Siapa yang tidak tahu Asta Tinggi Sumenep. Kompleks pemakaman Raja-raja di kabupaten paling timur di Madura ini. Sebuah tempat yang sejak dulu kala menjadi sasaran pengunjung baik dari Sumenep sendiri, maupun dari luar Sumenep. Bedanya, kalau dahulu, rata-rata pengunjung murni berniat ziarah kubur, tabarruk (mengambil barokah), maupun tujuan lain seperti menyepi, bertapa; dengan niat yang tergantung pada diri masing-masing peziarah waktu itu. Sedangkan sekarang yang lebih menonjol ialah aspek wisatanya, menyegarkan pikiran, rekreasi, dan bersenang-senang. Aspek ziarahnya juga ada, tapi kurang menonjol.
Asta Tinggi terletak di desa Kebunagung, kecamatan Kota. Kurang lebih sekitar 2,5 kilometer dari pusat kota. Kebunagung terletak di daratan tinggi. Udaranya cukup khas, dan agak sejuk. Desa ini juga dilewati aliran sungai yang cukup besar dari pegunungan sekitar area gua jeruk (bahasa Madura, yang bermakna dalam. Kadang orang keliru melafalkan menjadi gua jeruk).
Selama ini, orang tahunya desa Kebunagung identik dengan situs Asta Tinggi. Padahal kalau ditelusuri lebih jauh lagi, desa Kebunagung menyimpan peta situs-situs penting yang selama ini terpendam dan perlu digali lebih dalam. Kejayaan-kejayaan masa lalu sekaligus informasi sejarah yang selama ini belum terurai banyak tersimpan di desa ini.
Sebut saja lokasi asta Tumenggung Yudanegara (Judhanaghara) alias Raden Bugan alias Macan Wulung, asta Kangjeng Kiyai Adipati Semarang (Suroadimenggolo ke-V), asta Raden Shaleh (Raden Adipati Pringgoloyo), asta Pangeran Le’nan Muhammad Hamzah, asta Raden Ardikusumo ke-I, asta Patih Angabehi Mangundireja, asta Qadhi (penghulu) Zainal ‘Abidin, dan asta yang hingga kini masih terus menjadi kontroversi publik; asta Pangeran Diponegoro.
Di buku-buku atau literatur umum mengenai wisata religi Sumenep sebagian nama-nama di atas memang sempat disebut. Tapi biasanya memang tanpa keterangan lebih lanjut. Sebut misalnya mengenai keberadaan asta Kangjeng Kai atau Kiyai Adipati Semarang (Raden Adipati Ario Suroadimenggolo ke-V) di area Asta Tinggi. Bagi pengunjung asta atau pembaca buku literatur peta asta Tinggi, tentu akan dihinggapi pertanyaan, siapa gerangan tokoh ini? Mengapa Adipati Semarang di Jawa Tengah sana sampai dimakamkan di Sumenep plus sebagian besar anggota keluarga beliau?
Memang ada sedikit keterangan bahwa beliau adalah mertua Raja Sumenep, Sultan Pakunataningrat sekaligus saudara sepupunya (sepupu dua kali, atau dupopo dalam bahasa Maduranya. Hubungan ini didapat dari pihak ibu Sultan yang bernama Raden Ajeng Maimunah, putri Pangeran Adipati Ario Suroadimenggolo ke-IV). Keterangan lain di pintu gerbang makam ada wasiat Sultan agar lebih dulu menziarahi beliau sebelum Sultan dan sesepuh keraton yang lain. Lalu apa kisah di balik itu?
