Cerita Kangean; Menjadi Bajak Laut

Abd. Latif Bustami

Salah satu tradisi Kangean

Istilah lanun berasal dari bahasa Mangindanao, yang berarti orang Danau, yaitu Lanao, wilayah yang terletak di tengah Pulau Mindanao, Filipina Selatan. Mereka adalah seasal dengan sukubangsa Maranao yang mendiami wilayah sekitar Lanao. Orang Spanyol menyebut Illano atau Illanun terhadap orang Maranao, Mangindano, Tausug dan Samal (di KepulauanSulu) sedangkan orang Tausug menyebut semua orang Mangindano, Maranao, dan Ilanun sebagai Iranun (Lapian 1987:253). Rekonstruksi historis menunjukkan bahwa orang Mangindano melakukan kegiatan bajak laut dan menguasai wilayah perairan Riau, Lauat Jawa, Selat Sulawesi sampai dengan Papua (Wall 1879: 17-108). Khusus, kebudayaan suku Tausug ada kemiripan dengan Madura dalam hal kekerasan, penegakan harga diri, dan pertunjukan keperkasaan laki-laki (Wiyata 2000). Masyarakat yang menjadi sasaran bajak laut Mangindano menyebut kegiatan

bajak laut dengan lanun. Kosa kata lanun menjadi kosa kata baru di wilayah- wilayah yang menjadi sasaran bajak laut Mangindano. Pada tahapan berikutnya terjadi rivalitas antara bajak laut Balangingi (nama pulau dari gugusan Pulau Samales yang merupakan bagian dari Kepulauan Sulu antara Pulau Jolo dan Basilan), Papua, Tobelo (Halmahera), Johor sehingga di wilayah kekuasan mereka terdapat kosa kata baru yang masingmasing Balangingi, Belo, Johoro dari Joho dan lanong (lanun) yang semuanya mempunyai arti bajak laut (Lapian 1987). Istilah lain dari bajak laut adalah gorra (perampok), patadi-tadi (tadi -tadi adalah perahu kecil yang dulu dipakai nodong). Balangingi dalam bahasa Makassar sekarang dipakai untuk menyebut seseorang yang berperilaku kasar atau kurang ajar.

Dalam bahasa Sangir dikenal istilah malanginging untuk menyebut orang Mangindano sebagai bahasa sasahara (tabu menyebut Mangindano terutama ketika di tengah laut). Dengan sendirinya dalam perkembangan selanjutnya, terdapat berbagai istilah yang menunjuk pada wilayah asal dan kegiatan bajak laut, seperti lanun, Balangingi, Belo, dan Johoro. Lanun sebagai kosa kata masyarakat yang menjadi sasaran bajak laut khususnya dari Mangindano dan digunakan untuk menyebut bajak laut. Bajak laut oleh orang Kangean disebut lanun. Artinya, di wilayah ini kegiatan bajak laut dilakukan oleh orang Mangindano. Munculnya kosakata itu berhubungan dengan latarbekalang kesejarahan masyarakat setempat dalam hal ini bajak laut. Lapian belum menjelaskan relasi antara istilah masyarakat setempat untuk menyebut kegiatan bajak laut dengan asal bajak laut (1987:261-267). Pertalian istilah lanun dengan orang Mangindanao bisa diamati dengan jelas di Pulau Kangean (Bustami 2002).

Bajak laut (lanun) sering diidentikkan dengan pirata (bahasa Spanyol, Portugis, dan Italia), pirate (bahasa Inggris dan Perancis), piraat atau zeerover (bahasa Belanda), pirat atau Seerauber (bahasa Jerman). Pengertian pirata berbeda dengan korsario (bahasa Perancis corsair; Inggris corsair atau privateer; Spanyol, Portugis dan Italia corsario; Belanda corsair atau kaper. Seorang korsario melakukan tindakan kekerasan di laut dengan membawa kewenangan negara (lettre de marque) ketika terjadi peperangan antardua negara. Perbedaan antara pirata dan korsario sangat tipis karena korsario bermotif politik sedangkan pirata berada dalam tataran kriminal. Pirata merupakan fenomena yang terjadi di Laut Tengah jauh sebelum ada korsario yang dikenal sejak abad ke 15. Ada korsario berwajah pirata dan ada pirata yang berperangai sebagai korsario (Lapian 1987: 217-218). Bajak laut mencakup kedua pengertian tersebut. Bajak laut adalah orang yang melakukan kekerasaan di laut tanpa mendapat wewenang dari pemerintahanya untuk melakukan tindakan itu Pirata communis hostis omnium (Bajak laut musuh bersama ummat manusia).

