Merajut Pantun Menjaring Harta Karun

Pmerajut-pantun-menjaring-harta-karun rof. Dr. H. A. Syukur Ghazali, M.Pd

Masyarakat acapkali menuangkan bentuk dan isi komunikasi yang mereka lakukan dengan sesama anggota masyarakat tersebut dalam bentuk sastra lisan. Dalam tradisi yang demikian, mereka menyampaikan pikiran, kebiasaan, sikap, atau nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakatnya dalam berbagai bentuk dan gaya. Di dalam tradisi lisan yang tidak terekam dalam bentuk tulisan tersebut terdapat makna, pola, dan fungsi (Brunvand, 1978: 1). Bahkan, Damoiseau dan Marc (1967), sebagaimana dikutip oleh Seelye (1993: 134) dengan tegas menyatakan bahwa dalam tradisi lisan, seperti dalam lagu-lagu rakyat, terdapat dasar-dasar untuk memahami tema pokok budaya sebuah masyarakat. Karena itu, untuk memahami secara benar intelektualitas dan kehidupan spiritual sebuah masyakat, perlu  dineliti secara seksama tradisi lisan masyarakat tersebut.

Dengan pantun, masyarakat Madura berkomunikasi dengan sesama anggota masyarakat Madura. Melalui pantun, orang Madura menyampaikan rasa cintanya kepada gadis yang dicintainya, rasa kecewanya jika cintanya ditolak, dan rasa dendamnya jika gadis yang dicintainya ternyata juga disenangi oleh pemuda lain. Dengan pantun sé-kaséan, berkasih-kasihan, orang dari luar Madura dapat mengetahui cara-cara orang Madura menyampaikan rasa rindunya yang terbawa ke dalam mimpi-mimpinya, dan menjelma menjadi bayangan  yang membuatnya mabuk kepayang sebagaimana layaknya seseorang yang sedang kasmaran.

Orang Madura juga menasehati ”anak-anaknya” melalui pantun agar rajin bekerja, tidak malas, dan punya rasa malu untuk meminta-minta. Para orang tua sangat menekankan tingginya penghargaan mereka terhadap penghasilan yang diperoleh dari olléna pello koning, peluh berwarna kuning yang mengucur dari tubuh akibat bekerja keras. Bukan hanya sikap malas yang tidak disenangi, bahkan dengan sangat keras orang Madura mengingatkan kepada anak-keturunnya agar tidak bermenantukan orèng ta’ pélak, anak malas,dan  kurang baik perilakunya, sebagaimana tergambar dalam pantun yang biasanya dinyanyikan dalam lagu anak-anak berikut ini.

Bing anak, ta’ enda’ nyémpang jalanna
Bing anak, jalanna tombui kolat
Bing anak, ta’ enda’ ngala’ toronna
Bing anak, toronna oréng ta’ pélak.

(Anakku, aku tidak mau melewati jalan itu
Anakku, jalan itu ditumbuhi jamur
Anakku, aku tidak mau mengambilnya sebagai menantu
Anakku, ia keturunan orang yang tidak baik wataknya)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.