Pada pertemuan ini Raden Wijaya menyampaikan keinginannya untuk meminta bantuan Arya Wiraraja dalam menghadapi Jayakatwang. Meski telah mengetahui bagaimana kemampuan militer Raden Wijaya yang sedemikian hebat, Arya Wiraraja masih merasa perlu untuk menguji keteguhan hati Raden Wijaya. Dari pertanyaan yang dilontarkannya, justru ia semakin mendapatkan tambahan informasi tentang kemampuan Raden Wijaya dalam bidang militer, seperti yang dikutip Sulaiman Sadik dari Buletin Konkonan” di Sumenep pada 1990:
“Napa Raddhin lakar bãngal alabãn dã’ Rato Jayakatwang ?” Mireng bariyã Radhin Wijaya mѐsem, lajhu dhãbuna: “..
“Bulã nѐko pon aperrang bãn bhãla Kadiri, jhã’ sѐnga bulã andi’ bhãla prajurit padã bannya’na bãn bhãla Kadiri tantona sanonto paman Jayakatwang pon bãdã ѐ tanang bulã. Tapѐ sanajjhãn bhãla bulã sakonѐ’ bannya’ matato moso. Bulã pas ѐ karembhãk kaangghuy nyarѐ bhãntowan ka Madhurã ѐngghi nѐko da’ dhika. Ѐ tengnga tasѐ’ bulã ghi’ sempat makala tello’ parao se e dãlemma aѐssѐ orѐng sapolo e tong-settonga parao. Tello polo oreng alabãn bulã kalema sabhãã, bulã ta’ tako’, nyamana bulã ghi’ odi’ sanonto bãdã eko’iya….” (Sadik, 2006: 21)
Arti dari percakapan tersebut adalah:
“…. “Apakah Raden benar-benar berani melawan Raja Jayakatwang?” Arya Wiraraja bertanya. Mendengar hal itu Raden Wijaya tersenyum, ia berkata:
“Saya sudah pernah berperang melawan bala tentara Kediri, andaikata saya mempunyai prajurit yang jumlahnya seimbang untuk melawan Kediri tentunya Paman Jayakatwang sudah ada di dalam genggaman saya. Tetapi, karena tentara saya sedikit (karena banyak yang tewas) lantaran menghancurkan musuh, saya kemudian disarankan untuk meminta bantuan ke Madura, yakni kepada engkau (Arya Wiraraja). Di tengah lautan pun (saat menyeberang) saya masih sempat mengalahkan tiga perahu yang di dalamnya masing-masing berisi sepuluh orang. Tiga puluh orang melawan lima orang rombongan saya, saya tidak takut dan nyatanya masih hidup sampai sekarang di sini (Madura)….”
Kebutuhan untuk memperoleh bantuan militer (terutama prajurit) jelas tergambar dari apa yang disampaikan oleh Raden Wijaya. “Saran” yang diminta oleh Raden Wijaya lebih menitikberatkan kepada kebutuhan akan tenaga prajurit mengingat saat itu eskalasi ketegangan belum mereda. Bahkan, saat ia menuju ke Madura Timur sekalipun, Raden Wijaya masih mendapat tekanan, ancaman, dan serangan oleh militer Kediri. Pertimbangan untuk pergi ke Madura juga tidak kalah penting untuk dikaji. Dari pengungkapan atas pilihan Raden Wijaya ke Madura, telah menunjukkan bagaimana Pulau Madura sebagai sebuah wilayah yang aman untuk melarikan diri.
Sejauh itu bisa dikatakan bahwa Raden Wijaya masih tidak mengetahui tentang peran Arya Wiraraja selaku penghasut yang menjadi salah satu penyebab tewasnya. Prabu Kertanegara. Namun, jika dilihat mengenai jatuhnya Singasari yang ibu kotanya diserang secara mendadak, kemungkinan besar dapat dijumpai adipati-adipati lain yang masih setia pada Kertanegara di daerah-daerah luar ibu kota.
