Orang Madura dalam Pendirian Majapahit (2)

Candi peninggalan Majapahit

Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd & Sapta Anugrah Ginting, S.Pd

Pembukaan hutan Trik tentu membutuhkan tenaga yang banyak. Arya Wiraraja dikabarkan mendatangkan seribu orang dari Madura untuk mempercepat pembabatan hutan (Sadik, 2006: 23). Hasil yang diperoleh dari kerja itu digambarkan dalam Kidung Panji Wijayakrama. Kota yang dibangun itu menghadap ke sungai besar yang mengalir dari sebelah barat dan bertemu dengan kali yang mengalir di sebelah selatan. Sudah pasti yang dimaksud sungai besar itu ialah Sungai Brantas yang mengalir dari Kediri menuju pantai laut. Sungai kecil yang mengalir dari selatan ialah Kali Mas, pada zaman itu disebut Kali Kencana. Tidak ada hentinya perahu dagang hilir mudik, datang perginya dikemudikan oleh orang Madura.

Orang Madura berdatangan tidak ada putusnya ke Majapahit. Mereka menetap di sebelah utara, di tempat bernama Wirasabha. Arya Wiraraja yang ketika itu telah kembali ke Madura menerima utusan Raden Wijaya bernama Banyak Kapuk dan Mahisa Pawagai yang menyampaikan tentang kondisi terbaru Majapahit. Sementara itu, Raden Wijaya memulai kesibukannya untuk mendekatkan diri pada rakyatnya, yang kini bukan hanya orang Madura, tetapi juga telah menarik orang-orang dari Tumapel dan Daha (Kediri). Di sebelah tenggara kota itu ada jembatan.

Daerah yang sudah dibuka sebagian kini berupa sawah yang ditanami. Tanamannya kini telah agak tinggi, daunnya masih muda. Kebun-kebun ditanami segala macam bunga, pucang, pinang, kelapa, dan pisang. Tidak heran jika dalam The Hutchinson Dictionary of Ancient and Medieval Warfare turut diakui bantuan orang Madura dalam mendirikan Majapahit (bukan hanya membuka hutan Trik Pen) di Pulau Jawa (Conolly, dkk., 2016: 332).

Mahisa Pawagal dan Banyak Kapuk segera undur diri dari hadapan Arya Wiraraja. Ketika dua utusan itu akan pergi, putra Wiraraja yang tinggal di Dusun Tunjung di bagian barat Madura disuruh ikut membawa pesan ayahnya kepada Raden Wijaya. Pesannya tidak lain adalah Arya Wiraraja belum dapat datang mengunjungi Majapahit. Raden Wijaya memberikan nama baru bagi anak Wiraraja yang membawa pesan itu yakni ‘Rangga Lawe’ sebelum kembali ke Madura untuk membawa kuda asal Bima milik Arya Wiraraja agar dapat digunakan oleh para menteri Raden Wijaya.

Sekembalinya Rangga Lawe ke Majapahit, utusan Jayakatwang yakni seorang menteri bernama Segara Winotan juga tiba di sana untuk memberikan pesan agar Raden Wijaya segera kembali ke Kediri. Sementara Rangga Lawe sedang menurunkan kuda berjumlah 27 ekor dari kapal Madura, Raden Wijaya menyampaikan kepada Winotan bahwa kuda-kuda itu adalah untuk kebutuhan berburu bersama Raja Jayakatwang, tetapi anjing-anjing dan jaring belum siap karena baru akan bisa dipenuhi bulan depan.

Dengan senang Winotan berkata, tetapi agak sedikit menyinggung perasaan, “Aku ingin melihat tandang-tanduk (kecakapan sebagai tuan rumah) orang Madura dalam berburu.” Rangga Lawe menyahut, “Apakah bedanya tandang-tanduk petani Madura dan orang orang Daha (Kediri)? Segera engkau akan menyaksikan kemampuan orang Madura!” Raden Wijaya terkejut dengan ucapan Rangga Lawe yang bernada menantang itu (Muljana, 2005: 191). Raden Wijaya memberi isyarat pada Ken Sora salah satu pengikut setia Raden Wijaya semasa pelarian dengan berkedip agar membawa Rangga Lawe pergi.

