Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd & Sapta Anugrah Ginting, S.Pd
Pulau Madura sebagai sebuah bentang geografis beserta pulau-pulau di sekitarnya mempunyai keunikan dari kisah sejarahnya. Sudah disebutkan pada bagian-bagian sebelumnya bahwa tempat ini memang tidak tergolong subur untuk hasil alamnya. Namun, kesejarahan Madura sedikit banyak bisa direkonstruksi tidak dengan hanya menggunakan pendekatan geografis karena Madura juga berarti manusianya. Sebelumnya cukup banyak dipaparkan mengenai peran Madura-yakni manusianya dalam pendirian Majapahit, meskipun tidak didapatkan tokoh yang menonjol berasal dari Madura, tetapi tenaga orang Madura sangat menentukan dalam kelahiran Majapahit.
Pun begitu rancangan atas pembentukan kerajaan yang berawal dari rencana penyerangan terhadap Jayakatwang juga dilakukan di Madura. Lebih jauh lagi, dari kisah Raden Segoro sekalipun, Pulau Madura hanya dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Jawa. Kenyataan ini telah disadari oleh banyak ahli yang mengkaji kesejarahan maupun aspek kebudayaan Madura. Huub de Jonge (1989: 47) ikut mengamini pendapat bahwa Pulau Madura yang tandus sebetulnya tidak begitu penting artinya bagi kerajaan Hindu di Jawa yang membawahinya. Namun, pendapat itu hanya sebatas ditinjau dari sisi ekonomi semata dan tidak secara umum meliputi peradaban Madura, terutama adalah masyarakatnya yang dinamis, terbukti dalam kehidupan melaut bisa berpengaruh pada kegiatan migrasi ke tempat lainnya seperti menuju Majapahit.
Dua tahun setelah pendirian Majapahit pada 1295 Rangga Lawe putra Wiraraja yang kemudian diangkat menjadi Adipati Tuban dengan gelar Arya Adikara memberontak hingga ia tewas di tangan Kebo Anabrang. Sebagai seorang ayah yang sakit hati atas kematian putranya, Arya Wiraraja kemudian menuntut realisasi Perjanjian Sumenep. Ketika Majapahit berkuasa, daerah kekuasaannya meliputi Blambangan. Dalam perkembangannya daerah itu diserahkan kepada Arya Wiraraja karena ia dianggap banyak berjasa kepada Raden Wijaya (Saputra, 2007: 53). Belum banyak yang menyadari bahwa wilayah yang menjadi bagian dari kekuasaan Arya Wiraraja kemudian dibentuk dalam sebuah kekuatan politik semi-independen bernama Kerajaan Lamajang Tigang Juru dan sering pula disebut “Kerajaan Majapahit Timur”.
Fase sejarah ini jarang diungkap untuk menemukan hubungannya dengan Madura sebagai wilayah kekuasaan Majapahit. Dikatakan bahwa Lamajang Tigang Juru memiliki kekuasaan seputar Lumajang, Madura, Patukangan/ Panarukan, dan Blambangan. Ibu kota kerajaan itu terletak di Arenon (kini berada di Kabupaten Lumajang), peninggalannya saat ini adalah Situs Biting di Desa Kutorenon, dari namanya, desa ini cukup kuat mengindikasikan perasaan dari Arya Wiraraja. Kuto berarti “pemukiman yang dibentengi” dan renon/renu berarti “marah”.
Penelitian atas situs Biting juga memperkuat kesan tentang ‘rasa sakit hati’ Wiraraja. Biting berasal dari bahasa Madura yang berarti “benteng”, saat ini masyarakat desa sekitar situs itu didominasi etnis Madura. Luas keseluruhan situs ini diperkirakan mencapai 135 ha yang dibagi dalam enam blok. Lingkungan situs Biting sendiri dikelilingi oleh empat aliran sungai: Sungai Bondoyudo di utara, Sungai Winang di timur, Sungai Cangkringan di selatan, dan Sungai Ploso di barat.
Terdapat benteng tanah bentukan bercampur bata dengan ketebalan sekitar 1,60 m dan tinggi sekitar 2 m pada tiap tepian sungai. Bekas benteng kota ini juga terdiri dari beberapa menara intai yang terbuat dari bata berukuran besar, dengan menggunakan spesi atau perekat berupa tanah tanpa lepas. Menara intai berdenah segi empat oleh penduduk setempat disebut sebagai Pengungakan yang terdiri dari Pengungakan I sampai Pengungakan VI (Batubara, 2013: 34). Biting Arenon yang dibangun Arya Wiraraja menggambarkan betapa Lamajang Tigang Juru berada dalam posisi defensif menghadapi Majapahit.
