Kharisma dan Karakteristik Pemimpin Madura

Badrus Syamsi

a. Kiyai

kiai Seperti kita tahu, penduduk Madura mayoritas memeluk Islam. Kenyataan ini kemudian menempatkan tokoh agama (kiai) pada posisi yang sangat penting dan sentral di tengah masyarakat. Bahkan, bagi masyarakat Madura, kiai dipandang tidak hanya sebagai subyek yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga sebagai subyek yang mempunyai kekuatan linuwih. Itu sebabnya, ia juga berperan sebagai tabib, yang dimintai mantra atau jimat dalam segala urusan dan tempat belajar ilmu kanuragan.

Kiai membangun relasi kuasa melalui proses kultural, yaitu melakukan islamisasi. Beragam media kultural mereka ciptakan untuk membangun kesadaran keagamaan umat, misalnya, membangun langgar, pondok pesantren, dan sekolah agama. Di sini awalnya kiai melakukan transfer pengetahuan keagamaan, tetapi pada ujungnya menjadikan dirinya sebagai kekuatan hegemoni dalam mengonstruk bangunan kognitif dan tindakan sosial masyarakat.

Peran kiai di Madura sebagai pemimpin agama sangat dekat dengan hal-hal yang bersifat politik. Hal ini tidak dapat dielakkan karena kiai memiliki massa yang besar dan dengan sangat mudah menggerakkan massa (ummat) tersebut untuk kepentingan politik. Sementara sebagian massa tersebut adalah santri atau keluarga santri, atau mereka yang memiliki hubungan secara emosional keagamaan dengan kiai. Dari kekuatan tersebut kiai memiliki peran yang kuat dan berbeda dibandingkan masyarakat pada umumnya.

Agama dan Politik:Kiai Sebagai Sentral

Pemimpin kegamaan di Madura terdiri dari tiga kelompok, yaitu;santri, kyai dan haji. Murid yang menuntut ilmu disebut santri, guru agama yang mengajari santri disebut kyai, dan mereka yang kembali dari menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan Madinah disebut haji. Ketiga kelompok tersebut berperan sebagai pemimpin keagamaan di Masjid, Musholla, acara ritual keagamaan dan acara seremonial lain, dimana mereka berperan sebagai pemimpinnya. Diantara ketiganya, kyai merupakan tokoh yang paling berpengaruh, dan oleh Kuntowijoyo, kyai Madura disebut dengan elit desa. Pengetahuan yang mendalam tentang Islam menjadikan mereka paling terdidik di desa. Beberapa kiai selain tetap menyampaikan keahliannya soal-soal agama, juga dapat meramalkan nasib, menyembuhkan orang sakit dan mengajar olah kanuragan. Kyai Madura dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis;guru ngaji, yang mengajarkan al-Qur’an, guru ngaji kitab yang mengajarkan berbagai jenis ilmu agama, dan guru tarekat yang disebut juga pemimpin tarekat.

Peranan kiai di Madura sangat penting, dan orientasi masyarakat Madura adalah kiai, tidak pada kepemimpinan birokrasi. Pandangan ini yang kemudian dimaknai “kegagalan” integrasi politik dan ekonomi Madura dalam sistem nasional, sebagaimana ditunjukkan oleh tipisnya pengaruh partai pemerintah dalam beberapa kali Pemilu. Dalam penelitian Towen-Bouswsma (1988) dan Joordan (1985) disimpulkan, bahwa terdapat indikasi yang sangat kuat adanya “kegagalan” pemerintah dalam mengintegrasikan sistem politik dan ekonomi yang bersifat nasional dalam kehidupan masyarakat Madura. Pandangan kedua peneliti tersebut dibantah oleh Kuntowijoyo yang menyatakan, bahwa kuatnya pengaruh kiai di tengah masyarakat Madura karena faktor ekologi dan sistem sosial. Ekologi tegalan hingga sekarang masih dominan. Apa yang dikenal dengan “Revolusi Hijau” dan “Revolusi Biru” di bidang pertanian tidak mampu merubah sistem sosial, politik dan kultural Madura. Ekosistem tegal sudah menjadi satu dengan masyarakat Madura, sehingga sulit untuk memisahkan pengaruhnya pada organisasi sosial dan sistem simbol masyarakatnya.

Pola ekosistem tegalan di atas dimaksudkan untuk menujukkan pola pemukiman dan sekaligus organisasi desa. Di Madura, sama halnya di Jawa, pola pemukiman persawahan mengelompok pada satu induk (nuclear village) dengan persawahan di sekitar desa. Akan tetapi, karena jumlah sawah tidak teralu berarti, maka pola pemukiman semacam itu jarang terjadi. Kebanyakan desa mempunyai pola desa tersebar (scattered village), dimana perumahan penduduk terpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Untuk mempersatukan desa-desa yang terpencar itu, perlu ada jenis organisasi sosial lain yang mampu membangunkan solidaritas . Di sinilah letak pentingnya agama dan kiai di pedesaan Madura.

