Folklor Lanun Sebagai Sumber Sejarah Kawasan

Abd. Latif Bustami

Salah satu tradisi Kangean

Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memonic device) (Danandjaja. 2002:2). Brunvand mengklasifikasikan floklor menjadi tiga bentuk, yaitu lisan, setengah lisan atau sebagian lisan, dan bukan lisan (Danandjaja 2002: 21-207). Mengacu pada pembagian folklor itu, maka folkor Kangean tentang cerita lanun termasuk folklor lisan dan folklor sebagian lisan. Folklor lisan karena pewarisannya dilakukan secara lisan, sedangkan folklor sebagian lisan karena proses  pewarisan secara lisan itu dan sebagian diwujudkan dalam bentuk makanan (jejen lanun). Jejen lanun itu merepresentasikan strategi simbolis orang Kangean untuk melawan lanun (Bustami 2002).

Salah satu bentuk foklor lisan adalah cerita prosa rakyat. Bascom memfokuskan bentuk cerita prosa itu pada mite, legenda, dan dongeng (Danandjaja 2002:50). Cerita lanun orang Kangean tidak termasuk ketiga bagian itu karena cerita itu tidak berhubungan dengan sesuatu yang dianggap suci, cerita itu terjadi, dan bukan dongeng. Menurut saya, fenomena bajak laut (lanun) merupakan cerita orang Kangean sebagai respon terhadap kehidupan sosial budaya mereka. Informasi tentang aktifitas lanun di  Pulau Kangean bukan hanya dinyatakan dalam cerita lisan atau sebagian lisan melainkan juga dibuktikan dari catatan pelaut dan musafir asing (Cortesao 1944; Lapian 1987; 1999: 89-92; Lombard 1996, Jilid 2: 77 ) serta arsip-arsip kolonial Belanda (Koloniaal Verslag 1850: 18; Hoëvell 1851: 158-165; Hageman 1858: 321-352; Waal 1879:17-108; Meyier 1905:1-90; Roon 1917:264-273; Graaf 1940: 56-58).Farjon keliru mencantumkan nomor halaman karya Hageman Bijdragen tot de kennies van de residentie Madoera , TNI 20 (l858) Volume I, halaman 320-353 (Farjon 1980: 5) seharusnya halaman yang dimaksud adalah 321-352 (Hageman 1858: Vol.I:321-352). Cerita lanun itu berada dalam wilayah profan. Dengan sendirinya pembagian cerita prosa rakyat pada mite, legenda, dan dongeng perlu dikoreksi dan ditambah dengan cerita rakyat (Bustami 2002).

Cerita lanun itu menjelaskan tentang sejarah pemukiman penduduk, dan relasi kekuasaan dengan kekuatan politik, ekonomi, dan kebudayaan orang Kangean dengan masyarakat dari berbagai kawasan dan tergabung dalam sistem dunia. Di sisi lain berbagai kekuatan itu menjelaskan terjadinya proses integrasi di kawasan Kangean. Dengan sendirinya cerita lanun itu bisa dijadikan sebagai salah satu sumber sejarah kawasan. Sejarah kawasan dipakai untuk menggantikan istilah sejarah lokal yang menurut saya a historis. Sejarah lokal yang disusun oleh Abdullah, dkk (l984), pada awalnya diposisikan sebagai antagonis dan resistensi terhadap sejarah nasional yang disusun oleh Poesponegoro, dkk (1977; 1984). Sejarah nasional pada dasarnya sejarah kawasan yang diinterpretasi dan dikonstruksi sebagai nasional oleh para penyusunnya. Boleh jadi, istilah lokal digunakan untuk menyederhanakan konsep yang berbeda  dengan nasional. Secara historis, kelokalan sejatinya merujuk pada konsep nasional bahkan global. Studi-studi antropologis membuktikan bahwa proses globalisasi berlangsung sejak masa lalu di mana setiap masyarakat di muka bumi ini merupakan suatu masyarakat global (Sahlins 1994: 387). Sejarah lokal mengabaikan adanya interaksi orang yang mendiami suatu wilayah dengan kekuatan sejarah dari luar wilayah melalui jalur perdagangan, rute pelayaran, kondisi ekologis kemaritiman, dan kepentingan politik budaya (Lapian 1992; 1999). Historiografi tentang sejarah kawasan yang diberi label lokal dengan menjadikan folklor sebagai sumber sejarah dilakukan oleh de Graaf dan Pigeaud (l985).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.