Refleksi Metafisis Atas Makna Substantif Carok dalam Budaya Madura

Ainur Rahman Hidayat

Ilustrasi

Sebelum membahas dan mengupas tentang formulasi pengertian carok, terlebih dahulu akan dikupas dan dibahas tentang pengertian harga diri (martabhat) dalam kaitannya dengan perasaan malu (malo), ketika terjadi pelecehan. Kedua hal ini merupakan faktor pemicu utama orang Madura melakukan carok selain faktor lainnya.

Semua kasus carok selalu bersumber dari perasaan malo atau terhina pada diri pelaku, karena harga dirinya dilecehkan. Dengan kata lain, orang Madura yang dilecehkan harga dirinya akan merasa malo kemudian melakukan carok terhadap orang yang melecehkan itu. Perasaan malo tidak selalu hanya muncul secara sepihak, tetapi ada kalanya pada kedua belah pihak (Latief Wiyata, 2002: 170).

Pelecehan harga diri bisa juga diartikan dengan pelecehan terhadap kapasitas diri. Padahal kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya dalam struktur sosial. Peran dan status sosial ini dalam prakteknya tidak cukup hanya disadari oleh individu yang bersangkutan, melainkan harus mendapat pengakuan dari orang atau lingkungan sosialnya. Bahkan pada setiap bentuk relasi sosial antara yang satu dengan yang lain harus saling menghargai peran dan status sosial masing-masing. Akan tetapi, ada kalanya hal ini tidak dipatuhi. Bagi orang Madura tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan status sosial sama artinya dengan memperlakukan dirinya sebagai orang yang tada’ ajina (tidak berharga lagi) dan pada gilirannya menimbulkan perasaan malo (Latief Wiyata, 2002: 171).

Dalam realitasnya, perasaan malo dapat tereskalasi ke lingkup yang lebih luas (keluarga dan masyarakat). Hal ini bisa terjadi bila pelecehan harga diri tersebut telah menyangkut pula harga diri keluarga dan masyarakat. Tindakan mengganggu istri orang atau perselingkuhan merupakan bentuk pelecehan harga  diri paling menyakitkan bagi pria Madura. Oleh karenanya tiada cara lain untuk menebusnya kecuali membunuh orang yang mengganggunya (Latief Wiyata,  2002: 172-173). Perasaan malo akibat terjadinya gangguan terhadap istri tidak hanya dirasakan—terutama—oleh suami, tetapi juga oleh kerabat dan lingkungan sosialnya (Latief Wiyata, 2002: 174). Perlindungan terhadap istri menjadi bagian dari kewajiban masyarakat, sehingga tindakan mengganggu kehormatan mereka selalu dimaknai sebagai tindakan arosak atoran (merusak tatanan sosial).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.