Nyi Suratmi, nama ini memang tidak begitu populer dikalangan masyarakat, termasuk masyarakat Sumenep. Namun dibalik nama itu, perempuan berusia lanjut ini, banyak tersimpan proses kehidupan sebagai seorang kreografer handal pada jamannya, yang sempat menelorkan sebuah karya tari yang diberi nama Tari Duplang.
Ditemui Lontar Madura, beberapa waktu lampau. di kampung Tajjan, desa Slopeng Sumenep ini, meski usianya sudah uzur namun tampak enerjik mengisahkan tentang masa-masa kejayaannya masa lalu, baik sebagai penari maupun sebagai pesinden.
Meski usianya telah 110 tahun, secara gamblang, ia menceritakan pengalamannya bahwa sinden ataupun penari keraton ketika masih muda, adalah sebuah profesi yang sangat dihormati dan membanggakan. “Apalagi bisa menembang atau menari di keraton, ditonton langsung ajunan Rato (Raja) dan keluarga”, ujarnya kebanggaan.
Setiap mengadakan pementasan baik di kalangan keraton ataupun masyarakat kebanyakan, disiplin sangat dijunjung tinggi. Penonton laki-laki berada di depan pentas, sedangkan penonton wanita berada di serambi rumah.
Hasil sawiran dari penonton dimasukkan ke dalam kantong yang diedarkan secara keliling oleh petugas khusus. Setelah pementasan selesai, uang dalam kantong tersebut diangkat tinggi-tinggi dan ditumpahkan pada sebuah talam sehingga menimbulkan bunyi gemerincing. Barulah hasil perolehan itu dihitung
“Tidak seperti jaman sekarang, terkadang uang diselipkan langsung di balik kutang ataupun secara langsung diberikan lewat bibir”, ujar Nyi Suratmi prihatin. Pada masa dulu, adalah sebuah aib apabila seorang laki-laki mendekati sinden apalagi sampai menggodanya di depan umum. “Karena tarian atau tembang yang di kidungkan, adalah ungkapan perasaan indah terhadap Allah Taala, junjungan Nabi serta rasa hormat kepada junjungan Ratu”, ungkapnya.
Wah,
Hebat ya orang Madura ni.
Aku keturunan Madura dari sebelah ibu. Tapi tidak tahu salasilah lagi kerana tinggal di Malaysia.
Mengapa berhenti menulis?