika Cangkolang dalam Proses Pendidikan Berbasis Moral, baca:
  2. Cangkolang: dari Moralitas Magis, baca:
  3. Cangkolang sebagai Titik Awal, baca:
  4. Keterangan Tulisan Tentang Cangkolang, baca:

******************

  1. Pandangan tentang dua fungsi pendidikan (normatif dan dinamis-progresif) di atas diambil dari Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, Yogyakarta: Ittaqa Press, cet. ke-2, 2001, hlm. 199. Pembagian ini sejalan dengan dua paradigma pemikiran dalam pendidikan (1) progresivisme yang memandang pendidikan sebagai cultural transformation dan (2) esensialisme yang melihat pendidikan sebagai cultural conservation.
  2. Lebih lengkapnya lihat Frederick Copleston, A History of Philosophy, New York: Image Book, 1953, vol. 4, hlm. 100 dst.
  3. Pengingkaran terhadap otoritas Kitab Suci dan Nabi serta tidak adanya pengakuan tehadap pengetahuan yang diperoleh secara intuitif ini yang disebut S. M. Naquib al-Attas sebagai visi sekuler yang bertentangan dengan metafisika Islam yang seharusnya menjadi dasar ilmu dalam Islam. Lihat Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995, hlm. 113 dst.
  4. Uraian sekilas tentang Bacon dapat dilihat antara lain dalam F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm. 27-28.
  5. Jürgen Habermas mengulasnya panjang lebar dalam bukunya Knowledge and Human Interests, Boston: Beacon Press, 1971.
  6. Hanya baru-baru ini saja muncul teori “kecerdasan emosinal” (emotional quotient) yang dirintis Daniel Goleman dan “kecerdasan spiritual” (spiritual quotient) oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Kedua jenis kecerdasan itu merevisi pandangan kecerdasan tunggal (kecerdasan intelegensial) yang selama ini menjadi satu-satunya kecerdasan yang diakui, khususnya dalam dunia pendidikan.
  7. Guru sebagai poros moral karena pada masa lampau, kualifikasi seorang guru adalah moralitasnya, sementara kualifikasi keilmuan nomor dua. Sebaliknya pada saat ini. Persoalan moralitas guru, penonjolan aspek ekonomi dalam profesi keguruan dan semakin ketatnya birokrasi dan formalitas pendidikan ditunjuk sebagai faktor mengeringnya interaksi guru dan murid sehingga murid tak menemukan figur dan sentuhan untuk memperbaiki moralitas dirinya. Lihat Azyumardi Azra, “Guru, Birokrasi dan Fobi Sekolah,” dalam Horison Esai Indonesia (Kitab 2), ed. Taufik Ismail, dkk., Jakarta: Horison, 2004, hlm. 351-357.
  8. Sterotype tersebut justru diciptakan oleh orang Jawa yang merasa lebih maju, beradab dan santun. Lihat resensi Sindunata atas buku Huub de Jong Across Madura Strait dengan judul “Malangnya Orang Madura, Teganya Orang Jawa”, dalam Basis,no. 09-10 Desember 2006|

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.