Marlena; Hilangnya Sebutir Mutiara

Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk  buku,

 Episode Lima Belas

 “Hei, kenapa menangis. Kenapa?” seru Bu Rasmi penasaran. Marlena tak menjawab. Sementara tangis Marlena masih terisak.

“Sabarlah, kalau memang kamu tidak berhasil tahun ini, mungkin nanti bisa mengikuti tahun depan,” ungkap Pak Toha mencoba ingin tahu.

Marlena menggeleng.

“Lalu, kenapa kau menangis?,” tanya ibu angkatnya ingin tahu

Marlena mendongakkan kepala.

“Ayah, Ibu. Lena tidak tahu, apa yang harus Lena balas untuk Ayah dan Ibu,” syara Marlena terasa sendu

“Lho, ucapan apa itu?,” Pak Toha khawatir.

“Katakan nak, apa yang terjadi,” sambung Bu Rasmi yang juga khawatir.

“Lena lulus Bu,” jawab Marlena memberi tahu.

“Alhamdulillah,” sebut Bu Rasmi.

“Aku mengerti perasaanmu. Kau tidak perlu merasa dirimu asing bersama kami. Sampai kapan pun, kau tetap menjadi tanggung jawab kami, sebab selama ini kami merasakan hanya engkaulah satu-satunya yang menjadi harapan kami, setelah kakakmu Fajar dan Fatimah telah menemukan hidup baru, kini tinggal kamulah yang meneruskan perjuanganku,” ujar Pak Toha. “Untuk itu, kau harus siap menghadapi kenyataan-kenyataan baru, yang mungkin menurutmu terlalu memberatkanmu,” jelasnya lagi

“Itukah yang kau khawatirkan Len. Tidak nak. Kami telah merasakan, bahwa kau telah kami anggap anak kandung sendiri. Untuk itu janganlah kau punya pikiran untuk membalas budi segala. Yang penting teruskan perjanganmu, sebagaimana yang kau cita-citakan sejak awal dulu,” tambah Bu Rasmi.

“Terima kasih Bu,” sambung Marlena penuh haru, serara memeluk tubuh ibu angkatnya.

Ungkapan-ungkapan Bu Rasmi seperti itu sebenarnya kerap berdengung di telinga dan hatinya. Namun kadang Marlena sendiri merasakan berlebihan curahan hati keluarga Pak Toha padanya. Pikiran ini kadang muncul bila pada saat terkuak kembali kenangan masa kecil yang tak ubahnya seperti mimpi-mimpi. Yang mungkin sulit didapat oleh wanita-wanita desa pada umumnya. Kalaupun terjadi, itupun hanya mampu bertahan pada kurun waktu tertentu. Kemudian fungsinya beralih sebagai pembantu rumah tangga, walau statusnya masih diakui sebagai salah satu anggota keluarga. Atau mungkin kalau memang kurang produktif, dikembalikan ke kampung dan kawin di tempat kelahirannya.

Itulah kekhawatiran Marlena bila hal ini terjadi pada dirinya, meskipun pada dasarnya ia telah banyak membaca keberadaan dan sikap hidup keluarga Pak Toha yang bijak, rasa ikhlas dan terbuka.

Memang, setelah perkawinan Fatimah, suasana di rumah semakin sepi. Sebab Fatimah telah menempati rumah barunya bersama suaminya, Darwis. Fatimah sebenarnya merasa berat meninggalkan orang tua angkatnya itu yang tak ubahnya selayaknya orang tua kandung, mengingat pada akhir-akhir ini Bu Rasmi merasakan gejala kesehatannya semakin berkurang.

Ditambah lagi, kesibukan Pak Toha mengelola Panti Asuhan yang juga semakin banyak penghuninya. Maka tak heran, bila kadang-kadang Bu Rasmi terhanyut oleh kehampaan dalam kesendiriannya. Namun demikian, Fatimah tidak mampu menolak harapan suaminya yang telah membangunkan rumah di suatu komplek perumahan yang tidak begitu jauh jarak dari rumah asalnya.

