Interaksi Islam Kangean dan Kebudayaan Pendatang

Masjid Jamik Arjasa Kangean

Islam Kangean pada dasarnya merupakan produk akumulasi jaringan interaksi berjenjang mulai dari ajaran Islam dengan kebudayaan Arab, Mesir, Persia, India, kemudian dengan pusat-pusat penyebaran Islam di Indonesia selanjutnya dengan kebudayaan lokal. Dengan sendirinya dalam proses Islamisasi terjadi kontekstualisasi yang bersifat dialektik. Dialektika merupakan ruang terbuka untuk diperdebatkan dan diaktualisasikan sesuai dengan keyakinan keagamaan yang subyektif.

Dialektika itu memunculkan keberpihakan individu dan organisasi keagamaan yang diyakininya benar. Konstruksi keyakinan keagamaan yang lahir dari proses berpikir yang dialektis menjadi tuna makna ketika harus berhubungan dengan kekuasaan di tingkat lokal dan nasional yang ujung-ujungnya melahirkan konflik atas nama penafsiran keyakinan keagamaan. Manifestasi ajaran Islam sangat ditentukan oleh kerangka konteks yang mengitarinya. Pada wilayah lokal, Islam memantulkan wujudnya yang konkret (Abdullah 1987).

Kasus istigosah dan lengsernya Gus Dur berimbas di Pulau Kangean yang membelah masyarakat menjadi dua, yaitu Muhammadiah dikonstruksi sebagai pendukung Amin Rais sekaligus sebagai musuh sedangkan NU sebagai kawan. Berbagai atribut mulai dilekatkan dan mereka mulai menyerang dan mempertahankan diri. Realitas yang tidak timbul dari doktrin ajaran Islam yang damai dan rahmat bagi sekalian alam. Kenyataan itu menimbulkan konflik lebih luas yang dimainkan ketika ada suksesi kepala desa 2001 dan tanggal 9 Februari 2003 di desa Angon-Angon. Suksesi itu merepresentasikan pertarungan antarpendukung keyakinan keagamaan MD dan NU.

Pada suksesi tahun 1999, calon dari MD yang enerjik, pemilik Radio Siaran Coba-Coba (RSC)—satusatunya pemancar radio di pulau ini—anak muda, lulusan SMU, gagal; dan dimenangkan oleh H.Ms—orang tua, keturunan kades sebelumnya, lulusan sekolah dasar, dan warga NU. Keyakinan keagamaan pada saat itu diaktifkan untuk memenangkan pertarungan kepala desa (kades).Satu tahun kemudian, kades terpilih meninggal karena penyakit komplikasi lever dan menurut masyarakat diduga kuat penyebab kematiannya karena sihir lawan politiknya ketika suksesi, yaitu calon dari MD.

Kondisi desa menjadi tegang dan makam sang kades dijaga selama 40 hari, tetapi ternyata tidak terbukti. Kemudian, dilaksanakan suksesi tahun 2001 yang dimenangkan oleh keturunan kades lama. A.Matli dan calon yang sama dari MD untuk kedua kalinya kalah. Isu yang digulirkan pada suksesi itu adalah penyebab kematian kades lama dan organisasi keagamaan.

Satu tahun kemudian, kades terpilih meninggal dunia. Masyarakat meyakini bahwa hal itu disebabkan oleh sihir lawan politiknya. Pemilihan pemimpin desa kembali dilakukan pada tanggal 9 Februari 2003, yang diikuti oleh enam calon, yaitu Idrai, M.Jufri, Sahrawi, Sarkawi, Aridl Imran, dan M. Ridha. Menurut kalkulasi politik warga, pada suksesi ini akan terjadi pertarungan antara M.Jufri—adik dari kades lama H.Ms—dan Aridl Imran calon MD yang didukung oleh warga karena tingginya angka kriminalitas. Imran mendapatkan simpati dari anak-anak muda.

Calon lain M. Ridha yang merupakan cucu kades lama adalah perawat dengan status kontrak. Ia mendapatkan dukungan dari ulama KH. Sofyan Sletreng, Situbondo yang berpengaruh di Pulau Kangean. Pasar taruhan menjagokan Aridl sebagai calon kades (e attasaagi).

Perolehan suara sebagai berikut: Idrai dengan tanda pepaya mengumpulkan 246 suara, M. Jufri dengan tanda rambutan memperoleh 287 suara, Sahrawi dengan tanda mangga mengumpulkan 181 suara, Sarkawi dengan tanda pisang mendapatkan 227 suara, Aridl Imran dengan tanda nanas memperoleh 453 suara, dan M. Ridha dengan tanda blimbing memperoleh 467 suara. Jumlah pemilih terdaftar adalah 1937 suara sedangkan jumlah suara tidak sah sebanyak 76 suara. Jumlah undangan yang masuk adalah 1919 sehingga terdapat kelebihan suara sebanyak 18 suara. Kenyataan itu mengundang protes warga, calon kades yang kalah, aparat pemerintah yang hadir, dan para petaruh karena menunjukkan adanya kecurangan.

Warga mengaku disuruh untuk membawa dua kartu suara yang harus dicoblos kedua-duanya. Calon peringkat kedua mengancam membawa masalah ini ke pengadilan. Akhirnya panitia pun mau mengakui secara tertulis di atas kertas segel/meterai tentang kecurangan yang diperbuatnya. Jumlah panitia seluruhnya 21 orang dengan komposisi, satu dari Hisbut Tahrir, 3 (tiga) dari MD, 2 (dua) dari aparat kecamatan, selebihnya dari elemen-elemen NU.

Masalahnya kemudian diteruskan ke Bupati Sumenep untuk segera dilakukan pemilihan ulang. Kemudian, pemilihan itu dibatalkan oleh pemerintah kabupaten Sumenep karena terjadi penyimpangan dan dianggap cacat hukum. Pemilihan ulang harus dilaksanakan secepatnya 6 bulan dan sela bat-lambatnya maksimal dua tahun. Selanjutnya, sekretaris desa, Muhammad Kharis ditetapkan sebagai pejabat sementara (caretaker).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.