Marlena; Senja yang Berarti

Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk  buku,

Episode Dua Belas

Melihat perubahan air muka adik angkatnya, hati Fatimah tersentuh. Ia menyesal sekali telah mengungkap kembali kecemasan dan kekhawatiran Marlena yang beberapa saat sebelumnya telah diadukan kepada dirinya. Tiba-tiba dalam benak Fatimah timbul rasa iba dan takut akan berpengaruh terhadap suasana hati Marlena. Untuk itu, Fatimah segera meraih tangan adik angkatnya itu, kemudian menggamitnya dan menuntun ke belakang.

Sementara Pak Toha dan Bu Rasmi, melihat pemandangan aneh itu, timbul rasa curiga. Namun kecurigaan suami istri itu sempat terbaca oleh kedua anaknya yang baru saja berlalu di hadapannya.

Sampai keduanya hilang di balik pintu kamar Marlena, sepasang mata suami istri itu seakan ditekan oleh suasana mimpi. Dan mimpi-mimpi Marlena sebenarnya telah menyusup dalam jiwa Pak Toha. Namun Pak Toha bersiteguh menghilangkan jejak-jejak kaki Marlena yang tertinggal jauh di belakang. Untuk itu setiap kali ucapan Pak Toha, selalu menghindari ucapan-ucapan yang mengarah pada kehidupan masa lalu Marlena.

“Heran, kedua anak itu. Sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan,” ujar Bu Rasmi masih dalam keadaan heran. Pak Toha tidak segera menanggapi, karena ia yakin permasalahan yang dihadapi oleh Marlena, merupakan permasalahan yang cukup berat membebani dirinya.

“Yah, maklumlah. Anak remaja kadang sulit ditebak isi hatinya. Untuk itu, kita harus lebih bijaksana memberikan wawasan agar tidak timbul kesalahpahaman,” ungkap Pak Toha.

“Apa kita selama ini, tidak bijaksana pada mereka?”

“Begitulah kesulitan kita, kebijaksanaan orang tua itu tidak selamanya dapat dibenarkan oleh anak-anak. Bahkan kalau mungkin, kebijaksanaan orang tua dianggapnya sebagai penghalang gerak-gerik mereka.”

“Maksudmu, kita orang tua seakan membatasi gerak-gerik mereka.”

“Mungkin juga.”

Gambaran Pak Toha, ternyata menembus relung hati Bu Rasmi. Akibatnya gambaran suasana Bu Rasmi kini melingkar-lingkar di otaknya, seakan mengabarkan pengakuan seorang anak remaja yang dipingit oleh kungkungan lingkungan keraton.

Keraton menurut orang kelayakan adalah manifestasi kehidupan yang penuh hormat dan sakral. Suatu kehidupan yang penuh aroma kembang setaman yang setiap saat menabur wewangian, dalam cengkraman martabat kebangsawanan. Maka tak heran, bila orang-orang “dalam” selalu disanjung dan dihormat, seakan dirinya diletakkan di peringkat martabat manusia yang paling tinggi.

Bu Rasmi merasakan itu semua. Namun sebenarnya, kenyataan yang dialami oleh Raden Ayu Surasmi Sastrodimejo kala itu tak lebih dari katak yang bernyanyi dalam tempurung emas. Betapa Raden Ajeng Kartini, anak Bupati yang banyak diberi keleluasaan menimba ilmu pengetahuan dari kaum penjajah, masih juga memberontak ketidakadilannya sesama kaum wanita? Kala itu, jiwa Kartini mulai menyusup ke dalam jiwa Bu Rasmi. Namun kenyataan yang dihadapi, ternyata tak mampu menjalankan kehendaknya lantaran sikap dan gaya kehidupan wanita Madura umumnya belum mennjukkan angin segar yang mengarah ke keberadaan yang lebih baik. Sikap tradisional dan fanatisme lingkungan itulah yang selalu menghadang niat Bu Rasmi untuk berkiprah. Namun setelah perkawinannya dengan Pak Toha, baru nafas Bu Rasmi terasa lega, meski kadang masih melekat kebanggaan dirinya sebagai turunan seorang penguasa.

“Heh, ibu juga kok ketularan?” tegur Pak Toha melihat ketermenungan istrinya.

Bu Rasmi terhenyak malu.

“Nah, apa kubilang. Hati wanita itu seperti bola yang selalu mengikuti gerak kekuatan kaki penendangnya,” simpul Pak Toha.

Bu Rasmi tersinggung.

“Bapak boleh bilang begitu. Tapi ingat, karena lelakilah bola-bola itu menggelinding dan melambung,” kilah Bu Rasmi.

Pak Toha tertawa.

“Sekarang aku baru mengerti. Perubahan sikap Marlena tadi, pasti ada kaitannya dengan gurunya itu,” simpul Bu Rasmi.

“Siapa namanya, Pak?”

“Jamil.”

“Yah, Pak Jamil itu.”

Pak Toha setuju.

*****

Bel istirahat kedua berbunyi. Murid-murid kelas dua segera mengemasi buku-bukunya yang baru saja diterangkan oleh guru bahasanya. Belum selesai Marlena memasukkan buku-bukunya, petugas piket menyodorkan selembar kertas panggilan.

“Panggilan dari siapa Len?” tanya Narti yang duduk berdampingan dengan Marlena. Marlena menunjukkan kertas kecil itu pada teman sebangkunya.

“Pak Jamil,” serut Narti seakan ditujukan pada dirinya.

Marlena tidak menyahut, yang tampak di wajah temannya itu seraut wajah kesal dan heran.

“Ada apa?”, Narti ingin tahu.

Marlena menggeleng.

Narti penasaran.

“Aku ke kantor dulu,” pamit Marlena. Narti tidak menyahut. Di hatinya terasa ada bel yang mengganjal, seakan rongga dadanya dibebani oleh beribu pertanyaan. Pertanyaan yang ditimbulkan oleh lapisan-lapisan samar yang mengabut di depan mata hati Narti. Hingga tubuh Marlena lenyap di balik pintu, justru dada Narti semakin diperangi oleh berbagai dendam yang menggejolak, hingga tanpa ungkapan yang jelas, di hati teman akrab Marlena itu timbul rasa benci dan muak. “Tapi satu hal yang tak kau miliki, yaitu kegadisanmu,” ancam Narti dalam hati yang pernah mendengar cerita Marlena pada masa lalunya.

“Ada apa Pak?”

Pak Jamil tidak menyahut, hanya bibirnya ditampakkan seutas senyum, tanpa kalimat.

“Bapak kemarin ke rumah?” tanya Marlena kemudian.

“Yah,” jawabnya dalam angguk.

“Kamu tidak ada, kebetulan ayahmu menemui saya.”.  Suasana terputus. Asing.

“Lalu, apa yang harus saya lakukan dari panggilan Bapak?”

“Tempo hari, aku terima surat dari Dewan Kesenian Surabaya, untuk menghadiri pembacaan puisi dalam rangka Hari Jadi Kota Surabaya,” jelas Pak Jamil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.