Nyi Suratmi, Menari Ungkapan Indah Kepada Allah

Di samping itu setiap pementasan senantiasa diawali oleh puji-pujian kepada Sang Maha Pencipta Keindahan, kemudian tembang tersebut hanya digunakan sebagai alat pengungkap perasaan indah. Sehingga kesenian benar-benar berfungsi sebagai media yang mampu menghanyutkan perasaan penonton untuk merenung akan kebesaran serta keindahan Sang Pencipta. Syair-syair dari tembang banyak berisi permohonan kepada Dzat Pencipta ataupun berisi nasehat tentang kemuliaan budi pekerti.

Menurut Nyi Suratmi, saat ini masyarakat tidak peduli lagi pada kesenian tradisional. Hal itu dapat diamati dari banyaknya seni tradisional yang punah. Salah satunya adalah tari tradisional Dupplang. Tari ini adalah penggambaran jalinan cerita tentang sejenis ubi yang memabukkan, yaitu gaddung. Dalam tarian ini menggambarkan dari proses awal penanaman, pemupukan, panen, penjemuran, pengolahan sampai pada tahap memakan dan akhirnya mabuk. Tarian tersebut diciptakan oleh Nyi Raisa seorang sinden dan penari keraton, Nyi Raisa adalah nenek dari Nyi Suratmi.

“Tarian ini sangat sulit dan menguras energi, sehingga jarang sekali ditampilkan. Kalau mementaskan tarian ini, saya mendapatkan uang sekitar 20 rupiah, yang paling banyak adalah persenannya, bisa mencapai 10.000 rupiah”, ujar Nyi Suratmi tersenyum mengingat masa lalunya. Tarian ini dibawakan oleh dua penari, waktu itu Nyi Suratmi didampingi oleh Mas’riah atau Juriah. Menurut Nyi Suratmi, dirinya adalah generasi terakhir yang mampu membawakan jenis tarian ini.

Sejak pergantian Raja ke Bupati, Nyi Suratmi meninggalkan lingkungan keraton kembali ke daerah asalnya di Slopeng, Dasuk. Dan otomatis pula, tarian Dupplang tersebut tidak pernah dipentaskan lagi. ”Sayang sekali tarian ini akan punah, karena dalam kondisi seperti ini, saya tidak mampu untuk mewariskannya”.

Sebagai seorang penari dan pesinden yang terkenal dijamannya, Nyi Suratmi pernah tampil di keraton Yogjakarta dan keraton Solo serta mengunjungi berbagai daerah di Jawa Timur. Dan oleh salah seorang pemujanya yaitu Aryo Sudibying Projo seorang Pegawai Perum Garam, Nyi Suratmi diboyong ke dalam lingkungan keraton. Namun jalinan kisah kasih tersebut berakhir dengan kenangan duka panjang, karena sang suami tercinta meninggalkannya. Aryo Sudibying Projo, menghembuskan nafas terakhir secara tragis, di tembak oleh Jepang.

Response (1)

  1. Wah,

    Hebat ya orang Madura ni.

    Aku keturunan Madura dari sebelah ibu. Tapi tidak tahu salasilah lagi kerana tinggal di Malaysia.

    Mengapa berhenti menulis?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.