Masyarakat Madura dan Modernitas

Untuk melihat apakah modernitas –khususnya Jembatan Suramadu –merupakan ancaman atau peluang bagi masyarakat Madura, karakter mereka terlebih dulu perlu ditelusuri secara memadai. Bagaimana pun juga hal ini menjadi salah satu faktor menentukan mampu-tidaknya mereka menjadi subyek, pelaku aktif dalam proses modernisasi, sebagaimana pula mampu-tidaknya mereka mengendalikan modernitas.

Terlepas dari stereotyping yang sering/selalu “memojokkan” orang Madura, pada satu sisi, mereka senyatanya memiliki tradisi dan budaya luhur yang secara substantif kompatibel dengan kehidupan kontemporer. Namun pada sisi yang lain, realitas menunjukkan, mereka juga terbebani dengan sejumlah sikap dan perilaku yang asimetris bukan hanya dengan modernitas, tapi juga dengan substansi kehidupan itu sendiri dan nilai-nilai agama yang mereka anut.

 Hasil penelitian Rifai menyebutkan, orang Madura memiliki beberapa pembawaan yang sejatinya berpijak pada nilai-nilai adiluhung. Di antaranya adalah tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan cermat. Seiring itu, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan “kuat” dengan agama. Namun di samping itu orang Madura juga memiliki kecenderungan/ pembawaan yang bisa berdampak pada sikap dan perilaku yang bisa menyisakan persoalan bagi mereka sendiri atau orang dan kelompok lain. Misalnya saja mereka memiliki kecenderungan kepada individualisme, keras kepala, dan pemberani.[6]

Dalam kenyataannya, pembawaan itu –terutama yang terkait dengan nilai-nilai ekonomi seperti ulet dan sejenisnya –telah mengantarkan orang Madura ke dalam keberhasilan dalam dunia wirausaha. Sejalan dengan itu, untuk menggapai keberhasilan mereka tidak segan-segan merantau ke berbagai daerah, bahkan ke berbagai negara. Namun hal ini kurang didukung oleh pendidikan yang memadai. Entah kebetulan atau memang berpijak pada anutan tertentu, mereka terutama yang berdiam di remote area –sampai derajat tertentu –kurang memiliki apresiasi yang cukup kuat terhadap pendidikan dan keilmuan yang tidak berhubungan langsung dengan dasar-dasar agama Islam yang menjadi anutan mereka.

Sebagai implikasi dari hal itu, keberhasilan mereka di dunia wirausaha terbatas pada usaha-usaha yang bersifat kekeluargaan dan tidak didukung oleh manajemen usaha yang dapat diandalkan serta dapat memberikan peluang kerja bagi masyarakat luas. Selain itu, usaha yang dikembangkan sering tidak didasarkan pada kreativitas dan inovasi yang dapat membaca secara jeli peluang yang ada di sekitar mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.