hiburan tersendiri untuk para wisatawan. Mulai dari mengenal cara masyarakat Bali melakukan ritual keagamaannya, atribut keagamaan yang dipakai, sampai pada kebiasaan masyarakat Bali yang sering menggunakan pakaian adatnya. Secara keseluruhan, hal tersebut justru semakin menguatkan model pariwisata yang ditawarkan Bali untuk para wisatawannya.
Berdasarkan contoh tersebut, Pamekasan sejatinya bisa mengadopsi model pariwisata yang dilakukan oleh Bali, bahwa budaya dari cara berkehidupan masyarakat Pamekasan diharpkan mampu menawarkan keistimewaan tersendiri, karena sampai saat ini potensi wisata alam di Pamekasan belum begitu menarik perhatian para wisatawan. Alasan umum yang menjadi seseorang untuk berwisata adalah ingin mendapatkan rasa senang dikala senggang dari rutinitas kerja. Menurut Smith (dalam Kusumanigrum, 2009:16) wisatawan adalah orang yang memiliki waktu luang atau sedang tidak bekerja, yang secara sukarela berkunjung ke suatu tempat untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Dalam konteks pemakaian odheng, wisatawan dari luar daerah Pamekasan beserta masyarakat Pamekasan itu sendiri setidaknya akan ditawarkan nuansa pariwisata yang berbeda dengan keempat kabupaten yang di Madura, seperti halnya di Bali, yakni cara berkehidupan masyarakat Pamekasan yang terbiasa memakai odheng, sehingga pemakaian odheng ini dapat menjadi alternatif pariwisata sekaligus corong dari gerakan awal pengembangan wisata berbasis budaya di Pamekasan.
Gagasan tanpa sebuah implementasi, maka tidak akan berarti, sehingga perlu adanya langkah konkrit dalam penerapan pemakaian odheng tersebut. Beberapa langkah tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut.
- Pemakaian odheng tidak bisa secara langsung diterapkan dalam sekala besar, artinya tidak serta-merta langsung diterima oleh masyarakat Pamekasan secara umum. Untuk itu, perlu membangun gerakan dari komunitas yang bersifat kecil namun memiliki kendali untuk menggerakkan orang banyak, salah satunya bisa melalui lembaga OSIS sebagai motor penggerak pemakaian odheng bagi kalangan muda di Pamekasan, tentunya dalam lingkup sekolah. Dilain hal, lembaga ini dirasa cukup representatif untuk menggugah kesadaran antarsiswa terlebih para gitu, bahwa pakaian adat berupa odheng, sudah seharusnya diperkenalkan sebagai salah satu atribut formal sekolah yang bersifat muatan lokal, tentunya dengan peraturan yang sudah disesuaikan dari hasil musyawarah antar siswa dan guru. Hal ini juga bertujuan agar odheng tidak semata-mata dikenal sebagai atribut karnaval ataupun kegiatan tertentu saja, dan membangun rasa cinta budaya di kalangan muda.
- Pemakaian odheng tidak terbatas dalam lingkup sekolah saja, sehingga perlu momen tertentu agar gerakan memakai odheng yang dimulai dari kalangan anak muda bisa dikenal oleh masyarakat Pamekasan di berbagai kalangan. Konkritnya bisa diperkenalkan melalui momen Car Free Day (CFD) yang bertempat di sepanjang jalan monumen Arek Lancor. Momen tersebut dirasa tepat, sebab hari bertemunya segala aktifitas masyarakat Pamekasan. Model promosinya bisa dengan berbagai cara, bisa berupa flash moob dari kalangan muda, penyebaran brosur berisi seruan memakai odheng, ataupun hal kreatif lainnya. Perlu menjadi catatan, bahwa kalangan muda sudah sepatutnya diposisikan sebagai agen pembangunan di Pamekasan. Senada dengan pekikan Bung Karno “Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Kira-kira, seperti itulah harapan besar sang proklamator yang diamanahkan kepada kalangan muda Indonesia.
- Follow up selanjutnya, berupa promosi melalui jejaring sosial. Melalui kalangan muda, yang terkategori sebagai pengguna aktif jejaring sosial, dapat mempromosikan gerakan pemakaian odheng di Pamekasan kepada publik. Bisa seperti memakai foto profil saat memakai odheng ataupu memotret teman maupun orang disekitarnya yang memakai odheng, tentu dengan tambahan hastag yang telah menjadi kesepakatan bersama. Tujuannya, memperkenalkan Pamekasan sebagai penggerak pemakaian odheng tersebut,