D. Pembahasan
a. Jenis Sastra Madura
Secara umum, terdapat dua jenis sastra Madura, yaitu sastra Madura populis dan sastra Madura partikularis. Disebut Populis karena sastra Madura jenis ini dikenal luas oleh segenap lapisan masyarakat Madura. Disebut partikularis karena sastra jenis ini dikenal hanya oleh beberapa lapis masyarakat dan biasanya oleh generasi tua.
Contoh dari sastra Madura populis adalah dungngeng (dongeng). Dungngeng adalah cerita rakyat yang mengandung pesan-pesan moral dan harapan dan sering didendangkan dalam perkumpulan-perkumpulan bahkan dalam keluarga. Dungngeng ini merupakan bingkai dari kisah-kisah kehidupan masyarakat Madura di masa lampau. Beberapa dungngeng Madura yang terkenal adalah dungngeng kepahlawanan pangeran Tronojoyo, Potre Koneng, Asal muasal kerapan sapi, Sakera, Ke’ lesap, Angling Darma Ambya Madura, dan lainnya.
Contoh yang kedua dari sastra populis adalah syi’ir. Syi’ir merupakan rangkaian kata-kata indah yang membentuk kalimat-kalimat yang terpadu dan biasanya di baca di pesantren-pesanten, majlis ta’lim, dan walimatul urs. Si’ir Madura tersusun dari 4 padda/biri (baris). Tiap padda terdiri dari 10 keccap (ketukan). Tiap akhir suara pada padda mengandung pola a – a – a – a. Isi syi’ir bermacam-macam, bergantung dari selera dan kesenangan serta tujuan dari pembuatnya. Jenis-jenis syi’ir beraneka ragam seperti syi’ir yang menceritakan kisah nabi, cerita orang mati siksa kubur, perhatian pada pendidikan, agama atau akhlak. Contoh-contoh syi’ir adalah sebagai berikut
Pong-pong gi’ kene’ gi’ ngodha-ngodha. Pabajeng nyare elmo akidaManabi nyaba dhapa’ gan dhadhaKastana ampon bi’ tadha’padha | Mumpung masih kecil masih muda-mudaRajinlah mencari ilmu akidahApabila nyawa telah sampai di dadaMenyesalpun tidak akan ada manfaatnya |
Jenis sastra yang kedua adalah sastra Partikularis (tertentu/tidak umum). Pembagian sastra jenis ini sebenarnya tidak perlu ada andaikata masyarakat Madura masih tetap mempopulerkan sastra jenis ini di masyarakat luas. Karena jarang ditemuinya sastra jenis ini, maka sastra jenis ini disebut juga sebagai sastra arkais. Sastra jenis ini memiliki ragam, jenis, pola-pola atau aturan-aturan tertentu dan harus diingat dengan baik. Syarat mengingat dan memahami pola-pola inilah yang dinilai sangat berat bagi para generasi muda, sehingga banyak diantara mereka yang enggan untuk mempertahankan dan mempraktekkan sastra jenis ini. Akibatnya, tidak banyak orang Madura yang memahami sastra jenis ini, padahal, keberadaan sastra jenis ini benar-benar mendukung kebesaran sastra Madura. Adapun sastra jenis ini adalah: (a) Bangsalan (b) Puisi Pantun Madura (c) Paparegan (d) Saloka, dan (e) Tembhang Macapat (Jasin, 2005).
a) Bangsalan
Yang dimaksud bangsalan adalah ungkapan sastra yang dirangkai sedemikian rupa dengan menggunakan pola indirectness (tidak langsung ke maksudnya). Kalimat ini terdiri dari tiga pilar yaitu bangsalan, teggessa, dan oca’ panebbus. Bangsalan adalah ungkapan sastra konkrit dalam kalimat, teggessa adalah arti atau makna yang dirujuk oleh bangsalan, sedangkan oca’ panebbus adalah makna dari bangsalan. Bentuk teggessa harus memiliki kemiripan dengan kata penebusnya (harus mengandung guru sastra maupun guru swara). Guru sastra adalah sama/miripnya bentuk tulisan antara bangsalan dan panebbhus, sedang guru swara adalah miripnya bunyi ucap bangsalan dan panebbhus. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam kalimat di bawah ini:
Tulisan berkelanjutan
- Sastra Madura: Potensi, Realita, dan Harapan
- Potensi dan Apresiasi Masyarakat Madura Terhadap Sastra Madura
- Hambatan dan Memajukan Sastra Madura
”Eatore pondhut dha’ar, bigi accem sagi-manggina” | ”Silahkan dimakan, biji asam seadanya” (persilahan untuk orang yang lebih tua) |
bangsalan: bigi accem (biji asam) | |
teggessa: magi’ (suara ”gi”) (bahasa madura untuk biji asam) | |
panebbussa: sagi-manggina (suara ”gi”) (seadanya) |
Terkadang bangsalan dan penebbus posisinya terbalik. Panebbus diucapkan dahulu baru kemudian bangsalan diucapkan, seperti contoh:
”Ma’ ce’ kasosona ba’na Le’, ma’ enggaddhang kole’na tepes” | “Kok kamu terburu-buru dik, kok pisang kulitnya tipis” |
bangsalan: anggeddhang kole’na tepes (pisang kulitnya tipis) | |
teggessa: geddhang susu (suara su) (pisang susu) | |
panebbussa: kasusu (suara su) (terburu-buru) |
Contoh bangsalan yang lain seperti
BANGSALAN | TEGGESSA | PANEBBUS |
kareta messin | motor | mator |
bato kene’ | baliker | pekker |
baddhung padhi | nye-anye | nye-nganye |
balang pagar | jerring | egiring |
cabbi kene’ | cabbi lete’ | te’lette’an |
barakay mowara | baja | babaja |
beddha’ anga’ | balsem | ressem |
pereng kene’ | leper | caleper |
Penguasaan terhadap bangsalan pada jaman dahulu dapat dijadikan sebagai penanda apakah seseorang yang berbicara bahasa Madura adalah memang asli keturunan Madura. Jika ia mahir bertutur dengan menggunakan bangsalan, maka ia merupakan suku asli Madura. Jika tidak, maka ia akan dianggap belum ”Madura” dan hanya menguasai bahasa Madura kulitnya saja. Bentuknya yang unik, berpola indirektif dan butuh ingatan kuat untuk mengingat bentuk-bentuk bangsalan menjadikan sastra jenis ini benar-benar dianggap sebagai identitas asli budaya Madura, karena hanya orang maduralah yang tahu makna tuturan bangsalan. Budaya bertutur dengan menggunakan sastra jenis ini memiliki beberapa aspek positif antara lain: (1) bentuknya yang indirektif dianggap efektif dalam membangun komunikasi yang sopan dan santun (2) adanya aturan guru sastra dan guru swara menyebabkan naluri dan semangat kesusastraan orang Madura meningkat (3) karena sifat bangsalan, teggessa dan penebbus yang arbriter, dan hanya diketahui oleh orang Madura, maka ketiganya menjadi simbol jati diri dan budaya orang Madura dan dapat menjadi alat pemersatu antarorang Madura