Orang Madura dalam Pendirian Majapahit (1)

Ilustrasi: Kerajaan Majapahit

Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd & Sapta Anugrah Ginting, S.Pd

Kertanegara sebagai seorang raja dengan gagasan ekspansionis ternyata mempunyai musuh yang tidak lain justru berada di dalam lingkaran pemerintahannya. Dikatakan bahwa penurunan dari jabatan Demung menjadi Adipati sangat melukai hati dan menimbulkan kemarahan dalam diri Arya Wiraraja. Respons Banyak Wide sebagai politisi ulung yang telah menjadi Adipati Sumenep atas keputusan Kertanegara diabadikan dalam Kidung Harsa Wijaya, yaitu saat di mana ia mampu menghasut Jayakatwang untuk melakukan pemberontakan melawan Singasari. Salah satu nukilan dari suratnya berbunyi, “… Tak ada kerbau, sapi, rusa yang bertanduk. Jika mereka itu sedang mengangkut rumput, baiklah mereka itu diburu. Pasti tidak akan berdaya…”

Jayakatwang sebagai keturunan Raja Kediri terakhir-Prabu Kertajaya yang dikalahkan oleh moyang raja-raja Singasari yakni Ken Arok dalam Perang Ganter 1222 M-kemudian bertanya kepada sang pembawa surat yang bernama Wirondaya tentang keadaan sebenarnya di Singasari. Wirondaya menjawab bahwa sejak Kertanegara memegang kekuasaan, segala nasihat Mpu Raganatha dan menteri lainnya diabaikan, para menteri juga digeser dan digantikan oleh yang lebih muda, Raja Kertanegara lebih senang mendengar nasihat dari para menteri baru, karenanya ini menimbulkan ketidakpuasan rakyat. Mendengar apa yang disampaikan oleh Wirondaya, Jayakatwang meminta pendapat dari patihnya yang bernama Mahisa Mundarang. Patih Jayakatwang menjawab:

“Moyang Paduka, Prabu Dandang Gendis (Kertajaya), binasa akibat pemberontakan anak petani Pangkur, anak Ni Ndok. Itulah Raja Singasari yang pertama (Ken Arok) dan bergelar Raja Rajasa. Bala tentara Kediri sirna bagai gunung disambar halilintar. Prabu Kertajaya bersama bala tentaranya musnah karena tindakan Ken Arok. Kediri karenanya dijajah Singasari. Padukalah yang mempunyai kewajiban membangun kembali Kerajaan Kediri dan membalas kekalahan Prabu Kertajaya!” (Muljana, 2006: 115).

Jayakatwang kemudian termakan oleh hasutan Arya Wiraraja untuk melancarkan pemberontakan melawan Singasari. Ia mengirim pasukan kecil di bawah pimpinan Panglima Jaran Guyang untuk menyerbu Singasari dari utara. Sementara itu, penyerbuan ke Singasari dari arah selatan dipimpin oleh Patih Mahisa Mundarang. Dalam serangan yang tak terduga ini, Kertanegara tewas di dalam istananya (Rengganis, 2013: 131). Menariknya, kejatuhan Singasari sangat mudah. Pasalnya, saat itu seluruh istana sedang mengadakan upacara Tantrayana, sebuah aliran dari agama Buddha. Kertanegara dan seisi istana sedang minum-minum sampai mabuk, dengan keyakinan bahwa ketika kebaikan sudah sampai klimaksnya akan muncul “pencerahan” (Sumodiningrat & Nugroho, 2005: 25).*

Petaka yang menimpa serta menyebabkan kekalahan Singasari juga terkait dengan konsentrasi militer yang saat itu tidak terkoordinasi dengan baik. Kertanegara sedang sibuk mengirim tentaranya ke Sumatera dalam Ekspedisi Pamalayu untuk memperoleh jajahan dan pada saat itulah secara tiba-tiba Singasari diserbu oleh Kediri. Kertanegara mengirimkan dua menantunya yaitu, Sanggrama Wijaya (dikenal sebagai “Raden” Wijaya) dan Ardaraja.

Meskipun sempat memukul tentara musuh berkali-kali, Ardaraja yang juga anak dari Jayakatwang memutuskan untuk memihak kepada penyerangnya, prajurit Kediri. Raden Wijaya, karena hanya sendirian tidak mampu menghadang musuh lebih jauh lagi. Ketika Raja Kertanegara beserta punggawa istananya telah terbunuh, Raden Wijaya masih beruntung untuk lolos dari kepungan musuh sambil membawa permaisurinya keluar dari istana. Kemudian Raden Wijaya mengungsi ke Madura, diterima dan dihormati oleh Arya Wiraraja meskipun Adipati Sumenep ini memusuhi Kertanegara (mertua dari Raden Wijaya) (Sujana, 2010: 2).

Hampir seperti cerita tentang Bendoro Gung yang dilarikan oleh Patih Prang Gulang ke Madura, pulau ini kembali menjadi tempat aman bagi orang orang (terutama para bangsawan) yang mengalami masalah seputar kehidupan istana di Jawa. Jika hal ini adalah sebuah kebetulan, tampaknya kembali lagi masalah geografis turut menjadi pertimbangan bagi mereka dalam memilih Madura. Raden Wijaya segera menyadari tentang pentingnya figur Wiraraja dalam dinamika perpolitikan yang tengah berubah arah anginnya dari Singasari ke Kediri.