Dengan kata lain, Raden Wijaya ikut mempertimbangkan sumber daya manusia yang potensial untuk dijadikan prajurit seperti yang ia lihat dari wilayah Madura Timur, untuk itu ia harus menemui Adipati Arya Wiraraja guna melihat kesetiaan dan kesediaannya. Kadipaten Madura Timur yang sebelumnya dianggap sebagai tempat untuk “menjauhkan” atau memutasi pejabat yang tidak dipercayai oleh Kertanegara, mulai sejak kejadian ini telah dipertimbangkan secara geografis dan potensi manusianya sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Melihat keteguhan Raden Wijaya tersebut, Arya Wiraraja menyanggupi pemberian bantuan. Sikap yang ditunjukkan Arya Wiraraja sungguh sangat berkesan dalam hati Raden Wijaya. Piawai dalam memberi nasihat adalah kelebihan Wiraraja yang berbanding lurus dengan ketepatan segala manuver politiknya. Bantuan yang diberikan oleh Adipati Madura Timur tidak “serampangan”, Wiraraja tidak langsung menyerahkan sekumpulan orang Madura untuk dipersenjatai dan kemudian dipimpin oleh Raden Wijaya.
Dengan cerdas, Wiraraja memberikan saran yang sarat taktik: strategi yang dipadukan kelihaian berpolitik dengan tujuan untuk kemenangan militer melalui bakat Raden Wijaya. Arya Wiraraja ingin membantu menjatuhkan Jayakatwang dengan caranya, yaitu Raden Wijaya pulang ke Jawa, lalu pura pura tunduk pada Kediri. Ia akan meminta suatu daerah kecil agar mendapat lahan untuk dipekerjakan oleh orang Madura yang mengikutinya. Dari tempat itulah diharapkan kekuatan dibangun untuk menghancurkan Jayakatwang (Simbolon, 2006: 25). Puas dengan apa yang diutarakan serta sikap Arya Wiraraja itu, Raden Wijaya kemudian berjanji untuk membagi Pulau Jawa menjadi dua (separuhnya akan diserahkan kepada Arya Wiraraja) apabila rencananya itu berhasil. Inilah kejadian yang kemudian disebut “Perjanjian Sumenep”.
Dalam berbagai penulisan sejarah, Raden Wijaya dikabarkan segera kembali ke Jawa dan datang menemui Jayakatwang untuk meminta ampunan. Dikatakan pula bahwa ia sembari membawa surat pengantar dari Arya Wiraraja. Namun, tampaknya hal itu sangat sulit diterima karena posisi penting Raden Wijaya sebagai mantan panglima Singasari, dan banyaknya korban yang timbul akibat tindakan perlawanannya pada Kediri, Raden Wijaya diincar sedemikian rupa untuk ditangkap dan kemungkinan akan dihukum berat.
Sehingga, ada satu enterpretasi (penafsiran) bahwasanya Raden Wijaya tidak berangkat sendiri ke Kediri, tetapi didampingi oleh seorang pejabat kerajaan setingkat adipati yang memimpin Madura Timur, yaitu Arya Wiraraja. Jayakatwang awalnya menaruh rasa curiga dan sempat pula mengira Arya Wiraraja membawa “pesakitan”/buronan bernama Raden Wijaya itu kepadanya. Namun, Arya Wiraraja kemudian menyampaikan maksud bahwa ia menghadapkan Raden Wijaya pada Jayakatwang untuk memohon ampunan.
Jayakatwang kembali menanyakan kepada Arya Wiraraja apakah mungkin dirinya memaafkan mantan panglima Kertanegara yang telah banyak menewaskan prajurit Kediri. Sembari memuji bahwa “Jayakatwang akan menjadi raja yang besar di tanah Jawa apabila memaafkan orang yang pernah memusuhinya,” Wiraraja kembali memohonkan maaf atas Raden Wijaya. Setelah diampuni, Raden Wijaya mengajukan untuk memohon izin dalam membuka hutan Trik berdasarkan usulan dari Arya Wiraraja. Wiraraja tampaknya telah mempertimbangkan hal tersebut karena wilayah itu berada di kawasan yang lebih hilir dari Sungai Brantas dibandingkan dengan pusat Kerajaan Kediri sehingga lebih dapat mengembangkan perdagangannya dengan dunia luar daripada Kediri (Kecik, 2009: 22).
