
Bagai orang Madura toron tidak akan merendahkan martabat orang Madura, sebagaimana dihawatirkan Bupati Pamekasan Kholilurrahman, (lontarmadura.com), karena kata dalam bahasa Madura mempunyai makna tersendiri. Dengan toron justru akan memgembalikan jatidiri dan kodratnya sebagai manusia Madura. Dan saya pikir biarlah istilah toron berjalan secara alamiah, sebab toron sendiri merupakan bagian peristiwa budaya yang tidak lepas dari tingkah laku masyarakat (Madura) yang menjalankannya.
Dalam posisi ini tidak ada bedanya istiralah “carok”, yang bermakna negatif dimata orang luar, yang tidak mungkin diganti dengan ucapan atokar (bertengkar) dan sejenisnya, karena toron sendiri, pada akhirnya menjadi simbol nilai kekerabatan orang Madura.
Meski ada toron tidak ada sitilah ongga (naik), karena ketika orang Madura kembali kedaerah rantauannya kata ongga tidak lagi digunakan, justru kerap disebut dengan istilah alajar (berlayar). Seharusnya Pak Bupati Pamekasan berbangga dengan lahirnya istilah toron, karena toron merupakan peristiwa spontan dan tak seorangpun dapat mengubah kata toron, kecuali ada istilah lain yang dapat diterima oleh warga Madura.
Saya baru memahami, kenapa setiap lebaran haji dan maulud nabi orang Madura yang ada di rantau selalu ingin pulang. Hal ini juga dialami oleh tetangga saya yang berasal dari Madura