Rasa takut Raden Wijaya adalah jika saja rencana penyerangan terhadap Kediri terbongkar akibat kejadian barusan itu. Ia menenangkan Winotan dengan berkata bahwa Rangga Lawe adalah keponakan Ken Sora, seorang petani asal Madura yang agak kasar nada bicaranya. Ucapan keras Rangga Lawe dapat ditangkap sebagai pembelaan atas etnis Madura yang tidak boleh disepelekan kemampuannya. Winotan memohon segera undur diri kembali Kediri.

Menyadari bahwa waktu yang dimiliki tidak banyak, Raden Wijaya harus mempersiapkan semuanya demi kesuksesan penyerangan ke Kediri. Kemampuan militer Raden Wijaya yang telah tersohor dengan keberaniannya melawan Jayakatwang dahulu, kini tersalurkan dengan cara melatih dan mendidik prajurit-prajurit yang sebagian besar tentunya berasal dari Madura. Selama kedatangan Rangga Lawe dari Madura, Arya Wiraraja berkonsentrasi untuk mengirim utusan ke China. Wiraraja memanfaatkan konflik bilateral yang terjadi sebelum Jayakatwang mengalahkan Singasari.

Kertanegara yang dikenal dengan ambisi penaklukan nusantara telah membawanya pada perseteruan dengan penguasa Mongol (Dinasti Yuan) Kaisar Kubhilai Khan-yang menganggap Singasari mengancam penyebaran hegemoni China ke selatan menuju Selat Malaka. Kubhilai Khan mengirim utusan untuk meminta Kertanegara takluk: utusan Mongol itu dilecehkan dengan dipotong bagian tubuhnya (ada yang menyebut hidung dan ada pula yang menyebut telinga) dan disuruhnya kembali ke China (Cribb, 2000: 86). Utusan yang dikirim oleh Wiraraja bertujuan mengundang pasukan China (di bawah kekuasaan Mongol Yuan) ke tanah Jawa dengan alasan “menghukum Kertanegara”.

Kemungkinan terbesar adalah China yang saat itu berada jauh dari nusantara ditambah lagi komunikasi yang cukup sulit membuat mereka belum mengetahui perubahan iklim politik yang telah menewaskan Kertanegara maka hukuman itu akan diarahkan kepada Jayakatwang. Sungenneb (sebutan untuk ‘Sumenep’ di masa itu) menjadi pos penting yang menghubungkan pihak Wijaya-Wiraraja dengan kekuasaan China.

Latihan militer yang diawasi Raden Wijaya terus berjalan. Tampaknya kekuatan besar militer yang ia pimpin sekarang membuat menantu mendiang Kertanegara ingin segera berperang. Arya Wiraraja menjanjikan kepada Mongol akan memberikan hadiah yakni putri Daha bernama Ratna Kesari. Wiraraja meminta Raden Wijaya untuk bersabar. Dalam waktu yang hampir bersamaan, satu bulan kemudian Adipati Sumenep beserta keluarga dan bala tentara Madura tiba di Majapahit, pasukan Mongol juga mendarat di sebelah barat daerah Canggu (saat ini berada di daerah Mojokerto) yang dikenal sebagai daerah pelabuhan utama Majapahit, benteng pertahanan pun dibangun di sebelah baratnya oleh pasukan Mongol. Sebelum tiba di Jawa, armada Mongol yang dipimpin oleh Ike Mese, Kau Tsing, dan Shih-pi, telah dipesankan oleh Kubhilai Khan:

“Kalau kalian tiba di Jawa, kalian harus menyatakan dengan tegas kepada tentara dan rakyat di negera tersebut bahwa kekaisaran Dinasti Yuan sejak lama telah membina hubungan yang baik dengan saling menukar utusan, tetapi mereka telah merusak muka dan memotong telinga utusan kaisar, Meng Chi, dan kalian datang untuk menghukum perbuatan tersebut.” (Tanggok, dkk., 2010: 24).

Gerakan pertama yang muncul adalah gejolak dalam perpolitikan Kediri. Berita pendaratan Mongol itu berbarengan dengan pemberontakan rakyat Majapahit dan penduduk di sebelah timur Bobot Sari di bawah pimpinan Arya Wiraraja. Dengan sendirinya timbul keributan antara rakyat dengan tentara Daha (Kediri).

