Bani Eka Dartiningsih
“Menurut saya orang Madura itu mudah tersinggung, gam pang curiga pada orang lain, temperamental atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan kalo orang Madura dipermalukan, seketika ia juga akan melakukan tindakan balasan
Bangsa Indonesia sebagai bangsa multikultur terdiri dari berbagai masyarakat yang memiliki banyak suku dan etnik. Ba nyaknya suku dan etnik dapat menimbulkan stereotip antaretnik. Stereotip antare etnik yang mendekati realitas sering merupakan ekspresi rasa kesukubangsaan, namun disisi lain stereotip yang tidak sesuai dengan realitas etnik tertentu dapat menjadi boomerang dan kesalahpahan hubungan antaretnik. Sebaliknya stereotip yang positif (mendekati realitas) akan mampu mendekatkan kompetensi komunikasi antar budaya.
Pulau Madura dan Surabaya terpisahkan oleh selat Madura yang panjangnya kira-kira 6 km diukur dari sisi Surabaya (kenjeran) sampai ke ujung Madura (kamal), faktor ini pula yang menyebabkan Madura kurang diperhatikan oleh khalayak ramai dan dunia industri. Karena itulah Madura tampak kolot dengan keautentikan budaya yang belum tersentuh modernisasi industri. Kesulitan yang dihadapi untuk mencapai pulau Madura juga menjadi penghalang bagi para pengamat budaya untuk mendeskripsikan budaya Madura kepada khalayak ramai, sehingga tidak banyak khalayak ramai yang tahu tentang bagaimana kebudayaan masyarakat di Madura, kebanyakan hanya memandang bahwasannya masyarakat Madura berperangai keras, sulit beradaptasi, terbelakang, dan kasar.(Said Abdullah, oktober 2008).
Sejak sebelum Jembatan Suramadu dioperasikan, telah muncul berbagai stigama sosial tentang masyarakat Madura, yaitu keterbelakangan dan kekerasan. Kekerasan seakan menjadi atribut yang melekat di pundak masyarakat Madura, Banyak yang mencitrakan masyarakat dan kebudayaan Madura dengan sikap serba sangar, mudah menggunakan senjata dalam menyelesaikan masalah. Hal ini sebagai penggambaran watak masyarakat Madura yang tegas dan berani bertindak. Watak tersebut memang melekat sampai sekarang, hal tersebut dikarenakan kerasnya perjuangan masyarakat Madura dalam menjalani kehidupan akibat kondisi alam yang tidak mendukung, kurang subur, relatif kering dan gersang. karena itu untuk mempertahankan hidup demi sejengkal tanahnya, masyarakat Madura rela meregang nyawa.
Setiap suku atau bangsa mempunyai stereotip masing-ma sing di mata bangsa lainnya. Sebagai contoh, stereotip orang Jawa (menurut orang luar Jawa) itu halus, kalem, serta “kemayu” dan lain-lain. Faktanya, stereotip ini seringkali berupa penilaian klise yang kadang tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya.Peni laian-penilaian itu lebih banyak didasarkan pada pengalaman empiris suku atau bangsa yang menilai tersebut dalam berinteraksi dengan suku atau bangsa yang dinilai, dimana penilaian tersebut hanyalah penyederhanaan dan pemukulrataan suatu kesimpulan saja terhadap sifat dan karakter suku atau bangsa yang dinilai.
Begitu juga yang terjadi pada suku Madura. Mereka uga punya stereotip yang melekat di benak suku atau bangsa lain. Stereotip orang Madura ini lebih banyak yang negatif daripada yang positif. Stereotip ini antara lain mengatakan bahwa sifat dan karakter orang Madura itu keras perilakunya, kaku, ekspresif, temperamental, pen dendam, dan suka melakukan tindak kekerasaan. Padahal sifat-sifat dan karakter-karakter tersebut tidak semuanya benar.
Prasangka
Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Prasangka adalah sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu kelompok. Beberapa pakar cenderung menganggap bahwa stereotip itu identik dengan prasangka, seperti Donald Edgar dan Joe R. Fagi. Dapat dikatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif (kepercayaan) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi, prasangka ini konsekuensi dari stereotip, dan lebih teramati daripada stereotip.
Richard W. Brislin mendefinisikan prasangka sebagai sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Seperti juga stereotip, meskipun dapat positif atau negatif, prasangka umumnya bersifat negatif. Prasangka ini bermacam-macam, yang populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan, prasangka gender, dan prasangka agama. Prasangka mungkin dirasakan atau dinyatakan. Prasangka mungkin diarahkan pada suatu kelompok secara keseluruhan, atau seseorang karena ia anggota kelompok tersebut. Prasangka membatasi orang-orang pada peran-peran stereotipik. Misalnya pada prasangka rasial-rasisme semata-mata didasarkan pada ras dan pada prasangka gender-seksisme pada gendernya.
Prasangka ialah apa yang ada dalam pemikiran kita terhadap individu dan kelompok lain seperti dalam hubungan ras dan etnis atau melalui media massa yang populer. Prasangka menjadi komunikasi antarbudaya karena biasanya ada pandangan negatif yang diiringi oleh adanya pemisahan yang tegas antara perasaan kelompokku (in group) dan perasaan kelompokmu (out group feeling). Oleh sebab itu komunikasi yang diawali oleh adanya prasangka tidak akan berjalan dengan efektif.
Ada tiga tipe tipe prasangka yang kita kenal, yakni:
- Prasangka kognitif, yakni prasangka yan berada pada ranah pemikiran, benar atau salah. Menurut kelompoknya terhadap kelompok lain.
- Prasangka afektif, yakni prasangka yang berada pada ranah perasaan, suka atau tidak suka.
- Prasangka konatif, yakni prasangka yang berada pada ranah perbuatan/perilaku/action. Pada ranah ini bila suatu kelompok tidak suka pada kelompok lain maka kelompok tersebut akan di deskrimninasi dan dijauhkan.
Brislin menyatakan bahwa prasangka itu mencakup hal-hal berikut : memandang kelompok lain lebih rendah, sifat memusuhi kelompok lain, bersikap ramah pada kelompok lain pada saat tertentu, namun menjaga jarak pada saat lain; berperilaku yang dibenci kelompok lain seperti terlambat padahal mereka menghargai ketepatan waktu. Ini berarti bahwa hingga derajat tertentu kita sebenarnya berprasangka terhadap suatu kelompok. Jadi kita tidak dapat tidak berprasangka.
Wujud prasangka yang nyata dan ekstrem adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut seperti ras, suku, gender, pekerjaan dan sebagainya. Contohnya diskriminasi terhadap orang negro yang ada di amerika.
Prasangka dapat menghambat komunikasi. Oleh karena itu, orang-orang yang punya sedikit prasangka pun terhadap suatu kelompok yang berbeda tetap saja lebih suka berkomunikasi dengan orang-orang yang mirip dengan mereka karena interaksi demikian lebih meyenagkan daripada interaksi dengan orang tak dikenal.
Ada beberapa contoh prasangka misalnya. orang Jepang kaku dan pekerja keras, orang Cina mata duitan, politikus itu penipu, wanita sebagai objek seks, dan lain-lain. Prasangka mungkin tidak didukung dengan data yang memadai dan akurat sehingga komunikasi yang terjalin bisa macet karena berlandaskan persepsi yang keliru, yang pada gilirannya membuat orang lain juga salah mempersepsi kita. Cara yang terbaik untuk mengurangi prasangka adalah dengan meningkatkan kontak dengan mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun kadang cara ini tidak berhasil dalam semua situasi.