Kekuasaan Singasari di Madura

Madura Zaman Pra-Islam

Candi Singasari

Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd & Sapta Anugrah Ginting, S.Pd

Agama Hindu yang datang di nusantara adalah salah satu penyebab menyebarnya kebudayaan India bisa sampai ke wilayah Madura. Sebelumnya sudah diungkapkan bagaimana Raden Segara dan Keraton Nepa telah menggambarkan keberadaan kekuasaan politik di masa Madura awal. Didapati pula keterkaitan antara kekuasaan politik dengan wilayah sekitar Madura. Meski tidak bisa sepenuhnya bebas dari kesan mistis yang khas, pesan yang ditangkap sejak awal alur cerita itu ialah bahwa Madura juga tidak bisa dilepaskan dari eksistensi peradaban yang lebih besar/maju: Jawa. Kecenderungan itu terus berlanjut hingga masa-masa berikutnya.

Suatu hal yang tidak boleh diabaikan adalah, meskipun Jawa juga menjadi salah satu tempat kelahiran kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Budha, tetapi tidak secara utuh Madura mendapatkan pengaruh kebudayaan India dari Jawa. Proses peng-India-an yang diakibatkan oleh kedatangan pedagang dan penganjur agama dari India tadi menyebabkan masyarakat dikelompokkan berdasarkan keprofesionalannya, sejalan dengan pembenahan pengorganisasian pemerintahan kehidupan bermasyarakat mereka, tetapi kerajaan-kerajaan kecil Madura yang telah terbentuk segera menemukan bahwa dirinya tidak dapat menyaingi kekuasaan kerajaan yang didukung daerah lebih subur dan makmur di Jawa. Oleh karena itu, secara ekonomi dan politik, Madura selalu tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh Jawa (Rifa’i, 2007: 32).

Dalam kajian etnografi, penggambaran etnis Madura ternyata hampir tidak terlalu beda dengan apa yang disinggung pada bab sebelumnya. Melihat Madura melalui sekian banyak pengaruh luar dari lingkup geografisnya memang tidak bisa diabaikan, tetapi di sini juga turut harus dilihat bagaimana etnis Madura sebagai sebuah identitas yang mampu menunjukkan kesan dan dinilai oleh berbagai pihak. Tentang terpisahnya Pulau Madura dari Jawa maupun kisah tentang lahirnya Raden Segoro di atas perahu, hingga kemudian Keraton Nepa ditinggalkan oleh penguasa serta punggawanya merupakan stereotip historis yang tidak akan lekang dari orang Madura sebagai sebuah etnis.

Orang Madura hidup dari laut dan telah mengembangkan teknologi mata pencaharian sebagai nelayan. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang berani bergelut dengan laut. Ketangguhan di laut mereka buktikan dengan penjelajahan ke pantai-pantai nusantara ini, sampai ke Malaysia, Filipina, Madagaskar, Australia, dan China yang kita kenal dari masa modern (Arianto, 2011: 6). Dunia kemaritiman adalah sarana bagi manusia untuk dapat menyambung hidup.

Pengetahuan tentang kelautan mempermudah manusia untuk setidaknya mencari ikan maupun kegiatan lainnya via transportasi laut seperti berdagang. Hal tersebut bahkan memungkinkan untuk membantu orang-orang bermigrasi. Dengan ini, gambaran tentang bagaimana orang Madura berinteraksi dengan dunia luar telah kita peroleh.

Arya Wiraraja bisa dibilang merupakan salah satu sosok penting dalam kesejarahan Madura yang dapat dikaitkan dengan eksistensi kerajaan di Jawa. Hari jadi Kabupaten Sumenep sekarang ini adalah hasil dari seminar yang diselenggarakan pada 1989, hasil yang diperoleh dari seminar itu telah menentukan dirgahayu Sumenep berdasarkan Prasasti Sang Hyang Sarwadharma tertanggal 31 Oktober 1269 M. Prasasti ini berisi tentang hak dan kuasa Raja Kertanegara untuk memindahkan Arya Wiraraja, seorang pejabat Kerajaan Singasari yang sebelumnya sempat menjabat sebagai Akuwu. Akuwu adalah gelar pemimpin yang bertugas untuk mengepalai sekelompok desa, sedangkan desa dipimpin oleh seorang Buyut (Purwadi, 2007: 44).

Jabatan Arya Wiraraja yang memiliki nama asli Banyak Wide sebagai Akuwu didasarkan pada keterangan Prasasti Mula Malurung-piagam pengesahan atas Desa Mula dan Malurung yang dikeluarkan pada 1255 oleh Kertanegara sebagai Raja Muda (Ma’arif, 2015: 53). Banyak Wide bukan seorang birokrat kerajaan yang “biasa”. Setelah ia menjadi seorang Akuwu, kariernya semakin menanjak hingga diangkat sebagai Demung/Rakryan Demung (Farisi, 1993: 79). Demung adalah gelar untuk seorang pejabat yang bertugas mengatur rumah tangga istana (Sofyan, 2010: 47).