xx

Munculnya bajak laut menurut pemikiran kaum evolusionis merupakan kelanjutan dari perburuan, tingkat ekonomi yang paling awal. Perburuan bagi masyarakat bahari berupa penangkapan ikan yang selanjutnya berkembang pada penangkapan segala sesuatu yang ditemukan di laut   yang luas. Wilayah laut dianggap sebagai tempat berusaha yang bebas, seperti halnya daerah hutan bagi masyarakat darat yang mengembara di hutan untuk mengumpulkan makanan. Masing-masing orang atau kelompok yang berusaha merasa bebas untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Perkembangan peradaban yang lebih tinggi melihat tindakan pengambilan secara bebas di laut dinyatakan sebagai perompakan, bajak laut. Konstruksi yang lain adalah evolusi ekonomi, yaitu tahapan awal dari perdagangan (Lapian 1987). Perdagangan terjadi karena ada kebutuhan barang yang tidak dipunyai sehingga harus diperoleh dari pihak yang mempunyainya. Pemenuhan kebutuhan itu dilakukan dengan tukar menukar dan pada masyarakat yang lebih maju diperoleh dengan jalan jual beli. Ketika pertukaran berlangsung secara tidak seimbang maka terjadilah perampasan- yang di laut dilakukan oleh bajak laut dan perang.

Perang dilakukan dengan bajak laut, terlebih ketika kekuatan angkatan laut dianggap tidak memadai untuk menghadapi musuh. Contoh dalam kasus ini adalah Perang Kemerdekaan Belanda melawan Spanyol selama 80 tahun lamanya, Belanda bekerja sama dengan kelompok yang dikenal sebagai Watergeuzen (Bahasa Inggris sea-beggars, Perancis mengenal la guerre de course (perang korsario) yang telah membantu pemerintah Perancis dalam pe-rang-perangnya pada abad XVII dan XVIII yang menjadikan pelabuhan St. Malo sebagai pangkalan kapal korsario. Perang kemerdekaan Amerika Latin pada abad XIX menggunakan corsarios insurgentes (korasario pemberontak). Mexico, Kuba, dan Venezuela merupakan operasi bajak laut sekaligus basis pemberontak dan pejuang kemerdekaan melawan kekuatan koloial Spanyol (Lapian 1987: 222).

Konstruksi yang lain adalah jiwa petualang masyarakat dalam konteks mencari pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berpetualang merupakan etos masyarakat (bahasa Yunani peirates yang berasal dari bahasa Latin adalah pinjaman dari peirates dalam bahasa Yunani Kuno yang berarti berusaha, berpetualang (Lapian 1987: 225). Dalam konteks ini ada institusi balas dendam, seperti dalam sejarah Yunani Kuno-masa Demosthenes (abad IV SM) sehingga sulit dibedakan pihak mana yang mulai membajak dan pihak mana yang mengadakan serangan balasan. Bajak laut, menurut Raffless berkaitan dengan kebiasaan orang Melayu the prevalence of piracy of the Malayan coast is an evil of ancient date, and intimately connected with the Malayan habits. The old Malayan   romances, and the fragment of their traditional history constantly refer with pride to political cruisez an honourable occupation, worthy of being folllowed by young princes and nobels (Raffless 1817:I:232).

Di samping itu bajak laut berhubungan dengan agama dengan latar belakang perang salib dan bulan sabit (la Croix et la Croissant) serta Watergeuzen antara Belanda yang Protestan dan Spanyol yang Katolik. Rafless mengaitkannya pertarungan antara Nasrani dengan Islam the state of the eastern populatin and the intolerant spirit of the religion of Islam have eminently tended to increase the practice Bahkan, the suppression of piracy has long been a subject to which attention of the Dutch has been vigorously directed,.. theprepondirance of the English navy on the shores of all the eastern isles (Raffless 1817: 232-252). Serangan bajak laut Viking pada abad VIII dari Skandinavia ke arah selatan, ke Pantai Eropa barat dengan sasaran biara-biara yang tersebar di pantai Inggris, Skotlandia, dan Irlandia. Motif agama bisa menjelaskan fenomena itu berhubung Viking masih pagan sedangkan yang diserang adalah bangunan Katolik.