Tujuan Raden Wijaya untuk menemui Arya Wiraraja di Madura adalah ingin meminta saran tentang langkah yang harus ia ambil demi keselamatannya serta langkah politik yang perlu dia ambil selanjutnya. Saat ini Raden Wijaya telah menjadi seorang “pesakitan” karena bagaimanapun ia adalah menantu Raja Kertanegara. Meskipun Ardaraja berada dalam posisi yang sama selaku menantu dari Raja Singasari terakhir itu, tetapi Raden Wijaya bukanlah putra kandung Jayakatwang dan ia pun enggan untuk membelot pada Kediri seperti yang dilakukan oleh Ardaraja. Arya Wiraraja kembali memainkan peran cerdasnya sebagai seorang bangsawan yang penting.

Sederhananya mudah bagi seorang Banyak Wide yang telah menghasut Jayakatwang menyerang Singasari untuk menyenangkan hati Raja Kediri tersebut setelah Kertanegara terbunuh. Raden Wijaya sebagai bangsawan pelarian bisa saja ditangkap atau dipenggal kepalanya untuk kemudian diserahkan oleh Wiraraja kepada Jayakatwang. Pilihan ini tidak diambil oleh sang Adipati Sumenep.

Pilihan untuk tidak menyerahkan Raden Wijaya diperlihatkan oleh Arya Wiraraja saat menantu mendiang Kertanegara tersebut menuju Kota Sumenep. Adipati Wiraraja saat itu sedang bertatap muka dengan para punggawanya. Para punggawa membubarkan diri ketika Raden Wijaya masuk ke dalam balai. Arya Wiraraja tergopoh gopoh pulang. Hal itu membingungkan Raden Wijaya dan para pengikutnya.

Mereka tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya hingga wajar apabila muncul perasaan khawatir dan cemas. Namun, Arya Wiraraja datang kembali membawa seekor kuda tunggangan yang sudah dipasangi pelana serta mempersilakan Raden Wijaya menaikinya untuk kemudian diiringi ke kediaman Adipati Sumenep itu. Sikap Arya Wiraraja sebagai adipati tidak berubah dari semula, meskipun ia mengetahui bahwa Kerajaan Singasari telah runtuh oleh Raja Jayakatwang dari Kediri.

Raden Wijaya beserta para pengikutnya diberikan pakaian ganti dan dijamu dengan layak. Peristiwa itu benar-benar mengharukan hati para tamunya (Muljana, 2005: 183). Didapatkanlah sinyal yang positif dari sikap Arya Wiraraja kepada Raden Wijaya. Masih pada masalah pemilihan sikap yang diambil oleh Arya Wiraraja, kita perlu merekonstruksinya agar sedikit banyak dapat melihat sisi pandang Adipati yang dijauhkan sampai Madura Timur itu. Rasa hormat yang ditujukan kepada Raden Wijaya oleh Arya Wiraraja tentu bermuatan motif keuntungan politis, yang mana hal tersebut didapat berdasarkan prestasi Raden Wijaya dalam kemiliteran sebagai sesuatu yang dinilai potensial.

Perlu kita amati bagaimana peran militer Raden Wijaya saat berusaha mempertahankan Singasari dari serangan Jayakatwang seperti yang telah dicatatkan dalam Prasasti Kudadu. Dikatakan bahwa saat telah berangkat untuk menghadapi musuh (Kediri), di Desa Kedung Pelut Raden Wijaya bertemu musuh dan melawan mereka, musuh yang kalah kemudian melarikan diri. Korban yang jatuh di pihak Kediri cukup banyak. Kemudian Raden Wijaya menuju lembah, tetapi tidak terlihat keberadaan musuh, ia pun melanjutkan perjalanan ke barat melewati Batang menuju Kapulungan.

Di situ terlihat musuh, terjadilah pertempuran antara mereka dan tentara Raden Wijaya di sebelah barat Kapulungan. Musuh kalah, banyak yang luka parah dan gugur. Tentara Raden Wijaya bergerak lagi menuju Rabut Carat tidak lama kemudian terlihat musuh dari arah barat dan terjadi lagi pertempuran. Musuh kalah, lari, dan meninggalkan banyak korban. Sementara itu, terlihat panji-panji musuh berkibar kibar di sebelah timur berwarna merah dan putih. Seketika itu juga Ardaraja mendadak menyarungkan senjatanya, bertindak curang dan lari ke arah Kepulungan dengan maksud jahat (mengkhianati Raden Wijaya).

Itulah sebabnya tentara Raden Wijaya binasa, tetapi ia tetap setia kepada Sri Kertanegara (Bade, 2013: 32-33). Meskipun serangan Jayakatwang tersebut dilancarkan tiba-tiba, Raden Wijaya berhasil menuai beberapa kemenangan dengan melumpuhkan musuh. Tampaknya karena persekongkolan Ardaraja dengan bala tentara Kediri, Raden Wijaya menjadi tidak mampu untuk menanggulangi serbuan pasukan gabungan Ardaraja Kediri itu lebih lanjut.’

Bersambung:

1. Orang Madura dalam Pendirian Majapahit (1)
2. Orang Madura dalam Pendirian Majapahit (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.