Mereka akan segera berangkat menyerang musuh yang sedang bergerak (Muljono, 2005). Jayakatwang merasa ditipu oleh Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, oleh karenanya ia menyuruh kedua orang itu menghadap ke keraton, meski sangat tidak mungkin akan terjadi. Raden Wijaya menolak perintah itu dan memesankan kurir untuk membawa pesan kepada Jayakatwang bahwa ia akan menghadap keraton untuk memboyong putri Prabu.

Jayakatwang marah besar saat mendengar pesan balasan yang dibawa kurir itu (Sadik, 2006: 24). Pemberontakan yang tengah berjalan semakin bergolak dengan basis kekuatan utamanya ialah prajurit Madura Majapahit, pasukan Madura pimpinan Arya Wiraraja, dan penduduk setempat yang bersimpati pada Raden Wijaya. Pasukan Mongol di bawah komando para panglimanya memiliki tujuan yang sama untuk menyerbu Kediri. Ditinjau dari sisi Majapahit, peperangan ini telah dipersiapkan secara matang untuk menggantikan kekuasaan Kerajaan Kediri sehingga perang ini bukanlah perlawanan spontan tanpa komando.

Semangat tempur pasukan Mongol terletak pada kesetiaan bagi sang kaisar. Selama ini sosok Kubhilai Khan secara personal tidak terlalu terekspos dalam kebanyakan historiogafi mengenai kesejarahan Madura. Kubhilai Khan adalah Jenderal Mongol yang telah mahir menunggang kuda sejak berusia 12 tahun, kelak saat dewasa ia telah mendapatkan reputasi sebagai ksatria dan cucu Jengis Khan. Setelah perang saudara melawan saudaranya yang bernama Ariboge berlangsung selama empat tahun,

Kubhilai menang dengan gemilang pada 1264, tahun ketika ia juga memindahkan ibu kota Mongol di Karakorum ke Peking. Kemenangan selanjutnya adalah menaklukkan Dinasti Song/Sung, untuk kemudian menyatukan China dalam satu kekuasaan Kubhilai Khan yang diangkat sebagai “Khan Agung” sejak 1279 (Magill (Ed.), 1998: 566). Hampir tidak mungkin pasukan Mongol yang telah jauh berlayar untuk menghukum orang yang menghina kaisar dan kerajaannya bersedia untuk kalah dalam perang di tanah Jawa.

Taktik penyerangan terhadap Kediri adalah dengan melakukan pengepungan melawan kekuatan militer Jayakatwang. Tentara Mongol masuk dari timur, sedangkan Raden Wijaya menyerang dari selatan. Tidak ada jalan keluar lagi untuk Jayakatwang. Kediri berhasil dikalahkan, Jayakatwang beserta keluarga diboyong ke Majapahit.

Raja Kediri yang terkadang disebut sebagai “Jayakatyeng” ataupun “Jayakatong” itu dikerangkeng di Ujung Galuh hingga meninggalnya. Putri-putrinya diserahkan kepada pihak Mongol untuk diserahkan kepada kaisar mereka. Demikian adat peperangan di zaman itu di mana raja yang menang perang akan membawa putri dari raja yang kalah (Sadik, 2006: 24). Pemerintahan Jayakatwang sejatinya adalah masa pendirian “Kerajaan Kediri Kedua” yang singkat.

Dicatatkan bahwa kematian Jayakatwang terjadi pada 1293. Jika dahulu Jayakatwang memanfaatkan lemahnya militer Singasari untuk membunuh Kertanegara, akhirnya ia harus meninggal sebagai raja yang kalah melawan muslihat cerdas serta “pasukan multi-etnis” (Madura, Jawa, dan China-Mongol). Salah satu versi lain tentang kerja sama Majapahit dengan pasukan Mongol ialah bahwa Raden Wijaya menyerahkan diri kepada pasukan ekspedisi Kubilai Khan yang baru saja tiba dari China atas nama Kertanegara yang telah meninggal. Ia berhasil membujuk pasukan Mongol untuk memerangi Jayakatwang (Ras, 2014: 118). Versi tersebut semakin memperkuat bahwasanya Raden Wijaya yang didampingi oleh Arya Wiraraja sebagai penasihat memang mempunyai kemampuan baik dalam sisi usaha diplomasi.

Bersambung:

1. Orang Madura dalam Pendirian Majapahit (1)
2. Orang Madura dalam Pendirian Majapahit (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.