Sumenep, Ratu Rasmana, dan Angin Perubahan

Pendopo Agung Keraton Sumenep

RB. M. Farhan Muzammily

Mungkin hanya Sumenep yang bisa berbangga dengan fakta sejarah yang dimiliki. Khususnya kaum hawa. Saat di belahan lain, kaum perempuan kurang mendapatkan tempat dan peran sesuai pilihan, di ujung timur bumi Madura ini, perempuan sudah mampu menorehkan tinta emas sejarah, jauh sebelum munculnya Ibu Kartini.

Jika di beberapa wilayah lain, isu kesetaraan gender sekaligus feminisme mulai bergaung dengan munculnya sosok RA Kartini, di Sumenep sejak abad 18, tokoh perempuan sudah ada yang bisa menentukan pilihannya sendiri. Bahkan sejarah membuktikan, telah ada sosok perempuan yang bisa menempati status sosial utama, yakni sebagai penguasa suatu wilayah.

Raden Ayu Rasmana. Lahir dari pasangan Pangeran Rama alias Cakranegara II dengan Raden Ayu Gumbrek.

Pangeran Rama adalah Raja Sumenep pada 1678-1709 M. Sementara Raden Ayu Gumbrek ada putri Pangeran Pulangjiwa, Raja Sumenep sebelum Pangeran Rama.

Raden Ayu Rasmana dinobatkan sebagai penguasa Sumenep, sekaligus Raja perempuan pertama di bumi Sumekar pada 1749. Wahyu keprabon jatuh pada janda mendiang Raden Tirtonegoro ini, pasca hiruk pikuk pemberontakan Ke’ Lesap di nusa garam.

Ratu Tirtonegoro

Penunjukan Raden Ayu Rasmana sebagai ratu begitu unik. Padahal secara estafet, banyak tokoh laki-laki yang memiliki garis genealogi sekaligus hak yang sama dengan Rasmana. Namun yang namanya Kuasa Tuhan dan kenyataan, selalu menjadi hal yang tak bisa terbantahkan.

Lembut, namun tegas dan berwibawa. Karakternya memang bisa dikata memukau kalangan elit bangsawan kala itu. Tidak bisa juga dilepas sisi mitologinya. Konon, aura dan kelebihan metafisik dari Rasmana memang kuat. Kata tutur yang terukur. Ditambah buah pikiran yang brilian.

Sehingga dari hal-hal itu, dukungan dan kesetiaan tokoh-tokoh mumpuni dari dinasti Yudonegoro tidak lagi diragukan. Di balik beliau, para sepuh, dan cendekia di kalangan bangsawan utama selalu pasang badan. Sehingga praktis, legitimasi utuh menopang kukuh singgasana yang didudukinya.

Keputusan-keputusan yang diambil juga bisa dikata sangat ekstrem untuk di masa itu. Beliau juga berani mengambil keputusan di luar pakem semestinya. Di tangannyalah angin-angin perubahan di Sumenep bermunculan.

Menunjuk Raja dari kalangan luar

Saat naik tahta, Raden Ayu Rasmana sudah menjanda. Suaminya mangkat di usia yang masih cukup muda. Ibarat mutiara di dalam peti emas, Rasmana jelas menjadi rebutan. Wajahnya yang ayu, sosoknya yang cerdas, sekaligus posisinya sebagai pemegang tampuk pemerintahan, menjadi magnet paling kuat.

Tidak sedikit lamaran, dan saran agar dirinya menikah lagi. Lamaran terakhir dari wakil raja kala itu. Patih Sumenep yang bernama Raden Purwonegoro. Purwonegoro masih keluarga dekat Rasmana. Ayah Rasmana dengan ibu Purwonegoro bersaudara sepupu, yakni sama-sama cucu Raden Bugan alias Tumenggung Yudonegoro alias Pangeran Macan Ulung, Raja Sumenep pada 1648-1672.

Semua pinangan, lamaran, sekaligus saran-saran itu ditolaknya dengan halus. Baginya, setiap keputusan tidak semata berdasar saran maupun akal pikiran. Rasmana juga tidak mengabaikan kata hati, dan petunjuk langsung yang datangnya dari Tuhan. Sehingga meski beliau menolak semua lamaran dan saran, namun tidak berarti semua itu dimentahkan.

Kepada para sepuh, Rasmana mengutarakan maksudnya untuk istikharah dan istisyarah. Petunjuk yang dinanti pun datang. Pilihan yang jatuh pada sosok yang sama sekali tidak terduga dan tak pernah dikenal siapapun. Sebuah nama dan sosok hadir dalam istikharah sang ratu. Pria itu seorang guru ngaji di Lembung, Lenteng. Bindara Saot panggilannya.

Saot merupakan tokoh alim dan penerus pesantren yang didirikan paman sekaligus gurunya, Kiai Pekke (Faqih). Beliau adalah putra pembabat wilayah Batuampar Timur, Kiai Abdullah alias Entol Bungso alias Kiai Suwarga. Keluarga ini bersusur galur ke kiai-kiai di Prongpong, Kecer, Dasuk. Praktis, tak ada hubungan sama sekali dengan kalangan elit keraton dinasti kala itu.  Meski jika ditarik secara genealogi masih terhitung keturunan Pangeran Bukabu (Notoprojo), penguasa Sumenep yang diperkirakan memegang tampuk pemerintahan di abad 14.

Para sepuh patuh. Mereka juga dikenal sebagai sosok-sosok yang mumpuni. Sehingga mereka pun paham bahwa di balik keputusan Rasmana, ada hikmah yang besar bagi Sumenep ke depan. Rasmana pun meminang Bindara Saot dan keduanya menikah di keraton pada 1750.

Di sinilah dimulainya puncak angin perubahan. Rasmana membuktikan bahwa perempuan boleh memiliki pilihan. Pilihan itu tentu tidak harus sesuai dengan kemauan banyak orang. Meski pilihan itu diatur dengan kesepakatan. Rasmana, para sepuh, dan Bindara Saot sendiri sepakat, bahwa tahta harus dialihkan. Rasmana pun resmi menyerahkan tampuk kekuasaan kepada suaminya, Bindara Saot. Saot bergelar Kangjeng Raden Tumenggung Ario Tirtonegoro. Nama Tirtonegoro diambil dari nama suami pertama Rasmana. Rasmana pun juga mengenakan nama Ratu Tirtonegoro. Namun di situ makna bergeser. Bukan lagi bermakna “ratu yang bernama Tirtonegoro”, melainkan “ratu yang merupakan isteri dari Raja yang bernama Tirtonegoro”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.