Oleh Edi AH Iyubenu
Cewek Madura Ndak Pernah Jomblo
Boleh jadi ini ada kaitannya dengan poin Ramuan Madura di atas. Iya, sih, siapa yang ndak pengin diaduk gelasnya kalau lagi bikin kopi, coba?
Saya menemukan fenomena bahwa tiadanya cewek jomblo di Madura karena faktor orang tua. Bila orang tua sudah turun tangan dalam urusan asmara, dapat dipastikan semuanya purna lancar jaya. Koneksi-koneksi bawah tanah para orang tua sudah lebih dari cukup untuk sekadar menyandingkan anak gadisnya dengan lelaki bakal mantunya. Beres!
Maka bila masih ada cewek Madura yang sudah cukup umur, tinggal di luar Madura, dan belum kunjung yang-yangan, solusinya benar-benar sangat sederhana: pulang dan lapor bapak. Aku lapor bapak, maka yangku ada!
Pesan moralnya: “Eppak (bapak) adalah masa depan asmaraku!”
Udah ya, udah kepanjangan, messakke pembaca Mojok. Overall, saya selalu bangga menjadi bagian dari orang Madura, kendati genetiknya ndak asli-asli amat. Saya ndak pernah mencadel-cadelkan logat bicara saya biar terdengar njawani, ngumpetin kemaduraan, sebab perilaku demikian merupakan warisan stereotipe kolonialisme Hindia Belanda.
“Njenengan dari mana, Mas?”
“Kullo Sollo…” (ngaku wong Solo tapi logatnya Madura, bajindul).
Bahwa kelucuan-kelucuan alamiah yang saya terakan di atas kian pudar, itu benar adanya. Tetapi semua cerita ini adalah sejarah hidup kita, bangsa kita. Dan, kata Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah!
Berhaji untuk Nebus Dosa
Cita-cita spiritual tertinggi orang Madura itu naik haji. Mau kerjaanya menipu, berjudi, atau maling, ya tetap saja itu impian terbesarnya, yang akan selalu diperjuangkan sebelum mati. Apa pasal?
Orang Madura sangat yakin bahwa berhaji merupakan sarana puncak menebus segala macam dosa. Lebbar, lebbur, (rontok, luruh dosa) begitu filosofinya. Perkara pulang haji tetap jadi maling, itu soal lain. Yang penting sudah berhaji, sudah purna dunia spiritualnya.
Maka orang Madura cenderung ndak suka bila ndak dipanggil haji kalau sudah berhaji.