Dengan izin yang telah diberikan oleh Jayakatwang itu, Arya Wiraraja segera memerintahkan agar orang-orang Madura dikerahkan dan kemudian diangkut untuk membuka hutan Trik. Dalam waktu yang singkat saja, hutan Trik berhasil dibuka. Pembukaan hutan itu menunjukkan kerja keras yang diusahakan oleh orang Madura dan tidak bisa dinafikan pengorbanan tenaga dalam menebangi pepohonan hingga mereka perlu tinggal di tempat tersebut. Sulaiman Sadik berdasarkan dari Kitab Pararaton menyampaikan kisah ini:
“Demikian asal muasal pembukaan (hutan) Trik. Di waktu itu yang membuka hutan tersebut adalah orang Madura, kemudian ada seseorang (Madura) yang merasa lapar karena bekal makanannya kurang lalu memetik buah maja dan kemudian memakannya, ia lalu memuntahkannya karena rasa pahit buah itu dan dibuangnya. Akhirnya tempat tersebut dikenal karena banyak terdapat buah maja nya yang sangat pahit maka tempat itu disebut ‘Majapahit’,” (Sadik, 2006: 23).
Cerita penamaan Majapahit ini sangat kesohor, tetapi sayangnya hanya dilihat sebagai kejadian penemuan identitas kerajaan yang dikenal kemudian dalam usaha penyatuan nusantara: Majapahit. Hal itu memang penting, karenanya. identitas Madura semestinya dapat diketahui peranannya dalam menjadi pendukung yang melatarbelakangi kejayaan Majapahit. Tentunya tidak sebatas nama “Majapahit” yang dihasilkan dari kisah ini. Kutipan tersebut mengisahkan pengalaman seorang pekerja Madura yang kelaparan dalam sebuah usaha yang tidak mudah untuk membangun pemukiman Majapahit awal.
Di hutan Trik inilah Raden Wijaya membangun sebuah tanah perdikan (hadiah) bersama orang Madura. Namun, hadiah yang diberikan Jayakatwang tidak lantas menghapus dendam Raden Wijaya (Sumodiningrat & Nugroho, 2005: 25). Karena itu pula ternyata peran orang Madura masih berkelanjutan dalam skenario sejarah yang tengah dirancang oleh Raden Wijaya dan Wiraraja sehingga orang-orang yang dipekerjakan tidak bisa pulang ke Madura.
Pada masa modern kita tentu mengingat bagaimana program transmigrasi diusahakan untuk meratakan jumlah penduduk atau untuk memperluas lahan pertanian maupun perkebunan, hal yang hampir serupa dialami orang Madura sebagai rakyat dari Arya Wiraraja. Mereka dikerahkan dan ditempatkan untuk tinggal, tetapi tujuannya adalah membidani lahirnya satuan kekuatan politik baru.
Semangat menghidupkan kejayaan Singasari atas Kediri kembali bangkit yang intriknya juga mencakup masalah kependudukan. Orang Madura telah menampilkan kemampuan yang menakjubkan walau mereka tidak melakukannya hanya demi identitas “Madura” sendiri secara sempit, dalam artian bahwa mereka berada di tanah seberang dan mengerjakan tugas demi kepentingan politik negeri yang membawahinya. Etos kerja dan loyalitas yang mengagumkan tersebut memberi arti bahwa orang Madura telah memiliki kesadaran dalam menempatkan identitasnya pada dedikasi yang luas (terbuka).
__________________________________________
Disalin dan diangkat dari buku “Sejarah Tanah-Orang Madura”, Masa Awal Kedatangan Islam Hingga Invasi Mataram; penulis: Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd & Sapta Anugrah Ginting, S.Pd, penerbit Leotikaprio 2018, hal. 32 – 43
Bersambung:
1. Orang Madura dalam Pendirian Majapahit (1)
2. Orang Madura dalam Pendirian Majapahit (2)