Akan tetapi, dunia politik tetap mempunyai risiko bagi siapa pun, tidak beda dengan seorang Banyak Wide yang bekerja untuk mengabdi kepada raja. Prasasti Sang Hyang Sarwadharma yang memberitakan pemindahan Banyak Wide memuat alasan pemindahannya. Kertanegara sempat menggelari Banyak Wide dengan nama Arya Wiraraja, tetapi karena merasa tidak percaya, Arya Wiraraja dipindahtugaskan ke Madura Timur sebagai Adipati yang setingkat dengan jabatan Bupati pada masa kini (Sadik, 2006:19). Informasi ini cukup untuk menggambarkan bahwa di Madura Timur saat itu telah ada satuan administratif kuno setingkat kadipaten yang menjadi bawahan Kerajaan Singasari. Maksud dari “ketidakpercayaan” Kertanegara serta alasan munculnya perasaan itu kepada Banyak Wide/ Arya Wiraraja belum bisa diketahui secara pasti. Masalah ini kian kompleks mengingat bahwa Arya Wiraraja merupakan pejabat kerajaan yang berprestasi.

Akan tetapi, dengan membaca konstruksi sejarah pada sosok Kertanegara sebagai figur raja masalah ini sedikit banyak mampu terjawab. Pengangkatan Arya Wiraraja sebagai Adipati Madura bermakna bahwa ia telah dipecat sebagai seorang Rakryan Demung dan ini erat dengan pelaksanaan politik Kertanegara yang ekspansionis. Kertanegara bahkan kesohor dengan ekspansinya ke tanah Melayu (Ekspedisi Pamalayu). Untuk realisasi politiknya tentu wajar bila Kertanegara tidak ragu-atau setidaknya perlu-untuk menyingkirkan para pembesar yang (dianggap-Pen) merintanginya dan menggantikan mereka dengan tokoh-tokoh yang mendukung paham politiknya.

Tokoh-tokoh lain yang dipecat oleh Kertanegara ialah Mpu Ragawinatha sebagai Amangkubumi (pembantu/penasihat raja), Wirakerti selaku Tumenggung (panglima perang), dan ketidakpuasan atas pemerintahannya sempat muncul dengan tragedi pemberontakan Kelana Bhayangkara serta pemberontakan Cayaraja. Pemberontakan-pemberontakan itu walaupun dapat ditumpas sempat menghambat gagasan politik perluasan wilayah untuk dapat mengirim tentara ke seberang lautan, kekeruhan di dalam negeri harus diatasi dahulu (Muljana, 2006: 112).

Untuk fase ini ada dua hal penting yang lumrah dituliskan tentang kesejarahan Madura pada masa Arya Wiraraja.

Pertama, adalah seperti yang diuraikan sebelumnya, terutama dalam sifat kepemimpinan Arya Wiraraja yang dikenal sebagi pribadi yang baik dan mempunyai kecakapan luar biasa hebat. Sumenep sebagai kadipaten telah ia pimpin dengan baik, ia juga seorang pakar ilmu peperangan, penasihat, atau pengatur strategi perang yang jitu (Ma’arif, 2015: 54). Saat itu sebagai sebuah pulau yang dikuasai Singasari, Madura hanya negara bawahan yang tidak masuk hitungan (Rifa’i, 2007: 33). Justru karena mampu memimpin wilayah yang kurang subur dan tidak menguntungkan secara ekonomi, hal kedua yang dicatat adalah Arya Wiraraja yang membuktikan bahwa ia negarawan yang ulung, tetapi ambisius (Farisi, 1993: 79). Namun, peran yang paling besar dari sosok Arya Wiraraja adalah bagaimana ia dapat mengarsiteki kelahiran kerajaan terbesar di nusantara kelak.

Berbagai pengalaman yang telah didapatkan oleh seorang Banyak Wide memberikannya kemampuan untuk menggerakkan peran orang Madura dalam percaturan politik regional. Peran orang Madura kian tampak, begitu pula posisi pulau yang tidak subur ini secara geografis. Ia mampu membuktikan bahwa orang Madura tidaklah statis meski dengan kekurangan yang dimiliki oleh wilayah tempat mereka tinggal. Namun, sebelum mengenal sosok Banyak Wide lebih jauh, kita perlu mengetahui bahwasanya tempat kelahiran Banyak Wide telah menimbulkan berbagai versi.

Penyebabnya lebih dikarenakan popularitasnya pada masa itu sehingga banyak diungkap dalam berbagai sumber dan kepercayaan tradisional. Secara umum kabar asal muasal Banyak Wide atau Arya Wiraraja berasal dari Kitab Pararaton yang mengemukakan bahwa ia adalah keturunan Buyut (tetua setempat – Pen) di Nangka (Purwadi, 2007: 46). Versi-versi yang berkaitan dengan asal Banyak Wide antara lain:

  1. Nangka yang dimaksud adalah Desa Karang Nangkaan, Kecamatan Rubaru, Sumenep.
  2. Menurut versi tradisional Bali dalam Babad Manik Angkeran, ia dilahirkan di Desa Besakih, Kabupaten Karangasem, Bali.
  3. Menurut seorang penulis sejarah Lumajang, Mansur Hidayat dalam Ma’arif (2015: 54) ia dilahirkan di Dusun Nangkaan, Desa Ranu Pakis, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang.

__________________________________________

Disalin dan diangkat dari buku “Sejarah Tanah-Orang Madura”,  Masa Awal Kedatangan Islam Hingga Invasi Mataram; penulis: Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd & Sapta Anugrah Ginting, S.Pd, penerbit Leotikaprio 2018, hal. 27-32

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.