xx

Padahal serangan itu bermotif ekonomi karena biara sebagai pusat perhimpunan harta kekayaan. Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai tetapi kurang mendapat pengawasan penguasa setempat sehingga terjadi raiding bersama-sama dengan trading (Held 1957). Bajak laut ditentukan terjadinya kemerosotan berbagai aspek kehidupan yang disebabkan oleh perubahan konstelasi politik, perdagangan, ekonomi dengan hadirnya orang Eropa di Asia Tengara sehingga untuk melangsungkan hidupnya menjadi bajak laut Eropa ada di darat dan bajak laut menjadi penguasa di lautan (Majul 1973). Rubin menegaskan bahwa istilah bajak laut merupakan konstruksi barat yang diberikan kepada sekelompok orang yang mengancam kekuasaan mereka atau melawan penguasa yang legal (Rubin 1970). Penguasaan laut merupakan ajang pertempuran wacana dan perang-perang di atas laut. Kemerosotan kekuasaan tradisional dipakai oleh Majul untuk menjelaskan serangan bajak laut yang dilancarkan oleh raja dan para datuk di Filipina Selatan (Majul 1973). Veth menyatakan bahwa serangan itu berhubungan dengan faktor agama Islam dalam perlawanannya terhadap kekuasaan barat (Lapian 1997: 24). Hal yang berbeda dinyatakan oleh Warren bahwa bajak laut itu berhubungan dengan pesatnya perdagangan di Asia Tenggara dengan masuknya Inggris menggantikan monopoli VOC sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja.

Bajak laut berusaha untuk mencari tenaga kerja untuk dijadikan budak (Reid 2004). Lombard mengaitkan dengan adanya konflik antara dua sistem Barat dan Asia. Bajak laut meningkat sesudah tahun 1815 dan berlangsung sampai akhir abad ke-19 (yang berkurang kekuatannya sesudah tahun 1860. Para perdagangan muslim di Selat Malaka (Reteh, Kepulauan Lingga), di Kalimantan (Sambas, Kota Waringin),di Kepulauan Sulu dan Mindanao telah memanfaatkan resesi Eropa pada awal abad ke-19 dan banyak berkembang; oleh karena ambisi-ambisi baru dari kekuatan-kekuatan kolonial, mereka terpaksa melakukan perang di atas laut dan datang merampoki pantai-pantai Jawa sampai menyerang konvoi-konvoi yang melewati jalan raya Daendels yang berada di dekat pantai (Lombard 1996: 78).

Lapian melihat bajak laut dari sudut kekerasan yang melekat pada setiap tindakan perompakan. Kekerasan itu dimonopoli oleh negara. Jika  dijalankan oleh orang lain, maka tindakan itu dilihat sebagai tindakan kriminal. Konstelasi politik dunia maritim di Asia Tenggara bervariasi maka harus dijabarkan menjadi tiga tipologi di setiap kawasan, yaitu orang Laut, bajak laut, dan raja laut (Lapian 1987). Bajak laut adalah sebutan yang dipakai oleh sebuah pemerintahan yang telah mapan kepada pihak yang melanggar kedaulatan mereka.

Padahal pada masa itu terjadi persaingan hegemoni berbagai pihak termasuk penguasa kolonial memperebutkan atau penguasaan kedaulatan atas suatu kawasan (Lapian 1997:24-35). Data dari Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (l851) menginformasikan kegagalan Belanda melindungi penduduk Bawean dari serangan bajak laut (Hoëvell (ed), l851: 1:158-165). Harian Locomotief, 17 Oktober 1904 menyatakan adanya pergeseran kegiatan bajak laut dari laut Jawa ke Selat Madura dan pelakunya sebagian besar orang Madura (Meyier 1905:1:90). Aktifitas bajak laut di kawasan Pulau Kangean dan Selat Madura itu berkaitan dengan perjuangan Trunojoyo. Trunojoyo bekerja sama dengan bajak laut Makassar untuk melawan hegemoni Mataram  yang didukung oleh Belanda (Graaf 1940: 56-86).

*****

(judul asli: Folklor Kangean: Suatu Kajian Cerita Bajak Laut (Lanun) Sebagai Sumber Sejarah Kawasan; sumber tulisan: sastra.um.ac.id)

Artikel bersambung;

  1. Folklor Kangean: Cerita Bajak Laut
  2. Folklor Lanun Sebagai Sumber Sejarah Kawasan
  3. Cerita Kangean; Menjadi Bajak Laut
  4. Lanun, Kangean, dan Integrasi Kawasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.