Karena desa tidak dipersatukan dalam suasana ekonomi, maka sistem simbol menjadi lebih kuat. Demikian juga, karena terpencar, perlu ada pengikat yang menjembatani pemecahan desa. Dalam hal ini agama menjadi “organizing principle” bagi orang Madura. Pertama, agama memberikan collective sentiment melalui upacara-upacara ibadah dan ritual serta simbol yang satu. Misalnya, di Madura orang juga terpaksa membangun Masjid desa untuk melaksanakan ibadah jum’at secara bersama, karena dalam ketentuan syariat, tidaklah sah shalat jum’at yang tidak dihadiri 40 orang jamaah. Keharusan agamalah yang menjadikan masyarakat Madura menjadi masyarakat dengan membentuk organisasi sosial, yang didasarkan pada agama dan pada otoritas kiai. Masyarakat sipil yang dibangun di atas masyarakat desa hanya menjadi organisasi supradesa yang berada di permukaan, tetapi tidak mempunyai raison d’etre-nya sendiri.

Sebagaimana masyarakat patrimonial yang memegang teguh hierarki, posisi kiai sebagai pemimpim keagamaan dalam masyarakat Madura menjadi sangat kuat. Kekuasaan sosial terpusat pada tokoh-tokoh yang secara tradisional keberadaannya sangat dibutuhkan untuk mempersatukan mereka, bukan karena dipaksakan maupun keinginan para tokohnya. Dalam konteks inilah yang awalnya peran kiai hanya menyempit dalam area keagamaan kemudian melebar ke kawasan sosial dan bahkan politik.

Selain itu, pandangan hidup orang Madura antara lain tercermin dalam ungkapan bhuppa’ bhabbu’ ghuru rato. Pandangan ini menyangkut filosofi kepatuhan orang Madura pada bapak, ibu, guru dan raja (pemimpin formal), yang mereka sebut sebagai figur-figur utama. Dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara khirarkikal . Sebagai aturan normatif yang mengikat kepada semua orang Madura, maka palanggaran atau paling tidak—melalaikan aturan itu—akan mendapat sangsi sosial secara kultural.

Kepatuhan kepada guru merupakan aturan yang sangat normatif yang menjadi dasar bagi setiap makhluk di dunia. Bagaimana dengan kepatuhan kepada guru di Madura? Pada tataran ini Wiyata lebih menggaris bawahi bahwa tidak semua masyarakat dapat mematuhi guru sekuat orang Madura. Bagi orang Madura, guru (kiai) merupaka jaminan masalah moralitas dan masalah-masalah ukhrawi, maka kepatuhan orang Madura kepada guru didasarkan pada alasan tersebut. Sementara rato dalam sejarah Madura banyak dipegang oleh para kiai. Dari sinilah filosofi tersebut sangat kuat dan menjadi penanda identitas kultural orang Madura. Dari sini dapat dilihat bahwa ketaatan orang Madura pada kiai karena memang filosofi hidup mereka yang sangat kuat terbentuk sejak dini.

b. Blater

Adapun struktur ekologis wilayahnya yang tandus dan tidak produktif telah menyebabkan masyarakatnya mengalami kemiskinan sosial-ekonomi. Di samping memang adanya pengalaman masyarakat Madura di masa kapitalisme kolonial yang mengalami proses eksploitasi dan dehumanisasi. Kenyataan ini melahirkan perilaku kriminal di tengah masyarakat. Di sinilah blater muncul. Dalam konsepsi masyarakat Madura, blater adalah orang yang memiliki kemampuan olah kanuragan, dan kekuatan magis yang (biasanya) mereka digunakan dalam tindak kriminal. Bagi masyarakat Madura sendiri, ada dua pandangan mengenai sosok blater ini. Ada blater yang memberikan perlindungan keselamatan secara fisik kepada masyarakat, berperilaku sopan dan tidak sombong. Namun, ada juga blater yang disebut “bajingan” karena tidak menjalankan peran sosial yang baik di masyarakat.

Mereka ditakuti masyarakat karena keberingasan sosialnya. Kelompok itu dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti kepentingan politik. Hubungan antara kiai dengan kelompok blater cenderung bersifat simbiosis, saling membutuhkan, walaupun fungsi dan peranan sosial mereka antagonistic. Tidak sedikit, seorang kiai atau haji memiliki latar belakang sosial sebagai blater sehingga kadang-kadang perangai blater-nya tetap muncul, sekalipun mereka sudah menyandang symbol-simbol keagamaan Islam tersebut.

