Sastra Madura: dari Lisan sampai Modern

Dimensi pembinaan dan pendidikan  tampaknya menjadi syarat  dalam puisi lisan Madura, sebagaimana contoh dalam lirik seperti dibawah ini

Pak-kopak eling/Elingnga sakoranji/Eppak olle papareng/Ana’ tambang tao ngaji/Ngaji babana cabbi/Ka’angka’na sarabi potthon/Ecocco’ dhandhang pote, keba mole/Ecocco’ dhangdhang celleng, keba melleng

//Cong-kong konce
/Koncena lo-olowan
/Sabanyon saketheng
/Na’kana’ markong-markong
/Baba’anna kapong-kapong
/Ngek-serngegan, rot sorodan
/Pangantan tao abajang
/Abajanga keta’ kedung
/Ondurragi jung baba’an.//

Contoh-contoh  penggalan puisi tersebut diatas, dalam sastra  Madura, lebih dikenal sebagai  jung-kejungan, yaitu puisi yang dilagukan dan mempunyai perbedaan dengan kejung (kidung) yang menjadi ciri umum, sebagaimana  kidung dalam gending-gending Jawa dan  Madura.

Puisi Ritual

Puisi-puisi ritual mempunyai nilai sakral, karena didalamnya terdapat unsur-unsur permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Puisi ritual digunakan untuk kepentingan-kepentingan masyarakat secara umum, semisal permohonan minta hujan, tolak balak, Selamatan laut, panen dan kepentingan lainnya. Puisi-puisi jenis ini mempunyai sugesti kuat karena didasarkan keyakinan masyarakat, khususnya masyarakat Madura tradisional di pedesaan atau di pesisir.  Puisi ini dilakukan sebagai pokok upacara adat, seperti pantil, cahhe’, ratep dan pojian.

Sebagaimana puisi-puisi Madura lama umumnya, unsur bunyi tampak lebih mendominasi daripada kata itu sendiri, sehingga sulit memaknai kata-katanya. Dalam proses ritualnya si pelaku atau jamaahnya diajak lebih khusuk bahkan trance. Semisal dalam pojian  dikenal syair

dari dhilang sonar sondhing adhung ana’ etemanga
(Sodhir Sonar)

 leya rentang sandhurandhing dhing dhing dhing
adhu rentang sandurandheng
(Lentang Sandhurandhing)
atau liya lilli ta’liya lingsir

Intensitas bunyi dari penggalan syair tersebut, mampu menggantikan alat musik lainnya, dan banyak pihak menyebutkan, contoh puisi diatas masuk bagian dari seni primitif yang berkembang sejak berabad sebelumnya. Namun tampaknya puisi-puisi ritual yang hidup di tengah masyarakat, lambat laun mengalami gesekan dan perubahan, ketika Islam mulai berkembang  yang ditiupkan oleh pesantren. Untuk menangkal proses ritual yang berselebahan dengan norma-norma agama (Islam), maka mulai berkembang  puisi-puisi dari pesantren yang ditulis dan disebarkan oleh kalangan kiyai yang kemudian dikenal dengan syi’ir-syi’irnya, yang banyak mengajarkan tentang baik buruk di mata Islam.

Syi’ir

Sebagaimana diketahui, bahwa pulau Madura banyak terdapat pondok pesantren,  dan tumbuh subur dari tahun ke tahun. Dalam kondisi seperti itu, pesantren tampaknya menjadi ladang berkembangnya kehidupan sastra. Banyak bermunculan kalangan sastrawan justru dari wilayah pesantren. Karena  pesantren sebagai pusat pendidikan agama, maka sastra yang tumbuhpun  mengarah pada  bentuk sastra keagamaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.