Suhartatik
Madura, pulau yang terkenal dengan sebutan pulau garam ini merupakan salah satu wilayah yang cukup dikenal di Nusantara bahkan di dunia. Baik yang sudah pernah singgah langsung di pulau ini, atau hanya mendengar “dongeng” orang lain dan membaca buku atau surat kabar. Sayang sekali, kesohoran Madura lebih dikenal dengan streotipe yang dominan negatif dari pada positifnya. Mengapa?
Hal itu penulis alami sendiri. Ketika memperkenalkan diri dalam acara seminar atau pelatihan tertentu dengan peserta banyak dari luar Madura, spontan menyeletuk tentang Madura, sebagai “pulau clurit”. Akan tetapi, yang terjadi justru bertolak belakang ketika mereka berinteraksi langsung dengan orang-orang dari Madura. Mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun di samping itu orang Madura juga memiliki perangai yang lembut, santun dan selalu menghormati orang lain.
Clurit dan carok ternyata benar-benar sudah melekat kuat di memori orang luar Madura. Image keras dan bengis selalu menjadi gambaran awal mereka, ketika membayangkan Madura. Sosok seorang laki-laki berkumis tebal melintang, sambil memegang clurit yang dikenal dengan nama Pak Sakera, seakan-akan menjadi penanda orang Madura. Muncul anggapan bahwa sosok seperti Pak Sakera itulah orang-orang Madura. Ini merupakan tugas yang cukup berat bagi orang Madura untuk bisa membuktikan bahwa Madura tidak seperti yang dibayangkan banyak orang.
Di sisi lain, penilaian orang tentang carok sering terjebak dalam streotipe orang Madura yang keras, kaku, menakutkan dan ekspresif. Streotipe ini sering mendapat pembenaran ketika terjadi kasus-kasus kekerasan dengan pelaku utama oarang Madura.
Sejak dulu tidak sedikit asumsi miring tentang Madura, dari tanahnya yang dikenal kering dan tandus, hanya berupa garam tak terawat, batu kapur berserakan hingga pada kebringasan laki-laki Madura yang dikenal dengan “carok” nya. Di Indonesia, “carok” telah dianggap sebagai sesuatu yang khas milik etnik Madura. Dalam kelompok etnik lain, tidak dikenal apa yang disebut sebagai carok.
Banyak faktor yang menjadi pemicu carok, salah satunya adalah masalah perempuan. Adanya gangguan terhadap para perempuan akan menyebabkan permasalahan yang sangat serius sebelum adanya penyelesaian kekeluargaan terlebih dahulu. Jadi apabila dalam suatu peristiwa carok lantaran perempuan, hal itu merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewajiban yang ditanggung laki-laki.
Bagi laki-laki Madura, salah satu kehormatan mereka adalah perempuan: ibu, istri, anak perempuan, saudara perempuan, dan famili perempuan. Sehingga pembelaan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya, akan tetapi juga berlaku pada semua famili laki-laki (sepupu, ipar, majhedi’/ paman, dan lainnya) akan ikut turun tangan untuk membantu membela perempuan yang ѐlasalaѐ/ diganggu pihak lain.
Perempuan, bagi laki-laki Madura mendapat tempat tertinggi. Sebab, bagi mereka perempuan adalah surga/ neraka untuk laki- laki. Perempuan menjadi penyemangat para laki- laki dalam bekerja dan berusaha mencari nafkah. Tetapi dari perempuan jugalah ‘neraka’ akan terjadi yakni perselisihan yang nantinya dapat berujung pada “carok”. Banyak yang membincangkan bahwa carok relasi sangat kuat dengan faktor-faktor budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama, dan pendidikan.
Tetapi, tidak semua perkelahian yang dilakukan orang Madura dinamakan carok. Carok hanya terjadi karena satu sebab yang dinamakan ghȃbȃngan, yaitu atap dari tempat tidur tradisional Madura. Namun kemudian, istilah tersebut berubah makna menjadi sebutan untuk tempat tidur itu sendiri dan akhirnya diidentikkan dengan perempuan.
Gangguan terhadap ghȃbȃngan merupakan gangguan yang sangat sensitif, sebab segala pembicaraan dan perilaku yang paling rahasia dalam keluarga Madura selalu lebih banyak dilakukan di bawah ghȃbȃngan. Oleh sebab itu, masalah perempuan adalah masalah ghȃbȃngan. Bahkan siapapun yang berani melecehkan ghȃbȃngan, maskѐ kanca ѐlorok (meski teman dilawan). Dari ungkapan inilah, muncul akronim “carok”. Kata “rok” sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yang bermakna “perkelahian”. Dengan kata lain siapapun yang mengganggu perempuan milik orang lain akan berujung pada perkelahian atau carok. Jadi carok merupakan peringatan untuk tidak mengganggu ghȃbȃngan milik orang lain. Dengan demikian perkelahian yang tidak disebabkan oleh ghȃbȃngan tersebut bukanlah carok, melainkan perkelahian biasa yang lazim terjadi di banyak tempat.
Pada intinya carok ini dilakukan untuk melindungi dan menjaga kehormatan. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika dilecehkan orang lain. Pelecehan harga diri yang menyangkut keluarga (baca: istri), merupakan bentuk pelecehan yang paling menyakitkan bagi laki- laki Madura. Tebusan dari pelecehan tersebut tidak lain dengan cara men-caroki-nya.
Karakteristik etnis Madura sangat berbeda jauh dengan etnis lainnya, yang sangat menonjol adalah sifatnya yang ekspresif, spontan, dan terbuka. Hal itu menunjukan bahwa perlakuan yang dianggapnya tidak adil dan menyakitkan hati, secara spontan orang Madura akan bereaksi. Sebaliknya, apabila ada perlakuan yang menyenangkan, maka tanpa ragu- ragu orang Madura akan menyampaikan dengan jujur tanpa tendensi. Barangkali dari gambaran karakteristik ini kita dapat menilai bahwa yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah “ketegasan” bukan “kekerasan”. Sebagai contoh, pemilihan warna hampir selalu warna- warna bernuansa “tegas”, misalnya mѐra (merah), celleng (hitam), bhiru (biru), konѐng (kuning), dan sebagainya.