Madura Dimata Penyair

Esai:  Homaedi

Berbicara ranah Madura, tentu banyak aspek yang menjadi rujukan sebagai pandangan kita untuk mengetahui semua seluk-beluk, serta keanekaragaman yang ada di pulau garam; baik secara geografis, sosial, releguitas, tradisi, serta gerak historis budaya yang masih kental di kalangan masyarakat Madura itu sendiri.

Simbol yang melekat menjadi identitas jati diri sebagai penghormatan yang bisa di kata tetap memegang teguh warisan tanah leluhur. Seperti ungkapan “Lebih Baik Putih Tulang dari pada Putih Mata” masih menjadi bagian tradisi masyarakat Madura hingga dewasa ini, yang patut di acungi dua jempol melihat budaya dan tradisi barat sudah banyak mengkompori, bahkan bisa merenggut sebagian kelestarian budaya kita yang menganut adat ketimuran, dan itu tak boleh dibiarkan, bukan?!.

Seperti ungkapkan Joni Ariadinata presiden cerpenis Indonesia dalam Mata Blater karya Mahwi Air Tawar “Ketika mendengar kata Madura, maka yang pertama kali tergambar adalah paradoks dari keluguan dan kecerdasan, kesombongan, serta kekerasan dan sekaligus kelucuan. Madura itu unik, Orang Madura di manapun ia berada akan selalu bisa dengan mudah dibedakan; baik dari cara ia berbicara (dari logat misalnya), tingkah laku, maupun cara ia memandang sebuah persoalan. Ia bisa sombong sekaligus bisa sangat religius.” Di luar itu semua, kekayaan kebudayaan Madura cukup tinggi, naluri tersebut tumbuh dari rasa rohani, rasa intelek, rasa etik dan estetik, rasa seni, rasa agama dan rasa diri dengan tradisi yang menyelimuti hari-hari.

Madura selain terkenal sebagai pulau garam dan tembakaunya, juga menyimpan banyak potensi dalam bidang penelitian. Sudah banyak buku-buku yang lahir dari tanah Madura, baik yang dilakukan oleh orang luar, ataupun orang Madura itu sendiri. Semisal “Lebur” karya Hob de Jonge dan Helena Bouvie, atau “Garam, Kekerasan dan Aduan Sapi” yang juga di garap oleh Hob de Jonge. Buku lain semisal “Manusia Madura” karya Prof. Mien Rifa’i dan “Mencari Madura” karya Dr. A. Latif Wiyata bisa menjadi rujukan bagi kalangan akademisi untuk menelisik lebih jauh tentang semua yang muskil di pulau Madura.

Selain dalam bidang penelitian, Madura juga banyak menyimpan potensi lain, di antaranya dunia kepenyairan (sastrawan). Ini bisa kita lihat dari beberapa nama yang sudah malang melintang di dunia kepenyairan baik Nasional maupun Internasional; D Zawawi Imron, Abdul Hadi WM, yang lebih muda Jamal D Rahman, Ahmad Nurulah, Syaf Anton WR, Hidayat Raharja, Timur Budi Raja, M. Faizi, dan Ahmad Faisal. Lalu bagaimana para penyair di atas melihat Madura dengan mata kepenyairannya?

Semua pencinta sastra (puisi) di Indonesia tentu sama-sama tahu D. Zawawi Imron adalah “penyair Madura” yang menulis dalam bahasa Indonesia dengan mengangkat khazanah Madura dalam sajak-sajaknya. Penyair yang menjadikan Madura hadir secara amat bermakna dalam khazanah sastra Indonesia. Lahir, tumbuh, dan besar di Madura tentu membuat Zawawi akrab dengan idiom-idiom Madura, sehingga dia bisa memaknai secara intens dalam sajaknya. Yang lebih penting dia tampak melakukan pergulatan batin dan dialog dengan lingkungan terdekat; pohon siwalan, lenguh sapi, kalung genta sapi kerapan, saronen (musik tradisional Madura pengiring kerapan sapi), legenda rakyat Madura, kemarau, laut, tanah gersang, dan lain-lain.

Madura telah menjadi sumber inspirasi sejak masa-masa awal kepenyairannya hingga kini yang masih setia terhadap tanah kelahirannya (Madura). Pada dekade 1970-an penyair-penyair Indonesia yang belum benar-benar menonjol kala itu, A. Teeuw mengatakan bahwa Zawawi adalah “Seorang penyair dari Madura, dengan mutu sajak-sajaknya yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi” (A. Teeuw, 1989: 163). Pernyataan tersebut tidak berlebihan mengaca pada karya-karyanya yang lahir dari rahim tanah gersang, kemarau, pedesaan, celurit, tradisi, asin garam pulau Madura yang sangat fenomenal hingga mengantarkan Zawawi pada tahun 1990, Nenekmoyangku Air Mata dan Celurit Emas terpilih sebagai buku kumpulan puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (kini: Pusat Bahasa), Departemen Pendidikan Nasional RI. Di samping itu, kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang mengilhami film arahan sutradara Garin Nugroho, berjudul Bulan Tertusuk Ilalang (1995). Film ini mendapat sejumlah penghargaan, di antaranya pada Festival Film Nantes, Prancis (November 1995). Penghargaan terbaru, Zawawi meraih hadiah Sastra Asia Tenggara atau South East Asia Write Award 2012, yang dilaksanakan di Mandarin Oriental, Bangkok pada 16 Februari 2012 yang lalu.

Penyair Madura lainnya seperti Jamal D. Rahman dalam artikelnya D. Zawawi Imron: Duta Madura untuk Sastra Indonesia Modern 2008 mengungkapkan “Dia (Zawawi) manusia ajaib dalam khazanah sastra Indonesia. Apa yang bisa di jelaskan bahwa dari Batang-batang, sebuah desa sekitar 20 km sebelah timur kota Sumenep Madura, lahir seorang penyair penting Indonesia yang sangat produktif, tanpa pendidikan dan pergaulan intelektual yang memadai?

Tidak seperti banyak pernyair Indonesia, D. Zawawi Imron tetap memilih tinggal di desa kelahirannya, tempat inspirasi bergumul dengan imajinasi yang kemudian diolahnya menjadi konstruksi serta konsep estetis yang relatif memukau. Hubungannya dengan kepenyairan Zawawi yang paling penting dari desa kelahirannya mungkin kekayaan alamnya, kekayaan alam Madura di mata seorang penyair”.

Dengan segala prestasinya, D. Zawawi Imron sudah mendahului para generasi memoksakan karyanya dengan kontemplasi, serta gerak intuisi nurani mengangkat tema-tema Madura yang tak patut diremehkan seperti orang luar (Madura) kebanyakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.