Silsilah dan Kekerabatan
Mohammad Kholil lahir tahun 1835 M di Bangkalan, Madura. Pendapat lain mengatakan bahwa tahun kelahirannya 1825 M. Kiai Kholil sangat dihormati, bahkan oleh kalangan begal, rampok.
Kiai Kholil bernama asli Muhammad Kholil. Ia adalah salah satu keturunan Sunan Gunung Jati, wali penyebar agama Islam yang masyhur di tanah Jawa. Beliau juga masih keturunan dari Nabi Muhammad.
Adapun nasab lengkapnya adalah Kiai Muhammad Kholil bin Abdul Latif bin Hamim bin Kiai Asror bin Abdullah bin Sulaeman (wafat di Mojoagung, Jombang) bin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon) bin Maulana Umdaduddin Abdullah (wafat di Tiongkok) bin Maulana Ali Nuruddin bi Maulana Jamaluddin Akbar bin Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Sayyid Abdullah Adhimah Khan (wafat di Hindustan) bin Sayyid Abdul Malik bin Sayyid Alwi (wafat di Tarim, Hadramaut) bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbad bin Sayyid Ali Kholil Qasim bin Sayyid Alwi (wafat di Bait Khabir) bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi (wafat di Sahal) bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Ahmad Muhajir bin Sayyid Isa (wafat di Basrah) bin Sayyid Muhammad Tsaqib bin Sayyid Ali al Uraidi bin Sayyid Ja’far Shadiq bin Sayyid Muhammad Baqir bin Sayyid Ali Zaenal Abidin bin Sayyid Husein bin Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulillah, Muhammad SAW.
Pengaruh Bagi Perkembangan Islam Jawa
Kiai Kholil Bangkalan adalah salah satu ulama termashur dan sangat dihormati di kalangan pesantren pulau Jawa. Sampai saat ini, makamnya masih ramai diziarahi. Beliaulah guru para ulama Jawa. Santri-santri beliau banyak yang kemudian mengasuh pesantren besar di Jawa seperti:
- Hasyim As’ari (Pahlawan Nasional, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama).
- R. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo).
- Muhammad Moenawwir Krapyak (pendiri Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta).
- Abdul Wahab Hasbullah (baru saja ditetap- kan sebagai Pahlawan Nasional pada Jumat, 7 November 2014, pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang dan Rais Aam NU 1947-1971).
- Kiai Bisri Syansuri (Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Denayar, Jombang).
- Kiai Abdul Manaf (Lirboyo-Kediri).
- Kiai Maksum (Lasem).
- Kiai Bisri Mustofa (Rembang Jateng).
- Kiai Nawawi (Sidogiri).
- Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), dan masih banyak lagi.
Bahkan, menurut penuturan Kiai Asa’ad Samsul Arifin, Ir. Soekarno Presiden RI pertama, meski tidak resmi sebagai murid Kiai Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan. Kiai Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya.
Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari peran Kiai Kholil, Bangkalan. Pada masa-masa menjelang berdirinya NU, sekitar tahun 1924, Kiai Kholil lah yang memantap- kan KH. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan ormas Islam tersebut.
Dikisahkan bahwa murid Kiai Kholil, yaitu KH. Hasyim Asy’ari sedang memusatkan pikiran pada rencana men- dirikan organisasi, yaitu NU. Namun Kiai Hasyim me- rasa belum yakin. la takut jika kedepannya organisasi tersebut membawa madharat bagi umat Islam, seperti perpecahan umat Islam.
Untuk itu Kiai Hasyim meminta petunjuk pada Sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui. Beliau melakukan shalat istikharah berulang kali. Namun petunjuk tak kunjung datang. Rupanya Kiai Kholil mengetahui ke- resahan Kiai Hasyim. Sampai pada tahun 1924, Kiai Kholil memanggil muridnya yang bernama As’ad (kelak menjadi KH. As’ad Syamsul ‘Arifin), untuk mengantarkan tongkat (sebagai isyarat atau perlambang) dan mem- bacakan surah Taha ayat 17-23 kepada Kiai Hasyim.
Setelah kedatangan As’ad dengan membawa isyarat dari gurunya, Kiai Hasyim memahami pesan dari isyarat tersebut. Inilah jawaban dari doa-doanya. Berarti sang guru mengetahui keresahannya dan merestui rencana- nya dengan berdirinya organisasi NU.
Namun begitu karena satu dan lain hal, NU urung diresmikan. Kemudian pada tahun 1925, Kiai As’ad me- ngutus As’ad lagi dengan menyerahkan tasbih dan bacaan Asmaul Husna, Ya Jabbar Ya Qahhar tiga kali. Jika kita hubungkan dari mulai tongkat, ayat al-Qur’an, tasbih dan Asmaul Husna, serta memahami arti dari kesemuanya. Maka dapat disimpulkan bahwa ini me- rupakan bentuk dukungan yang sangat besar dari Kiai Kholil walaupun tidak secara langsung.
Kiai Kholil wafat pada usia 90 tahun, pada 29 Ramadhan 1343 H/1925 M. Beliau dimakamkan di desa Mertajasa, Bangkalan. Sekitar 1 kilometer barat kota Bangkalan. Sampai sekarang makam Kiai Kholil masih ramai di- ziarahi dari berbagai daerah di Nusantara.
(Histry of Madura, Samsul Ma’arif)