Folklor Kangean: Cerita Bajak Laut

Abd. Latif Bustami

Salah satu tradisi Kangean

Pulau Kangean secara administratif termasuk Kabupaten Sumenep,Madura. Kabupaten Sumenep terbagi menjadi dua wilayah, yaitu daratan(dereden) dan kepulauan (polo). Pembagian wilayah ini berhubungankonstruksi orang dari kedua wilayah itu, yaitu orang daratan (oreng dereden)

dan orang pulau (oreng polo). Konstruksi menentukan hubungan antarkedua wilayah tersebut. Orang daratan memandang lebih tinggi dari orang kepulauan, sedangkan orang kepulauan menyebut orang daratan dengan orang negara yang dijadikan acuan dalam bertingkah laku (oreng naghera).

Cara pandang orang itu berhubungan dengan interaksi antara pusat kekuasaan dengan bagian wilayah kekuasaan. Pusat kekuasaan sejak Sumenep di bawah Singasari sampai saat ini berada di Sumenep daratan (Bustami 1990: 66-77; 1997:323-330). Pada masa kasultanan Sumenep dan kolonial, Pulau Kangean dijadikan sebagai tempat pembuangan lawan- lawan politik penguasa lokal dan kolonial serta narapidana (Farjon l980: 21-22; Arsip Nasional 1978:CLXX, 247). Pulau Kangean merupakan Australianya Madura .

Penduduk Pulau Kangean berjumlah 78.468 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 173,11 orang per km, angka ketergantungan 93,66 %, dan jumlah rumah tangga sejumlah 22.300 buah. Orang Kangean seluruhnya beragama Islam (Sumenep dalam Angka 1999: 15-17; 73). Ajaran Islam diinterpretasi dan diaktualisasikan dalam kerangka kebudayaan Kangean sehingga terjadi variasi. Secara kultural, Pulau Kangean memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan Madura   (Bustami 2001:7-9).

Perbedaan itu nampak pada bahasa, asal usul, dan identitas sosial. Bahasa Kangean mempunyai tingkatan bahasa ako-kao, nira-nae, dan kaule-panjennengan. Konstruksi ako-kao, eson-sede, esonkakeh  merupakan komunikasi yang dipergunakan oleh seseorang yang sederajat dan teman akrab. Konstruksi nira-nae, die-dika digunakan oleh mertua kepada menantu dengan tujuan penghormatan sedangkan kaulepanjennengngan  ditujukan kepada seseorang yang lebih tua, tidak sederajat sebagai penghormatan. Konstruksi yang terkahir ini disebut besa alos (bahasa tenggi) dan didominasi oleh bahasa Madura (Bustami 2003: 73- 74).

Asal-usul orang Kangean merupakan campuran orang-orang yang berasal dari Madura, Sapudi (Podey) -Raas, Eropa, Cina, Arab, Banjar, Melayu, Bawean, Jawa, Bali, Bugis-Makassar, Mandar, Mangindanao, dan Sulu. Kedatangan orang Madura, Sapudi-Raas di Pulau Kangean berhubungan dengan faktor pekerjaan, perdagangan, dan perkawinan. Orang  Eropa berhubungan dengan pemantapan kolonialisme dan penyebaran agama Kristen Protestan.

Di Pulau Kangean terdapat kampong Pandita Bustami, Folklor Kangean 269 lengkap dengan bangunan berarsitektur Eropa sebagai bukti adanya kegiatan misi Kristen. Kedatangan orang Cina berhubungan dengan faktor pelarian politik dari Batavia yang terjadi pada akhir abad ke-19 (Bustami 2001:8; 2003:74). Keturunan orang Cina yang berjenis kelamin laki-laki disebut encek dan yang perempuan (ennya ), sedangkan yang keturunan Arab yang laki-laki disebut iyye dan perempuan (saripah). Orang Jawa didatangkan oleh Belanda di Kangean pada abad ke-19 untuk menanam  kayu jati sehingga wilayah pemukiman mereka disebut kampong Jebe, yang tersebar di Kampong Ramo Salengka , Desa Sabesomor, dan Desa Torjek. Orang Bali tersebar di pantai selatan Kangean karena perdagangan dan perluasan kekuasaan politik. Orang Bugis-Makassar, Mandar, Mangindanao, dan Sulu tersebar di pantai utara Pulau Kangean. Konstruksi bangunan rumah, kosa kata, cara menyapa dan cara menyebut dalam  kekerabatan, dan upacara-upacara menguatkan asal-usul orang Kangean yang majemuk.

Orang-orang Pulau Kangean memiliki ceritera tentang terjadinya pemukiman di atas bukit (dera ) dan pesisir (paseser) dihubungkan dengan lanun (bajak laut). Pemukiman di atas bukit muncul untuk menghindari serangan bajak laut, sedangkan di pesisir merupakan pemukiman para bajak laut. Pada perkembangan selanjutnya mulai terbentuk pemukiman di antara kedua wilayah itu, yaitu lembah (lembe). Saat ini di ketiga wilayah pemukiman itu terjadi akulturasi kebudayaan dan belum membentuk masyarakat multikultural.

*****

(judul asli: Folklor Kangean: Suatu Kajian Cerita Bajak Laut (Lanun) Sebagai Sumber Sejarah Kawasan; sumber tulisan: sastra.um.ac.id)

Artikel bersambung;

  1. Folklor Kangean: Cerita Bajak Laut
  2. Folklor Lanun Sebagai Sumber Sejarah Kawasan
  3. Cerita Kangean; Menjadi Bajak Laut
  4. Lanun, Kangean, dan Integrasi Kawasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.