Folklor Lanun Sebagai Sumber Sejarah Kawasan

Sejarah kawasan bisa dinyatakan sebagai sejarah total (Azra 1999: 65-78) sebagaimana yang telah dilakukan oleh Annales  School, Perancis, Fernand Braudel (1976), Chudury (1988), Lombard (l996), dan Reid (1992; 1999; 2004). Wallerstein penggagas teori sistem duniapun dipengaruhi oleh Fernand Braudel (Wallerstein 1974). Pengaruh Braudel di Indonesia nampak pada Tjiptatmodjo, Lapian, Azra. Tjiptoatmodjo  meneliti sejarah kawasan di Selat Madura pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-l9 (Tjiptoatmodjo 1983). Lapian mengembangkan sejarah maritim dan mengaplikasikannya dengan meneliti Laut Sulawesi ( Lapian 1987) dan Laut Sawu (Lapian: 1992) sebagai saluran integrasi kawasan tersebut bahkan dia berkesimpulan bahwa nusantara merupakan silang bahari (Lapian 1999: 79-92). Azra (l996) meneliti tentang jaringan ulama  Nusantara dan Timur Tengah.

Sejarah kawasan dapat menyajikan sejarah otonom khas Indonesia yang tidak terjebak pada pendekatan maritim atau darat bahkan udara tergantung  karakteristik kawasan dan periodesasi yang dipilih. Lapian terpesona dengan kondisi bahari Indonesia sehingga menggagas pentingnya sejarah maritim dengan pendekatan unit kelautan sehingga mengabaikan potensi darat. Lapian terlalu berpikir dikotomis laut dan darat serta menjadi laut sebagai pusat terjadinya sinergi integrasi ribuan pulau di Indonesia (Lapian 1992).

Pertumbuhan wilayah laut dan darat menjadi satu kesatuan sebagai interaksi berbagai aspek kehidupan secara timbal balik, kemudian melebar dan meluas dengan berinteraksi dengan kawasan lainnya dalam jaringan yang lebih luas menjadi jaringan sistem ekonomi dunia (Wallerstein 1974). Cerita lanun di Kangean menunjukkan adanya perubahan kehidupan di darat terutama pemukiman di dataran tinggi (kampomg dera ), dan pesisir (kampong paseser). Sebelum datangnya lanun mereka bermukim di pesisir dan dengan kehadiran lanun mereka lari ke atas. Pusat  kekuasaan sampai saat ini tetap berada di atas dan sebagian berpindah ke bawah bahkan mendirikan pusat kekuasaan di antara pusat kekuasaan yang telah ada, yaitu lembah (kampong lembe).Pusat-pusat kekuasaan itu hadir dengan segala atribut-atribut sebagai legitimasi kekuasaan.

Di kalangan orang tua selalu menceritakan keberadaan lanun di wilayah Pulau Kangean. Walaupun begitu, folklor sebagai sumber sejarah kawasan membutuhkan kritik sumber dan dikomparasikan dengan sumber sumber sejarah lainnya (Burke 1999). Pulau Kangean menunjukkan adanya interaksi dengan berbagai kekuatan politik, kebudayaaan, dan ekonomi dengan Madura, Jawa, Filipina Selatan, Eropa, Asia Barat, Asia Timur, Bugis-Makassar, Mandar, dan Bajo atau Bajau (Bustami 2002; 2003; Lapian 1987; 1992; 1999). Penyebaran orang Bajo orang perahu di Asia Tenggara termasuk meliputi seluruh nusantara telah dikaji oleh Sopher (l965). Di Pulau Kangean terdapat konsentrasi pemukiman penduduk orang Bajo yang dalam karya itu tidak dicantumkan (Bustami 2001). Keberadaan mereka di wilayah ini berkaitan dengan perompakan dan jalur pelayaran. Rute pelayaran menciptakan jaringan perdagangan atau sebaliknya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga terjadi pelayaran antarkampung, antarpulau, antar wilayah yang lebih luas, dan internasional. Jalur pelayaran antara persekutuan kampung-kampung itu menciptakan sebuah jaringan komunikasi yang mempersatukan wilayah perairan bersangkutan (Lapian 1999: 88-89).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.