Budaya Lokal Berkaitan dengan Harga Diri

Memelihara dan merawat sapi kerapan merupakan bagian harga diri

Memiliki ilmu juga bagian dari memelihara harga diri. Hal ini berwujud pesan melalui pantun berikut.

Ngangghuy klambhijita tèron
Negghu’ dhâmo’ ngetthok tongkol
Dhunnya rèya ongghå toron
Dhinèng élmo èkasangkol

memakai baju tiron
pegang parang untuk memotong bunga pisang
harta benda bisa berubah
sedangkan ilmu bisa dijadikan warisan

Dengan pantun tersebut di atas, leluhur orang Madura ingin menyadarkan keturunannya bahwa untuk memelihara dan mempertahankan harga diri sebaiknya tidak mengan dalkan harta benda, tetapi boleh mengandalkan ilmu yang telah di berikan leluhur ke dirinya. Hanya dengan memiliki ilmu atau pengetahuan, masyarakat Madura akan memiliki harga diri yang pantas dibanggakan.

Namun, dalam waktu yang panjang pemahaman ilmu dalam masyarakat Madura diartikan sebagai pengetahuan agama bukan pengetahuan umum, sehingga dalam segi pengetahuan umum dalam waktu yang lama, masyarakat Madura tertinggal dalam pen carian ilmu pengetahuan. Hal ini, disebabkan pengetahuan umum dianggap pengetahuan yang berasal dari orang kafir (Belanda). Karena itu, orang Madura termasuk panutan (ulama) tidak dapat mengikuti sistem atau metode baru dalam membelajarkan ilmunya kecuali metode lama yang sudah digunakan ratusan tahun.

Metode mengajar saat populasi penduduk masih puluhan orang tidak berjubel seperti saat ini. Namun, mereka yang berhasil menemukan serta menggunakan metode baru, hanya bisa menuding “itu salah” sama sekali tidak memiliki aktivitas memberi teladan, sehingga untuk mengatasi keterbelakangan tersebut menjadi sulit. Keadaan Madura pada masa awal kemerdekaan masih sulit mendatangkan guru karena masih ada anggapan bahwa Madura masih berupa belantara dan penduduknya masih terbelakang (saat ini nama jalan dan perguruan tinggi di Madura masih menggunakan bahasa daerah selain bahasa Madura). Warisan masa lalu secara tidak terasa masih melekat pada abad 21.

Berdasarkan pengalaman penulis, ketika itu ia sedang berkunjung ke salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Menurut pandangan profesor yang kala itu sedang mengajar, penulis dianggap sebagai orang asing karena berasal dari Madura.

Sejarah pendidikan Madura sangat memilukan karena berkaitan dengan politik pembodohan yang dilakukan oleh penjajah Belanda terhadap orang Madura. Tidak adanya sarana pendidikan yang memadai, berarti penyebaran ilmu pengetahuan sangat dibatasi dan itulah yang kemudian dikenal sebagai politik pembodohan.

Politik pembodohan ini diterapkan penjajah di Madura karena “…guna menjamin kedudukan modal partikelir di tanah Jawa, Madura oleh pemerintah Belanda dikorbankan dan dijadikan daerah cadangan kuli…” (Soenarto, 1960:2). Gedung yang saat ini digunakan sebagai gedung SMP Negeri I, di Jungcangcang, Kota Pamekasan merupakan hasil usaha Bupati Pamekasan R.A. Abd.Azis pada tahun 1938 untuk mendirikan sekolah R.A. menengah (MULO] satu-satunya bupati di Madura yang peduli pada pendidikan rakyat saat itu.

Namun, karena pemerintah jajahan saat itu sampai Pemerintah Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1942, MULO Pamekasan belum disahkan dan belum pernah menghasilkan lulusan. Sikap anti penjajah Jepang sang Bupati mengakibatkan dirinya menjadi korban keganasan (terbunuh) pemerintah Jepang di Pamekasan. Namun, setelah pemerintah Hindia Belanda kembali ke Indonesia (1946-1950). Gedung MULO milik R.A. Abd. Azis tersebut ia beli dari seorang janda kemudian dijadikan sebagai gedung SMP. Setelah Madura kembali ke NKRI dan hingga saat ini, gedung tersebut berubah menjadi SMP Negeri 1 Pamekasan.

Namun, harus diakui bahwa memasuki alam kemerdekaan, pemimpin Madura baik formal maupun nonformal telah menyadarkan masyarakat akan makna pesan-pesan leluhur, khususnya kegunaan ilmu, baik dalam ilmu agama maupun ilmu (umum) dunia untuk dimiliki yang pada hakikatnya agama (Islam) mengajarkan kepada umatnya agar hidup seseorang tidak pincang, hendaklah menyeimbangkan pengetahuan akhirat (agama) dengan pengetahuan duniawi. Pengetahuan agama sangat berguna untuk mengontrol diri agar dalam pencarian harta (dunia) selalu dalam batas halal dan pengetahuan dunia atau umum dapat memberi perlengkapan peralatan untuk sarana beribadah.

Dengan demikian, diharapkan kehidupan masyarakat menjadi tenang dan harga diri tidak terkoyak karena kebodohan. Karena itu, di banyak pondok pesantren telah menerapkan pengetahuan umum kepada para santrinya. Selain itu, orang mulai berpikir tentang perubahan Madura sebagai daerah agraris menjadi daerah industri seiring kemajuan Iptek. Pemikiran tersebut bukan berasal dari leluhur Madura melainkan dari teknokrat.

Oleh karena itu, wajar saja kalau ada orang Madura mengatakan bahwa pikiran mengubah budaya yang sifatnya alami tersebut bukan untuk kepentingan Madura, tetapi Madura dipandang sebagai satu-satunya solusi untuk memecahkan pengembangan industri di Jawa Timur “dibuang” agar para investor tetap menanamkan modalnya kepada para kapitalis. Berdasarkan landasan kebudayaan nasional, Madura sebagai pengembangan industri hampir saja “diteken”, tetapi kebanyakan lupa kalau kebudayaan nasional masih memerlukan dukungan mutlak sifatnya harus khas dan harus dibanggakan oleh warga negara yang mendukungnya.

Hal itu perlu karena suatu kebudayaan nasional harus dapat memberi identitas kepada warga negara (Koentjaraningrat: 1974), sedangkan ilmu bersifat universal, tak bisa khas. Pikiran Madura yang sempit dalam ilmu, memberi penafsiran bahwa pikiran untuk mengubah budaya tradisional tersebut bukan untuk kepentingan Madura yang utama lihat saja jembatan “Sura” “Madu”, bukan “Madu” “Sura”. Walaupun demikian, Suramadu yang berjalan tersendat, bagaikan “pekerjaan yang terlanjur”. Sebaiknya diselesaikan dengan baik karena Madura hanya mengetahui:

_____________________________

Diangkat dari buku “Memahami Jati Diri, Budaya, dan Kearifan Lokal Madura” penulis A. Sulaiman Sadik, Penerbit Balai bahasa Provinsi Jawa Timur, 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.