Kaum blater masih dominan di posisi sebagai elite pedesaan, belum merangkak secara cepat layaknya kiai yang begitu eksis dan tampil dominan sebagai elite perkotaan. Blater sebagai orang kuat di desa masih tampil cukup dominan. Di pedesaan, komunitas blater masih memainkan peran sebagai broker keamanan dalam interaksi ekonomi dan sosial politik. Selain itu, tak sedikit yang bermain di dua kaki, selain sebagai broker keamanan juga sebagai tokoh formal, yakni menjadi state apparatus dengan cara menjadi klebun (kepala desa). Di banyak tempat di pedesaan Madura, tak sedikit klebun desa berasal dari komunitas blater atau dipegaruhi oleh politik perblateran.

Berbeda dengan kiai, dalam membangun kekuatan sosial, blater melakukannya melalui praktik-praktik kriminal, seperti carok, sabung ayam, dan modus pencurian dan perampokan. Blater yang sudah kembali hidup normal dalam masyarakat biasanya menjadi penengah dan mediator yang baik dalam menyelesaikan konflik antaranggota masyarakat. Itu sebabnya, ideologi sosial yang mereka bangun adalah membantu masyarakat. Dua kekuatan ini, dalam konteks pembentukan karakter masyarakat Madura, perannya sangat terasa. Tradisi blater, misalnya, telah membentuk karakter masyarakat Madura yang keras dalam membela harga diri.

c. Perempuan atau Wanita Madura

Catatan VOC Daghregister tanggal 15 September 1624 “Orang Madura nyatanya bukan hanya laki-laki yang ikut berperang, akan tetapi perempuan pun ikut berperang dan peperangan tersebut tidak kalah dari laki-laki. Apabila ada laiki-laki yang luka dibagian punggungnya, maka oleh tentara wanita dibunuh sekalian, sebab dibagian punggung tersebut menunjukkan laki-laki tersebut melarikan diri dari peperangan yang kemudian dikejar oleh musuh sampai berhasil dilukai. Akan tetapi lukanya dibagian depan, maka oleh para wanita madura segera di obati, karena luka yang demikian menunjukkan bahwa luka yang diakibatkan dari pertempuran yang berhadap-hadapan. “

Dari penggalan-penggalan kalimat tersebut, memberikan gambaran bagaimana wanita Madura sangat berperan dalam membantu keberhasilan perjuangan kaum laki-laki. Disamping itu, para wanita Madura berperan besar dalam membangun karakter kaum laki-laki Madura sebagai pejuang yang tangguh, pantang menyerah dan berjiwa kesatria dalam membela kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negaranya.

Nilai-nilai inilah yang senantiasa diturunkan dari generasi ke generasi dan karakter tersebut tetap berlanjut dan menjadi bagian integral dalam prinsip-prinsip hidup masyarakat Madura hingga saat ini.

Dengan demikian, dapat ditarik suatu garis tegas bahwa peran wanita Madura memiliki peran setara dengan kaum lelakinya, baik dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam peperangan sekalipun. Bahkan dalam konteks-konteks tertentu peran wanita Madura terlihat sangat keras dan sangat menentukan keberhasilan kaum laki-laki, tanpa mengesampingkan posisi laki-laki sebagai pemimpin dan pelindung kehormatan wanita.

d. Pergeseran Nilai Pemimpin Madura

Selain kiai masih memainkan peran sesuai dengan statusnya sebagai seorang kiai, ia tidak akan menuai “gugatan” umatnya. Akan tetapi, dalam hal politik praktis, akhir-akhir ini, ada pergeseran pandangan masyarakat terhadap para kiainya .Masuknya kiai didalam ranah politik, baik sebagai politisi, maupun sebagai pejabat politik didaerah, seperti sebagai bupati atau ketua DPRD, sering mengundang apresiasi negative masyarakat atau umatnya. Tidak ada larangan bagi sesorang kiai untuk memiliki usaha ekonomi.yang penting,dalam hal ini adalah kiai itu tidak terlibat langsung dalam kegiatan usaha ekonominya.Dikatakan,di madura ini para kiai juga banyak yang menanam tembakau.Artinya,kiai itu bertani.Tetapi,proses penanaman dan kegiatan produksinya itu dilakukan oleh santri-santrinya atau diperkerjakan/dipercayakan kepada orang lain.santri-santri tersebut tidak dibayar karena yakin para santri akan memperoleh barokah kiai.

Jadi, kyai tidak menanggani kegiatan tersebut secara langsung. Kalau kyai sendiri yang terjun berdagang atau bertani, hal seperti ini akan tidak dihargai oleh masyarakat. Sebaliknya, jika urusan bertani dan berdagang diserahkan atau dipercayakan kepada orang lain, walaupun modal usahanya dari kiai, tidak berpengaruh apa-apa terhadap martabat kiai. Di Madura ini, kata Pak Rachmat, sulit masyarakat menerima seorang kiai yang merangkap sebagai petani atau pedagang sebagaimana layaknya petani atau pedagang yang sesungguhnya.

Sumber: http://badrus-syamsi.blogspot.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.