Meski demikian, Bu Rasmi merasa puas dan bangga, karena apa pun akibatnya, adalah merupakan konsekuensi dari tanggung jawab sebagai orang tua. Suka dan duka, sepi dan meriah, merupakan sirkulasi kehidupan manusia yang tidak mungkin dapat ditolak, selama manusia mampu mensyukuri nikmat, sebagai makhluk yang terbatas kehendaknya. “Kewajibanmu sekarang hanyalah mengurus suamimu dengan sebaik-baiknya,” begitu kata Bu Rasmi, ketika Fatimah mengajukan kehendak suaminya.

Pada awalnya Bu Rasmi masih terobati, karena setelah kepergian kedua anaknya itu, sebagai pengganti penghibur rasa sepinya adalah Marlena. Namun hal itu hanya berjalan beberapa saat. Sebab sesaat lagi Marlena pun akan meninggalkan dirinya dalam suasana yang lebih parah lagi. Untuk itu Pak Toha berinisiatif akan mengambil anak angkat lagi yang diambil dari salah seorang anak panti asuhan. Niat itu ternyata disetujui Fatimah dan Marlena.

Malam semakin larut, namun di pembaringan, mata Marlena masih mengawang mencapai awan impiannya. Awan-awan itu terasa lekat di hadapannya, sehingga seolah-olah bagian-bagian tertentu bersutan awan itu menyusup di sela-sela mata Marlena. Dan akibatnya mata yang nyalang itu terasa pedih dan melembab dikelopak matanya.

Marlena terheran seketika. Ia gosok-gosokkan telapak tangannya, namun tidak ada tanda-tanda bila  di matanya terselip kotoran atau debu. Dan akhirnya tanpa diduga pandangan mata Marlena menjadi kabur dan gelap. Marlena jadi khawatir dan takut. Namun ia coba paksakan lagi menangkap gambar-gambar di hadapannya, tapi masih juga terasa sulit menangkap gambar-gambar itu. Padahal lampu sepuluh watt yang bergantung di kamarnya, masih menyala terang sebagaimana malam-malam sebelumnya.

“Oh, isyarat apakah yang bakal terjadi?” begitu seru Marlena dalam hati.

*****

Sore hari hampir tenggelam, namun Marlena masih belum juga pulang. Padahal sewaktu ia pamit pada Bu Rasmi pagi tadi hanya ingin berziarah ke makam orang tuanya. Namun hingga petang ini, Marlena masih juga belum kembali.

“Mungkin ia sedang bernostalgia dengan teman-teman masa kecilnya,” begitu hibur Pak Toha. Hiburan Pak Toha itu ternyata dapat diterima oleh istrinya. Alasan itu masuk akal menurut Bu Rasmi. Namun hingga menginjak malam, Marlena masih belum kembali. Akibatnya, keresahan Bu Rasmi semakin memuncak. Rasa khawatir dan takut selalu menghantui keluarga itu.

“Masa hingga malam seperti ini masih belum juga pulang, Pak.” seru Bu Rasmi takut.

“Tenang dulu. Aku lihat dulu di rumah Narti,” ujar Pak Toha mencoba mengimbangi keresahan Bu Rasmi.

“Yah, kalau memang tidak ada langsung saja ke nak Darwis, mungkin ada di sana,” kata Bu Rasmi.

Dengan motor bebeknya, Pak Toha segera menyusuri malam dengan perasaan khawatir dan curiga. Ia datangi rumah Narti, ternyata di sana pun tidak ada.

“Tidak ada Pak. Sejak pagi saya tidak ke mana-mana,” jawab Narti yang juga dihantui rasa khawatir dan takut. “Mungkinkah bersama Taufik?”, duga Narti dalam hati.

“Saya coba cari ke rumah teman-teman yang lain, Pak,” kata Narti tergesa, lalu mengajak  Jamil untuk mencari bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.