Syaf Anton Wr
Musik tong-tong merupakan jenis musik tradisi Madura yang biasanya dimainkan pada saat patrol membangunkan warga untuk bersahur pada bulan Puasa atau Ramadlan. Musik ini cukup menarik, memiliki irama harmonis ketika dimainkan secara bersama. Musikalitas tong-tong dimainkan dengan tidak memaksakan kenyaringan bunyi, namun menekankan pada harmonisasi bunyi dari ragam alat musik yang ditabuh.
Ketika dimainkan, musik tong-tong selain dalam bentuk instrumen, kerap juga dilengkapi dengan nyanyian. Lagu-lagu yang dinyanyikan biasanya secara bersama-sama (koor) dengan lagu-lagu Madura, seperti Olle olang, pajjar lagghu, serta lainnya dan kadang pula dinyanyikan dengan lagu-lagu qosidah.
Diwilayah Kabupaten Sumenep, pada dekade sampai akhir tahun 80-an musik ini pernah menjadi trend sebagai musik tradisi. Bahkan untuk mengembangkannya kerap dilakukan Festival Tong-tong. Selain itu pernah ada satu kelompok mengembangkan musik tongtong sebagai musik pertunjukan yang kemudian diberi Musik Ghursah. Musik Ghursah ini dilengkapi alat musik dengan alat musik lebih besar yang terbuat dari kayu, yang disebut bhung-bhung
Kata Tong tongsendiri, istilah ini berasal dari tiruan bunyi yang digunakan untuk menyebut satu kelompok alat musik.Dalam bahasa Madura yang lazim, istilah itu biasanya meñyiratkan makna lain yang tidak selalu dieksplisitkan, yaitu perreng. atau bambu (Bambusa).
Tongtong dengan kepentingan yang lain yaitu berupa kentongan yang dibuat dari batang bambu besar (bungbung) atau akar bambu yang besar (bungkel). Untuk menyebut kentongan yang besar, terbuat dari pokok pohon kelapa atu pohon siwalan yang dilubangi, sesuai dengan kebutuhan ukuran dan bunyinya..
Sedang tung-tung sendiri terbuat atau berupa kentongan kecil yang terbuat dari bambu atau kayu (ukuran kecil/sedang) dan mudah dibawa, sedang ukuran tong-tong besar bisanya diungdhung (digendong dalam posisi depan). Selain itu alat musik lain, yang kerap menjadi pelengkap yaitu, tongtong ta’al.. Disebut demikian karena terbuat dan buah ta’al (batok buah siwalan) yang dikeringkan dan dilubangi.
Tongtong perreng mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam sekali:
Berbentuk silender bila dibuat dari sebatang bambu, berukuran mulai 20 cm sampai hampir satu meter; berbentuk labu bengkok bila terbuat dan akar bambu, berukuran sekitar 10 sampai 30 cm; celahnya selalu hanya satu dan membujur. Untuk menabuh tongtong, satu tangan memukul dengan sebatang kayu kecil, sedangkan tangan yang lain memegangnya.
Orkes tontong paling umum diperakan pada bulan Ramadhan ketika sejumlah penabuh biasa berlalu-lalang di sekeliling desa sepanjang malam. Alat-alat musik mereka sangat beragam jenis dan ukurannya, tergantung tingkat keterampilan dan tingkahnya. Masing-masing kelompok dapat menambahkan berbagai alat musik lain di samping kentongan yang merupakan instrumen dasar dari orkes: gendang kembang (gendhang), simbal kecil (kencer, kerca, atau kecek), sejenis peking atau metalofon kecil berpelat tembaga bertipe do-fa-sol atau fa-sol-la .
Kadangkala ditambahkan pula alat musik pukul yang dibuat dari tempayan tembikar (kelmo’), ditutup ban dalam mobil yang direntangkan dan diikat dengan tali nion (teknik renovasi serupa digunakan pula untuk gendhang lama tanpa kulit). Alat perkusi terbesar digendong dengan bantuan sarung (sarong) yang diselempangkan di pundak, atau dengan tali pengikat salung ghendhang yang diikat di leher atau di pundak. Dengan melihat urutan aneka instrumen itu. dapat dimengerti berapa sulit menegaskan apa yang menjadi dasar penyusunan “klasik” dan sebuah orkes, sebagai acuan atau bentuk asalnya.
Musik orkes tongtong selalu dimainkan berdasarkan improvisasi dan formula ritmis yang cukup pendek, diulang-ulang oleh satu atau beberapa alat sekaligus. Alat perkusi yang lebih rendah bunyinya (gendhang dari tempayan) menyusun irama jalin-menjalin yang merupakan struktur keseluruhan permainan. Tongtong sendiri mengisi sinkope yang disdiakan oleh perkusi rendah. Tempo cepat atau lambat sesuai dengan energi pada saat itu, dipercepat di sana-sini. Intervensi musik (istilah komposisi musik tidak layak digunakan karena tidak ada repertoar tertentu) dimulai dengan rumus pebukaan, dimainkan dengan gendhairig dengan cara yang selalu sama.
Tongtong Parsanga
Istiah sub judul diatas kerap diucapkan oleh masyarakat perkotaan di Sumenep, ketika menyebut “keaslian” musik tongtong tradisi pada dekade sampai akhir 80-an. Sedang kata Parsanga sendiri merupakan tempat (desa) yang termasuk pinggiran wilayah Kecamatan Kota Sumenep.
Peralatan tongtong yang digunakan tidak jauh beda dengan keterangan diatas, yaitu terbuat dari potongan bambu dengan lubang membanjar disisi slindernya. Namun keunikan dari kelompok tongtong Parsanga ini, karena tetap mempertahankan peralatan dari bambu yang ada, tanpa ditambahi peralatan lainnya, sehingga ketika ditabuh terasa sekali aransemen yang dimunculkan dalam bunyi, sehingga daya rasa ketika telinga mendengarkan bunyi tongtong ini seakan mendayu-dayu dan tidak terasa bising.
Secara umum alat musik tong-tong terdiri dari pangorbi (pangrajha), yaitu tongtong dengan ukuran bambu paling besar yang berfungsi untuk mengatur bunyi musik berirama. Kemudian yang lain disebut tong–tong panengnga, yaitu ukuran tong-tong tengah-tengah dan tong-tong pangkene’, yaitu tongtong dengan ukuran lebih kecil. Tong-tong panengnga dan pangkene’ ini biasanya ada bebera macam, tergantung ragam bunyinya. Dan keduanya ditabuh dengan irama monoton, dengan ketokan bunyi masing-masing berbeda. (Syaf/Lontar Madura)