Odheng Sebagai Implementasi Pengembangan Wisata Madura

odheng_maduraKabupaten Pamekasan yang juga turut berupaya mengembangkan potensi daerahnya, bisa dibilang belum begitu tampak implementasinya. Baru-baru ini, Pamekasan memiliki wahana wisata edukasi “Selamat Pagi Madura” yang berlokasi di Lawangan Daya, tapi dirasa masih belum cukup untuk mendongkrak popularitas wisata di Pamekasan. Hal lainnya yang juga turut menguatkan belum adanya niat untuk pengembangan pariwisata di Pamekasan, yakni tidak adanya data yang jelas terkait jumlah kunjungan wisata di Pamekasan. [1] Cukup ironis memang, disaat kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Sumenep cukup aktif mengembangkan potensi wisata di daerahnya.

Waktunya Pamekasan berbenah. Ketika kabupaten lainnya lebih fokus menggali potensi alam di daerahnya, maka dengan sikap tegas, Pamekasan harusnya mampu berbuat dengan langkah yang berbeda, yakni implemetasi pariwisata berbasis budaya.  Salah satunya yang berpotensi diangkat sebagai model pengembangan berbasis budaya, yakni odheng. Hal yang juga mendukung odheng memiliki potensi tersebut adalah sifat penggunaannya yang fleksibel, artinya tidak bersifat tahunan, bulanan, ataupun mingguaan dari segi penggunaannya, melainkan bisa dipakai untuk kegiatan sehari-hari. Selain itu, odheng berbeda dengan beberapa kebudayaan lainnya di Madura yang bersifat agenda tahunan dan hanya dipentaskan dalam kurun waktu yang terbatas, misalnya tarian lokal Madura, Kerapan Sapi, Sapi Sonok, ataupun pentas budaya yang bersifat festival.

Terkait adanya perbedaan serta potensi dari odheng tersebut, akan menjadi poin penting dalam merumuskan sebuah gagasan beserta implementasinya pemakaiannya. Tulisan ini akan berupaya mendeskripsikan secara konkret, bagaimana odheng dapat menjadi terobosan pengembangan pariwisata berbasis budaya di Pamekasan.

Nilai dan Moral dari Pemakaian Odheng

Pada hakikatnya, setiap benda bergerak maupun yang tidak memiliki suatu nilai yang tercermin atas dasar persepsi. Kesimpulan dari sebuah nilai juga ditentukan dari pengalaman hidup manusia, sebagai pihak dominan yang memberikan persepsi tersebut. Ilmu filsafat berpandangan bahwa nilai menunjuk pada kata benda dan bersifat abstrak (Kaelan, 2008:87), dengan persepsi keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Kaelan (2008) juga melanjutkan, bahwa nilai dipakai manusia untuk mengukur puas atau tidaknya manusia dari penggunaan suatu benda. Intinya, nilai adalah instrument untuk mengukur kualitas yang melekat dari suatu benda, yang mampu menarik minat manusia untuk menggunakan benda tersebut.

Nilai juga seringkali disandingkan dengan moral. Manusia dalam memberikan sebuah nilai, tidak terlepas dari peranan moral dirinya sebagai manusia yang lahir untuk belajar. Menurut (Nata, 2009:92) moral merupakan hasil dari sebuah pembelajaran hidup manusia dari sebuah pembiasaan. Senada dengan terminologinya, moral berasal dari bahasa Latin mores, jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Sjarkawi (2006:27) menambahkan, arti lain dari kebiasaan itu bisa berwujud cara dan tingkah laku, akhlak, tutur-kata, tabiat maupun cara berkehidupan lainnya.

Berdasarkan hal tersebut, odheng sebagai salah satu pakaian adat Madura, tidak hanya mencerminkan unsur lokalitas semata, namun jauh daripada itu, terdapat nilai dan moral yang mampu mereduksi stigma negatif karakter masyarakat Madura, yang dikenal keras, garang, dan identik dengan perilaku carok. Untuk memahami nilai dari odheng tersebut, Daroeso (dalam Kaelan, 2008:39) menjelaskan tiga sifat nilai. Pertama, nilai itu bersifat realitas/ada (riel), dalam konteks ini keberadaan odheng merupakan bukti dari adanya konsensus nilai, yakni materil kebudayaan dari etnik Madura. Kedua, nilai bersifat normatif, artinya mengandung visi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.