Tentang Kuliner: Ètèk sè Nyongkem

Bebek atau Ètèk (Madura)

Oleh  Mien A. Rifai

Sekalipun bangsa Indonesia tidak mempunyai sebuah sajian masakan pemersatu yang dapat dikatakan sebagai wakil budaya nasionalnya, selamatan dengan makan-makan merupakan kebiasaan yang membudaya secara luas di kalangan kita. Setiap suku bangsa di Indonesia akan mencari alasan apa saja agar dapat berkenduri untuk menyelenggarakan perhelatan, hajatan, selamatan, syukuran, dan berkumpul ramai-ramai dengan jamuan makan-minum.

Di Madura, misalnya, kehamilan, kelahiran, menyunati anak, perkawinan, kematian, ruwatan desa, lulus ujian, ulang tahun, dan entah apa lagi pasti diselamati dengan makan besar kalau orangnya berkemampuan. Adapun suguhan pokok yang disajikan hampir dapat dipastikan selalu berupa nasi dengan pelbagai macam lauknya seperti gulai, rendang, opor, goreng ayam, empal, dendeng, soto, satai, tempe bacem, sayur asem, lodeh, urap jantung pisang, gado-gado, tahu goring, kerupuk udang, perkedel, ikan asin, dengan tidak melupakan . . . sambal lalab dan terasi.

Karena nasi (yang terkadang ‘dikuningkan’, diliwet, dimasak dengan santan, atau minyak samin) yang disuguhkan dengan bermacam masakan lauk-pauk itu sudah berterima secara luas oleh lidah orang Indonesia,  maka dapatlah dikatakan bahwa suguhan yang bisa bernama nasi rames, nasi tumpeng, nasi campur, rijsttafel, atau entah apa lagi itu merupakan kebudayaan nasional kita.

Walaupun sering diguyonkan bahwa satai Madura merupakan ‘satai yang dijual oleh orang Madura di luar Pulau Madura tetapi bukan kepada manusia Madura’, masakan tersebut memang merupakan salah satu puncak produk budaya Madura yang sudah diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi untuk memeroleh kualifikasi sampai dapat dinyatakan sebagai unsur budaya nasional, embel-embel sebutan kedaerahan pada macam-macam masakan tersebut memang harus dapat dihilangkan.

Sekalipun demikian untuk keperluan kebhinnekaannya masih tetap akan diperlukan kelestarian soto Madura, soto Lamongan, soto Kudus, soto Bandung, soto Betawi, soto Banjar, coto Makassar, dan seterusnya karena orang sudah dapat langsung mencirikan dan mengenalnya. Jadi soto dan serta satai yang menjadi penyusun rijsttafel boleh berasal dari daerah mana saja selama orang dapat mengelasikan satuan identitasnya sebagai soto dan satai.

Berkat pembawaan junèl atau berkewirausahaan yang dimilikinya, ketika dalam beberapa tahun terakhir pentas kuliner Indonesia mulai diramaikan oleh masakan itik atau bebek, orang Madura boleh dikatakan berada di garis depan, Sebagai akibatnya di Jakarta warung masakan bebek yang dijalankan oleh pedagang Madura memiliki peminat banyak.

Bebek goreng Sinjay (anagram nama bengkel mobil ‘Sinar Jaya’ yang kemudian membuka restoran) dari Bangkalan merupakan masakan khas Madura yang ketersohorannya sudah dikenal jauh di luar wilayahnya karena terliput oleh surat kabar nasional. Pepes bebek muda yang dalam membungkusnya tubuhnya dibuat menekuk sampai seakan-akan menyembah sehingga disebut bebek songkem, pertama kali muncul di Sampang pada tahun 2009 dan semakin populer mungkin karena amat sangat pedasnya yang terasa sampai ke tulang-tulangnya.

Ini merupakan sebuah keberjayaan inovatif pengembangan kuliner Madura dengan pendekatan berkejunelan yang sangat patut dijadikan panutan.

*****

Tulisan bersambung:

  1. Sumbangan Budaya Madura Kepada Kebudayan Nasional
  2. Pengembangan Bahasa Madura dan Problematikanya
  3. Sekilas Falsafah Abhântal Ombâ’ Asapo’ Angèn
  4. Pembudidayaan Bhâlungka’ dan Tèkay Madura
  5. Tentang Kuliner: Ètèk sè Nyongkem
  6. Sèkep Pelambang Kejantanan Seorang Pria Madura
  7. Aroma Du’remmek dan Kembhâng Campor Bhâbur
  8. Pola dan Bentuk Rumah: Tanèyan Lanjhâng
  9. Ramuan Jhâmo Bagi Wanita Madhurâ
  10. Masa depan Madura Bergantung Pemuda Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.