tempat tinggalnya, sehingga masyarakat Pamekasan diharapkan mampu menawarkan kebiasaan hidup yang dapat memberikan pembelajaran terhadap wisatawan, yakni melalui pemakaian odheng tersebut.
Tentunya, pengembangan wisata berbasis budaya melalui pemakaian odheng ini, dapat berdampak pada pengembangan model wisata lainnya, yang juga turut menuntut peran aktif masyarakat Pamekasan, salah satunya yakni memberdayakan para tukang becak. Pekerjaan tersebut bagi sebagian orang dianggap pekerjaan kelas menengah kebawah dan dipandang sebelah mata, namun sebetulnya bisa menjadi agen pengembangan pariwisata berbasis budaya di Pamekasan. Sepanjang jalanan Malioboro, Jogja misalnya, becak berfungsi tidak sekadar alat angkut alternatif selain kendaraan bermotor, tetapi juga berfungsi sebagai pemeriah maupun alat transportasi wisatawan yang ingin berkunjung ke tempat penjualan oleh-oleh khas Jogja. Regolidjo (2012) juga menjelaskan eksistensi tukang becak di Jogja, dalam tulisannya dijelaskan bahwa keberadaan becak telah menjadi salah satu bagian dari identitas budaya Jogja, bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan, jika becak secara umum dijadikan ciri-ciri/penanda budaya Jawa, sehingga keberadaannya harus tetap dijaga.
Berdasarkan hal tersebut, maka para tukang becak di Pamekasan sudah seharusnya mulai diberdayakan, salah satunya dengan menjadikannya salah satu alat transportasi wisatawan yang ingin melihat suasana Kota Pamekasan. Tentu ada beberapa hal yang harus dimodifakasi dari tukang becak tersebut, yakni mengubah tampilan mereka dengan memakai baju khas sakera dan sudah barang tentu memakai odheng. Tampilan pakaian yang dikenakan tukang becak juga menjadi faktor pendukung untuk memberikan kesan nyaman dan menarik bagi para wisatawa yang melihatnya.
Di sisi lain, tidak hanya mengubah tampilan pakaian tukang becak saja, namun pemerintah Kabupaten Pamekasan juga harus berani mengkonsep beberapa gang-gang kecil atau jalanan yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi objek wisata, seperti halnya model jalanan di Malioboro yang sengaja diperuntukkan sebagai pusat oleh-oleh khas Jogja. Penulis menawarkan gagasan untuk pemerintah Kabupaten Pamekasan berupa penyediaan tempat khusus penjualan kuliner khas Pamekasan, dan Madura pada umumnya, selain itu penambahan tempat yang khusus menjual oleh-oleh khas Pamekasan. Para tukang becak inilah yang kemudian dapat mengakomodir transportasi ke tempat wisata kuliner dan pusat oleh-oleh khas Pamekasan tersebut. Dengan demikian, penjelasan konsep beserta bentuk implementasi wisata berbasis budaya di Pamekasan tersebut, setidaknya sesuai dengan gagasan Ki Hajar Dewantara (dalam Tampobulon, 2006), bahwa suatu pembangunan perlu sebuah kemandirian yang partisipatif dari segenap elemen masyarakatnya.
Kemandekan dalam sebuah pembangunan, berarti ada kebuntuan dalam menyimpulkan solusi. Dalam konteks pembangunan pariwisata, kemandekan tersebut bisa diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya tidak adanya inisiatif dari pemangku kebijakan beserta masyarakatnya untuk bersama-sama mencari alternatif mengenai model pengembangan wisata. Tulisan ini berkesimpulan bahwa pemakaian odheng bisa menjadi salah satu model aternatif pengembangan pariwisata berbasis budaya di Pamekasan, sebagai akibat dari kurangnya perhatian wisata terhadap pariwisata alam yang ada di Pamekasan.
Pemakaian odheng diharapkan mampu menjadi magnet dalam menarik para wisatawan luar daerah untuk berkunjung ke Pamekasan. Namun lebih jauh, secara fundamental, pemakaian odheng ini juga merupakan wujud revitalisasi pakaian adat Madura agar tidak hanya dikenal sebagai pakaian adat pelengkap di beberapa kegiatan tertentu saja. Dengan demikian, besar harapan penulis, agar melalui pemakaian odheng ini, Pamekasan mampu menjadi satu-satunya kabupaten di Madura yang fokus menjadikan nilai-nilai budaya sebagai basis pengembangan pariwisatanya.