Jurus Ombak dan Angin; Komunikasi Politik Si Pencari Ikan

Muhtar Wahyudi

Ngapote Wak Lajereh etangaleh (layar putihnya mulai kelihatan) Reng Majeng Tantona lah pade mole (pencari ikan tentulah sudah pada pulang) Mon e tengguh Deri abid pajelennah (Kalau dilihat dari lamanya perjalanan Mase benyak’ah onggu le ollenah (Tentu hasil ikannya sangat banyak) Duuh mon ajelling Odiknah oreng majengan  (Duuh kalau dilihat hidupnya orang pencari ikan) Abental ombek Asapok angin salanjenggah (Berbantal ombak berselimut angin selamanya) Ole…olang, Paraonah alajereh (Ole… olang, perahunya mau berlayar) Ole…olang, Alajereh ka Madureh (Ole… olang, berlayar ke madura).

Tanduk Majeng atau Tondu’ Majâng (“Nikmatnya mencari ikan”) adalah sebuah lagu daerah penduduk Madura yang men ceritakan kehidupan masyarakat Madura sebagai nelayan. Kehidupan sebagai nelayansangat keras karena harus menghadapi bahaya di laut (atemmo bhabhâjâ), mempertaruhkan nyawa (bhândhâ nyabâ), hidup berbantal ombak dan berselimut angin (abhantal omba’ sapo’ angèn), untuk menghidupi keluarga.

Kenapa lagu Tanduk Majeng ini menjadi lagi paling pupuler dan dianggap sebagai lagu yang paling merepresentasikan karakter rakyat Madura? Padahal jelas nelayan atau pencari ikan bukanlah mata pencaharian utama masyarakat madura. Meskipun sebagian besar wilayah Madura adalah laut dan di kelilingi oleh laut[1], faktanya antara 70%-80% penduduknya sebagian besar tergantung pada kegiatan-kegiatan agraris. Hanya sepanjang bibir pantai dam kepulauan sebagian besar penduduknya menjadi nelayan.2

Jika melihat fakta demografis tersebut mestinya lagi Si Pencakul Tanah (dan tidak ada lagu ini) atau lagu-lagu lain mest inya harus lebih populer dan harus lebih merepresentasikan karakter masyarakat Madura. Tapi hingga hari ini siapapun pasti sepakat, bahwa Tanduk majeng lah yang paling Madura. Maka jelas kelahiran dan popularitas Tanduk Majeng tentu bukan semata-mata karena alasan seni ataupun demografis, lebih dari itu adalah karena alasan kosmologis. Sehingga lagu ini begitu melekat di hati masyarakat Madura, dan dalam konteks tertentu menjadi juru bicara bagi masyarakat tentang apa dan siapa Madura.

Ini nampak jelas bahwa lagu Tanduk Majeng, tidak seperti dimesi lain (ekonomi, bahasa, budaya dll), populer dan diterima oleh seluruh elemen masyarakat Madura tanpa di batasi wilayah (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) ataupun kategori sosial dan demografis lainnya.

Jadi apa yang bisa kita katakan untuk sebuah masyarakat yang berbantal ombak dan berselimut angin? Susah kan? Susahlaaaah..! Saya sendiri juga bingung ketika diminta untuk menulis tentang bagaimana komunikasi politik masyarakat madura. Ya sudahlah, mari kita bingungi bersama..karena bukankah orang bingung tidak bisa disalahkan.

Ada begitu banyak upaya intelektual coba menjelaskan kosmologi masyarakat madura. Dari sekian banyak upaya (ekonomi, politik, budaya, sosiologi dll) yang pernah atau sempat saya akses jika ditelisik lebih jauh dan dalam rupanya akan bertemu pada titik simpul yang sama: lagu ini, Tanduk Majeng, Kisah Si Pencari Ikan. Dan terma kosmologis yang paling utama dari keseluruhan terma yang merajut lagu ini adalah terma Ikan. Ombak dan Angin.