Kerap kali dalam catatan sejarah diperlihatkan bagaimana terjadi kesenjangan antara pusat dan daerah. Diibaratkan nyala suluh yang semakin jauh kian meredup. Wiraraja tidak lagi berkedudukan di Sumenep maka pastinya wilayah ibu kota kerajaan tempatnya memimpin akan lebih diperhatikan dibandingkan dengan Madura. Hal ini dapat “memperkuat” pendapat Huub de Jonge: Madura menjadi wilayah yang kurang berarti karena memang sengaja tidak diperhatikan. Dengan akal sehat kita dapat memahami bahwa pembangunan Situs Biting tidak mungkin berjalan dengan mudah. Pasti dibutuhkan banyak tenaga dan sumber daya dalam pembangunannya. Kemegahan Situs Biting menekankan arah konsentrasi pembangunan yang diutamakan oleh Arya Wiraraja.
Arya Wiraraja harus diingat sebagai sosok yang lekat dengan identitas Madura, meskipun ia bukanlah orang Madura. Di awal telah dijelaskan beragam versi tentang asal tempat kelahiran tokoh bernama asli Banyak Wide itu yang kemudian menjadi Adipati di Sumenep, salah satunya menyebutkan bahwa ia asli Madura. Kawasan Situs Biting yang didirikan oleh Arya Wiraraja di masa sekarang banyak didiami oleh etnis Madura. Relasi historis orang Madura dan sosok Arya Wiraraja bukan hanya terjadi di Lumajang saja.
Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang juga dikenal sebagai tempat tinggal sekelompok orang yang disebut Oreng Manduro. Oreng Manduro termasuk komunitas yang terisolir karena hanya satu desa terpencil yang penduduknya berbahasa Madura. Berdasarkan dari legenda masyarakat, Oreng Manduro ada sangkut paut (keturunan) dari kelompok prajurit Arya Wiraraja pada zaman berdirinya kerajaan Hindu Majapahit (Permadi, 2013: 235).
Dampak nyata dari kepindahan Arya Wiraraja ialah kemunduran bagi Sumenep di Madura. Eksistensi Kerajaan Lamajang Tigang Juru memang tidak berlangsung lama karena setelah wafatnya Arya Wiraraja pada 1316, kerajaan ini dianeksasi oleh Majapahit setelah munculnya fitnah pemberontakan Nambi. Perkembangan di Madura (Sumenep) juga tidak begitu populer. Uniknya, yang tercatat dengan baik hanya mengenai berpindah-pindahnya pusat pemerintahan. Pengganti Wiraraja adalah saudaranya yang bernama Arya Bangah, pusat pemerintahan yang berada di Batuputih ia pindahkan ke Banasare. Setelah itu Arya Bangah digantikan oleh putranya yakni Arya Danurwenda yang bergelar Lembu Suranggono dan keratonnya dipindahkan ke Tanjung.
Setelah wafat, kekuasaan diserahkan kepada putranya yang bernama Panembahan Joharsari. Kemudian takhta diserahkan kepada putra Joharsari yang bernama Panembahan Mandaraka, keraton Kadipaten Sumenep dipindahkan lagi ke Keles. Sepeninggal Mandaraka, Sumenep dibagi menjadi dua. Pertama, dipimpin oleh Pangeran Bu-Kabu atau Pangeran Notoprojo dan kedua dipegang oleh Pangeran Baragung (Sumber Agung) (Farisi, 1993: 79-80).
Kepindahan pusat pemerintahan dari satu tempat ke tempat lainnya sepertinya menjadi ciri khas dari perpolitikan Sumenep dan sering terjadi di masa-masa selanjutnya. Ini merupakan perbedaan Sumenep dengan Jawa. Madura yang berada di bawah kekuasaan Jawa sedikit “menyimpang” dari kepercayaan kosmis pemikiran tentang ibu kota.
Dalam Pupuh XVII Negarakertagama diperlihatkan bahwa ibu kota adalah mikrokosmos dari seluruh kerajaan: kediaman abdi raja diibaratkan tempat tinggal ribuan pengikut (seluruh rakyat-Pen) raja (Lombard, 2005: 61). Pembagian kerajaan mempunyai alasan yang tidak lain adalah untuk mencegah perebutan kekuasaan, yang lumrah berlangsung dengan pertumpahan darah (peperangan). Perebutan kekuasaan dalam satu keluarga tidak dapat disamakan dengan janji pembagian wilayah Majapahit oleh Raden Wijaya kepada Arya Wiraraja yang bermuatan motif balas budi.
__________________________________________
Disalin dan diangkat dari buku “Sejarah Tanah-Orang Madura”, Masa Awal Kedatangan Islam Hingga Invasi Mataram; penulis: Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd & Sapta Anugrah Ginting, S.Pd, penerbit Leotikaprio 2018, hal. 53-57