Kanjeng Kiyai Adipati Suroadimenggolo ke-V merupakan adipati Semarang yang memerintah sekitar awal 1800 – 1820. Lebih dari itu, kedudukan beliau di masanya merupakan adipati Wadhono atau Hoofd Regent. Adipati yang membawahi beberapa kadipaten. Dalam beberapa literatur, beliau dikenal sebagai Kangjeng Terboyo. Seorang Adipati yang memiliki wawasan keilmuan luas dan menguasai berbagai disiplin ilmu serta kebudayaan tanah Jawa. Beliau memiliki 40 orang putra-putri yang kebanyakan ‘arif, berpendidikan tinggi, dan cerdas; yang satu diantaranya seorang jenius bernama Raden Shaleh (kelak Raden Adipati Pringgoloyo, Patih Sultan Sumenep). Kangjeng Kiyai juga memiliki keponakan sekaligus anak angkat yang juga bernama Raden Shaleh, pelukis legendaris yang memiliki nama asli Sayyid Shaleh bin Alwi Bin Yahya.
Secara geneologis, Kangjeng Kiyai merupakan keturunan langsung penguasa pertama Semarang dari jalur pancaran laki-laki (pancer), yakni Pangeran Pandanarang atau Kiyai Ageng Pandanarang. Dalam beberapa literatur, tercatat bahwa penguasa pertama negeri Asam Arang (sebagai asal dari nama kota Semarang) tersebut merupakan keturunan langsung dari Sayyidina al-Husain bin Faathimah binti Rasulullah SAW. Juga dalam beberapa sumber disebutkan bahwa Kangjeng Kiyai sendiri merupakan menantu dari Pangeran Prangwedana alias Pangeran Sambernyawa alias Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Mangkunegoro I, penguasa pertama keraton Mangkunegaran Solo.
Pada saat meletus perang Jawa atau perang Diponegoro, peran Kangjeng Kiyai sangat besar. Diceritakan bahwa Pangeran Diponegoro sering bertandang ke Semarang secara sembunyi-sembunyi untuk menyusun siasat perang dan meminta buah pemikiran Kangjeng Kiyai. Bahkan putra Kangjeng Kiyai yang bernama Raden Shaleh alias Raden Ario Notodiningrat (Bupati Lasem) secara terang-terangan bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro. Namun gerakan ini terbongkar. Akhirnya Kangjeng Kiyai dan Raden Shaleh ditangkap untuk selanjutnya ditawan di atas kapal perang Pollux. Peristiwa ini terdengar oleh Sultan Sumenep. Sultanpun berangkat ke Semarang dan menjamin beliau berdua, sekaligus menawarkan suaka. Selanjutnya Kangjeng Kiyai dan sebagian besar keluarganya hijrah ke Sumenep. Sementara di Semarang diangkat pengganti dari salah satu putra Kangjeng Kiyai, yakni Raden Adipati Krisno, yang juga bergelar Suroadimenggolo. Tak lama di Sumenep Kangjeng Kiyai wafat pada 25 Dzulhijjah 1242 Hijriah. Sementara Raden Shaleh diangkat sebagai Rijksbestuurder (Patih) Sultan Sumenep dengan gelar Raden Adipati Pringgoloyo.
Tokoh-tokoh lain yang dimakamkan di Sumenep, selain Kangjeng Kiyai, juga banyak yang masih belum diketahui secara lengkap mengenai riwayat hidupnya. Semisal Patih Angabehi Mangundireja (yang wafat di Loji, saat terjadi kontak fisik dengan tentara Inggris di masa Panembahan Sumolo), juga penghulu Raden Ardikusumo ke-I (sepupu Sultan), penghulu Zainal ‘Abidin dan lain sebagainya. Begitu juga dengan sosok Pangeran Letnan Kolonel Kusumo Sinerangingrono atau Pangeran Le’nan (putra Sultan). Prasasti atau keterangan di asta-asta para pembesar negeri Sumenep masa lalu itupun rata-rata masih utuh. Namun tidak banyak yang menyingkapnya. Padahal semua itu merupakan bagian penting yang tak bisa dipisahkan dengan Sumenep masa kini. Jas Merah ! (R. Moh. Farhan Muzammily)