Ikan

Ikan. Orang Madura adalah Si Pencari Ikan. Dalam makna kosmologis terma Ikan tentu tidak hanya bermakna ikan dalam arti fisik. Dari berbagai telaah intelektual yang pernah dilakukan, ikan yang paling berharga, paling bermakna, paling mahal bagi masyarakat Madura bernama: Kehormatan. Hampir semua varian budaya yang muncul di tengah masyarakat Madura (Naik Haji, Karapan sapi, Adu Ayam hingga Carok) alasan utama kelahirannya adalah Kehormatan.

Demi sebuah kehormatan orang Madura bisa melakukan apa saja, bahkan jika harus kehilangan nyawa dalam medan tanding bernama Carok. Bisa melakukan berbagai upaya ekstrim dalam karapan sapi dan adu ayam. Bisa menjual aset apa saja yang penting demi bisa Naik Haji. Seperti banyak diungkapkan oleh para tokoh utama Madura di berbagai media yang pernah saya baca. “Orang Madura bisa apa saja…yang tidak bisa hanyalah mendapat malu”, maloh atau todus dalam bahasa Maduranya. Bagi orang ‘ango’an pote tolang etembang pote matah’, artinya lebih baik putih tulang dibandingkan putih mata, lebih baik hidup berkalang tanah daripada hidup menanggung malu. Orang  Madura tidak akan sanggup menanggung malu, maka juga tidak akan mempermalukan orang lain.[2] ‘Hidup itu tidak ada maknanya kalau kehilangan harga diri dan tidak punya kehormatan’. Negasi di dalam “malu” adalah “kehormatan”.

Pertanyaanya adalah bagaimana ceritanya masyarakat Madura sampai menjadi “pencari ikan”. Jika kita menjawab dengan pendekatan geografis, ekonomis, sosiologis jawabannya jelas sudah: karena wilayah Madura dikeliling oleh laut, sebagaian besar wilayahnya laut, untaian pulau-pulau kecil berpendaran bagai rangkaian ratna mutu manikam, bagai untaian permata  tempat tumbuh dan hidupnya segala potensi kekayaan laut.

Tapi pendekatan ini akan kehilangan relevansinya manakala diminta untuk menjelaskan “ikan” bernama “kehormatan”. Pendekatan antropologis barangkali sedikit lebih bisa menjelaskan. Kira­kira begini. Berabad­abad perjalanan sejarah Madura selalu hidup dalam bayang-bayang hegemoni Jawa. Dalam perguliran peradaban Madura senantiasa menjadi entitas pinggiran, marginal, bahkan menjadi bahan canda’an melalui berbagai kisah anekdotis. Dalam konteks tertentu Madura kerap dipaksa untuk meng”iya”kan bahwa sesunggunya Madura adalah Jawa atau setidaknya bagian dari Jawa. Meskipun menurut Emha Ainun Nadjib etnis Madura sesunggunya berasalah dari etnis  Sumba bagian dari etnis Melayu (yang dipinggirkan juga karena dianggaap tidak terlalu pandai berdagang sebagaimana umumnya masyarakat Melayu)[3].

Sementara itu secara politis, Madura selama berabad-abad telah menjadi subordinat daerah kekuasaan yang berpusat di Jawa. Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh keku asaan kerajaan Hindu Jawa timur seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit. Di antara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sesudah itu, pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.[4]Belum lagi adanya kisah dalam Babad Madura, dimana Lembu Peteng tokoh utama yang mbambat tanah Madura sesungguhnya adalah salah satu putera Brawijaya Raja

Majapahit yang tidak diinginkan, sehingga harus berjuluk Lembu Peteng[5] (sapi gelap,dalam banyak tafsir sejarawan, anak yang lahir dari hubungan gelap) dan perlu menyingkir (disingkirkan/ dimarginalkan) ke Madura.

_____________________

[1] Lihat de Jonge (1989:3) Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa kurang lebih 7 derajat sebelah selatan dari khatulistiwa di antara 112 derajat dan 114 derajat bujur timur. 2 The Area Development Plant of Madura, de Jonge ibid.
[1] Lihat Wiyata 2013: 4 ajjha’ nobian oreng mon aba’na ta’enda etobi (tidak akan mempermalukan orang lain selama mereka diperlakukan dengan baik).
[1] Lihat Cak Nun Asal­Usul Madura, https://www.youtube.com/watch?v=2dZ9rIw_TBc

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.