Sesisir Pisang Kiai: Sedikit tentang Kosmologi Madura

Bagi orang yang kurang apalagi tidak faham kode budaya Madura, terjemahan kata-kata tuan rumah dalam bahasa Indonesia sama sekali tidak memadai. Terjemahan itu tidak mengemukakan maksud sesungguhnya sang tuan rumah —berikut kompleksitas budaya dan makna konotatifnya yang berlapis-lapis. Frase “dri belakang kamar mandi Anda” barangkali terdengar seperti puisi, ambigu dan polisemis, dan mungkin juga memberikan konotasi positif, misalnya sikap merendah sang ruan rumah. Sebenarnya, frase itu tidaklah ambigu. Ia mengemukakan suatu maksud atau pesan yang jelas dilihat dan konteks dan kode budaya masyarakat Madura sendiri. Maka, untuk memahami maksud pernyataan sang tuan rumah itu, kode budaya Madura perlu diberikan.

Dalam kebudayaan tradisional Madura, kamar mandi terpisah dari rumah. Ia merupakan bangunan tersendiri, terletak di sisi kiri, kanan, muka, atau belakang rumah. Air kotor kamar mandi dibuang ke samping atau belakang kamar mandi, yang biasanya merupakan tanahtegal milik si empunya rumah. Air kotor itu tak perlu penampungan khusus, sebab ia akan hilang menyerap ke tanah. Di belakang kamar mandi, pemilik rumah menanam (atau tumbuh sendiri) berbagai jenis tanaman produktif yang tidak memerlukan perawatan rutin, misalnya nanas, pepaya, dan pisang.

Nah, di belakang kamar mandinya, kiai desa tadi rupanya menanam pohon pisang, atau pohon pisang tumbuh sendiri dan bagaimanapun merupakan miliknya. Sang tuan rumah rupanya mengambil buah pisang yang tumbuh di belakang kamar mandi kiainya, tanpa sepengetahuan sang kiai, dan kini menyuguhkannya kepada kiai itu sendiri.

Bayangkanlah pernyataan tuan rumah tadi, yang dengan sopan dan takzim disampaikan kepada sang kiai: dengan jujur dia menyampaikan bahwa sesungguhnya pisang itu —yang baru saja disantap sang kiai dengan nikmat— adalah milik kiai sendiri. Dengan kata lain, sang tuan rumah mengakui bahwa dia telah mengambil pisang kiainya tanpa sepengetahuan sang kiai, dan kini menyuguhkan pisang itu pula kepadanya. Apa sesungguhnya yang bergerak dalam pikiran dan perasaan tuan rumah? Bagaimana pula perasaan kiai setelah tahu bahwa santrinya sendiri mengambil buah pisangnya tanpa izin, dan menyuguhkannya kepada sang kiai, namun kini santri itu dengan jujur dan tulus —di hadapan banyak tamu pula— mengakui apa yang  dilakukakannya? Sistem apa yang memungkinkan atau mendorong semua itu terjadi?

Bagi saya, kasus itu bukan lagi soal moral. Ini bukan lagi soal tindakan mencuri yang dan sudut apa pun tak bisa dibenarkan. Juga dan sudut nilai nilai moral masyarakat Madura. Bahkan juga dari sudut pandang tuan rumah sendiri. Pernyataan tuan rumah tadi adalah pengakuan bahwa tindakannya secara moral jelas salah, dan pengakuan serta sikap hormatnya kepada sang kiai lebih dan sekadar permohonan maaf secara verbal. Kalau kasus ini bukan lagi soal moral, maka ia bukan lagi soal etika, etiket, atau tatakrama. Sekali lagi, pernyataan tuan rumah tadi lebih dan sekadar pengakuan bahwa dia telah melanggar secara keterlaluan batas-batas etika, etiket, dan tatakrama seorang santri kepada kiainya. Juga, ia lebih dari sekadar pernyataan permohonan maaf atas pelanggaran keterlaluan yang dilakukannya. Karenanya, melepaskan kasus itu dan konteks budayanya akan mengantarkan kita pada pandangan yang mungkin keliru atau bahkan menyesatkan.

Responses (4)

  1. saya butuh buku itu tolong gimana ya caranya karena ditoko buku tidak ada.. please kasi info

  2. gan saya tertarik sama buku ini, kalau boleh tau buku ini bisa saya dapatkan dimana ya gan ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.