Oleh Fitri Nura Murti, Spd.
Masyarakat sebagai satuan sosial menciptakan dan menggunakan kebudayaan. Koentjaraningrat menyatakan tiga wujud kebudayaan: (1) ideas, yaitu ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya (cultural system) yang menentukan (2) act/activitions yakni pola-pola tindakan manusia, misalnya berinteraksi, bergaul, dan sebagainya (social system), dan menghasilkan (3) kebudayaan fisik (artifacts) yakni hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya manusia (Koentjaraningrat, 2005:250). Ketiga wujud kebudayaan tersebut saling berkaitan. Kebudayaan ideal atau adat istiadat memberikan arahan kepada tindakan dan karya manusia (pikiran, ide dan tindakan) sehingga turut mempengaruhi kebudayaan fisik yang dihasilkan. Begitu juga sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang menjauhkan menusia dari lingkungan ilmiahnya sehingga mempengaruhi pola pikir dan perbuatannya.
Dalam masyarakat, kèjhung dapat dijumpai dalam dua konteks, yaitu konteks umum dan pertunjukan. Pada konteks umum, kèjhung dilantunkan di saat-saat santai, di rumah atau beranda, dan jeda saat bekerja di sawah. Dahulu etnis Madura biasa melantunkannya bersahut-sahutan di waktu senggang saat menggembala ternak. Dalam konteks pertunjukan (performance art), kèjhung digelar pada ritus-ritus kehidupan seperti acara selamatan pernikahan, khitanan, bahkan ulang tahun, biasa dibawakan dengan iringan gamelan, menyatu dengan seni pertunjukan lain seperti ludruk, tayub, dan saronen.
Karya sastra merupakan daya cipta kreasi penghayatan manusia terhadap pengalaman hidupnya. Melalui karya sastra, pengalaman hidup manusia dapat dihayati, sehingga dapat menambah kearifan penikmatnya. Ruth Finnegan menyatakan bahwa fungsi sastra lisan sebagai senjata yang potensial di dalam memperjuangkan kelas sosial (the class strunggle), mempertahankan status quo, sebagai tindakan sosiabilitas maupun sebagai sarana rekreasi setelah bekerja (Sudikan, 2001:109-111).
Sesuai dengan sebutannya, bentuk teks kèjhung paparèghân adalah paparèghân, sejajar dengan parikan dalam Jawa. Paparèghân yang dilagukan (e kèjhungagi) memiliki struktur bentuk berupa pantun. Mahayana (2008) mengatakan bahwa pantun sebagian besar mengungkapkan perkara tingkah laku, moral, etika, yang semuanya berpulang pada diri individu. Hartoko dalam Djojosuroto (2006:25) berpendapat bahwa penyair mengungkapkan tema yang berhubungan dengan gagasan, cita-cita, keinginan dan harapannya. Melalui tema yang dikemukakan, penyair dapat turut membantu memanusiakan manusia. Manusia lebih memiliki keselarasan pengalaman antara baik-buruk (etika), benar-salah (logika), indah-jelek (estetika), dan dapat menyadarkan pembaca akan keterbatasan diri manusia di hadapan Sang Pencipta.
Dari seluruh tema yang ditemukan dalam kèjhung paparèghân di Jember, memberikan informasi bahwa ada sekian fokus permasalahan dalam kehidupan masyarakat etnis madura, yaitu agama, kehidupan, dan percintaan. Tentunya apa yang telah diangkat oleh kèjhung bukan tidak diawali oleh gejala/peristiwa sosial dalam masyarakat (stimulus). Karya sastra hadir sebagai reaksi pengalaman manusia atas kehidupan. Dari tema-tema yang diangkat tersebut, banyak nilai moral yang mencerminkan pandangan hidup masyarakat Madura. Dengan begitu kèjhung paparèghân juga berfungsi sebagai sistem proyeksi masyarrakat..
Pada konteks pertunjukan (performing art), tentunya kèjhung paparèghân tidak lepas dari fungsinya sebagai ekspresi emosional, kenikmatan estetis, hiburan, komunikasi, representasi simbolis, respon fisik, memperkuat konformitas norma-norma sosial, sumbangan pada pelestarian serta stabilitas kebudayaan, membangun intregritas masyarakat. Ini mendukung teori Alan P. Merriam mengenai fungsi musik etnis dalam Soedarsono (1998:56). Kèjhung paparèghân dalam pertunjukan ludruk di Jember murni bersifat menghibur dan komunikatif, Dilihat dari konteks diadakannya, kèjhung merupakan hadiah tuan rumah penyelenggara pesta sebagai penghargaan opah gedhung dan berbagi kebahagiaan dengan menghibur masyarakat dengan sebuah pertunjukan umum. Dalam perspektif ini ngèjhung turut berperan memelihara nilai saling menghargai dalam masyarakat.
Saat pertunjukan, masyarakat berkumpul bersuka cita menikmati pertunjukan. Keramaian ini dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang kecil (makanan serta mainan anak) untuk berjualan di sekitar tempat pertunjukan sebagai usaha mencukupi kebutuhan ekonomi. Begitu pula para tetangga, ada yang berjualan kudapan seperti kue tradisional dan gorengan. Beberapa pria menggunakan kesempatan menawarkan jasa parkir, mengatur dan menjaga kendaraan penonton dari desa tetangga agar tidak terjadi kehilangan. Dari fungsi ini, maka pertunjukan ngèjhung mendukung ekonomi masyarakat.