“Joko, kamu ini jangan mengada-ada. Warisan yang telah kita terima, sudah menjadi ketetapan orang tua kita. Apa yang sebenarnya kamu inginkan, kok tega-teganya kamu merongrong ketetapan itu?” tanya Bu Rasmi tersinggung.
“Aku tidak merongrong, cuma minta pengertian,” tandas Joko.
“Minta pengertian? Sudah berapa kali kukatakan padamu, jika kamu menuntut bagian warisan yang sudah menjadi ketetapan, apapun alasannya, aku tetap tidak bergeming. Tetapi bila kamu menghendaki bantuan sekedarnya, aku tidak keberatan,” kata kakak perempuannya.
Memang, bila Joko mau bersyukur, keluarga Toha sebenarnya sudah sering membantu berbagai kebutuhannya. Tapi sayang, mata hati Joko sudah tertutup untuk itu semua. Bahkan dia tega menuduh kakaknya menerima warisan paling banyak.
Keterpurukan Joko ini sebenarnya tidak akan begitu parah, seandainya saja dia tidak terjebak dalam pola kehidapan yang salah. Ia terjerumus ke lembah hitam. Perempuan nakal, perjudian dan minuman keras telah akrab dalam kehidupannya. Belakangan tersiar berita bahwa Joko berkomplot dengan sindikat peredaran obat terlarang. Kini semua harta peninggalan orang tuanya telah ludes termakan nafsu iblis yang mengeram dalam dada Joko.
“Benar dik Joko, ketetapan warisan itu sudah merupakan ketetapan hukum, jadi tidak bisa diutik-atik,” Pak Toha mencoba menengahi.
“Ah, persetan dengan hukum. Hukum itu hanyalah catatan. Banyak pejabat kita yang mengerti hukum, toh mereka dengan enak melanggarnya. Korupsi, manipulasi dan sebangsanya itu apa bukan pelanggaran hukum? Siapa yang peduli dengan tingkah mereka?” hujat Joko dengan mata memerah menahan emosi.
“Itu tidak benar dik..!” kalaupun ada sedikit penyimpangan, itu hanyalah ulah oknum-onum tertentu. Dan itupun sudah diproses sesuai hukum yang berlaku,” timpal Pak Toha.
“Omong kosong! Nyatanya hukum itu hanya berlaku bagi orang kecil. Maling ayam dihukum penjara, tetapi pelaku kejahatan kelas kakap, seperti yang terjadi selama ini dibiarkan lolos begitu saja. Aku tidak peduli dengan hukum,” amarah Joko sudah meledak, sehingga omongannya kurang terkontrol.
Pak Toha sudah hapal dengan karakter adik iparnya itu, maka dari itu dia tidak meladeni ocean adik iparnya yang semakin panas. Karena berdebat dengan Joko hanya akan membuang-buang waktu saja. Setiap kata yang dikeluarkan Pak Toha selalu dibantah oleh Joko. Bahkan persoalan yang sedang dibicarakan semakin mengembang dan tak terarah, karena itu Pak Toha membiarkan adik iparnya terus menceracau, tanpa menanggapi secara serius.
“Terserah mbak rasmi dan Kak Toha. Tapi ingat, jangan salahkan aku bila suatu ketika nanti kakak menyesal,” ancam Joko serayal pergi meninggalkan ruang tamu. Ancaman itu membuat kecut hati sekeluarga, karena siapa pun tahu Joko, dia tak segan-segan untuk melakukan kekerasan demi kepentingan pribadinya.
Dengan wajah dendam, Joko melangkahkan kaki keluar menuju pintu pagar, tapi belum selangkah dia keluar pintu, sudah dihadang oleh dua orang petugas polisi. Joko sadar, bahwa petugas itu akan menangkap dirinya. Secepat kilat dia membalikan tubuh untuk menghindar. Tetapi gerakl polisi lebih cepat, dan Joko berhasil diringkus tanpa perlawanan yang berarti.
Sementara Bu Rasmi yang melihat peristiwa, tergopoh-gopoh menghampiri petugas yang mengarahkan moncong senjata tubuh adiknya.
“Maaf, bu, orang ini target kami, ia terlibat tindakan pidana kekerasan,” belum sempat Bu Rasmi bertanya, seorang petugas telah memberi penjelasan.
“Akibat perbuatannya sendiri,” gumam Pak Toha, sambil membimbing Bu Rasmi memasuki rumah.
Bagaimanapun juga Bu Rasmi sangat sayang kepada adiknya, karena itu, peristiwa penangkapan Joko merupakan pukulan hebat bagi hidupnya. Sejak itu Bu Rasmi banyak menghabiskan waktunya untuk termenung dan memikirkan adiknya. Akibatnya fisik Bu Rasmi menjadi lemah dan sering sakit. Pak Toha sebagai suami dengan sabar memompakan semangat pada istrinya, serta tak lupa memohon kekuatan pada yang Maha Kuasa.
Setelah pensiun, Pak Toha memang meyibukkan diri dengan mengelola panti asuhan yang didirikan sebelum pensiun dulu. Gagasan mendirikan panti asuhan itu timbul, sejak keluarga tersebut menerima Marlena sebagai anggota keluarga. Kebetulan rumah warisan Bu Rasmi dapat dimanfaatkan sebagai tempat perlindungan bagi anak-anak yatim piyatu yang diberi nama “Tunas Harapan” itu.
Sementara Fajar telah berhasil meraih gelar insinyur dari Falkultas Pertanian Universitas di Surabaya. Kini dia ditugaskan didaerah transmigrasi diluar pulau Jawa bersama istrinya. Sebenarnya Bu Rasmi keberatan atas keberangkatan Fajar. Tetapi tekad untuk mengabdi pada masyarakat demikian kuat, akhirnya Fajar berhasil meyakinkan hati ibunya untuk mengabdikan diri kepulau seberang.
Keberhasilan Fajar diikuti oleh Fatimah yang kini sedang sibuk menyelesaikan skripsinya. Setelah menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum, di sebuah perguruan tinggi di Pamekasan, Fatimah segera ingin menikah dengan pujaan hatinya.
Sedang Marlena kini tumbuh sebagi gadis yang cantik lincah dan cerdas. Masa-masa SMA ini dimanfaatkan sebai-baiknya oleh Marlena. Berbagai kegiatan diikuti, dari olah raga, pramuka, dan yang paling disukai adalah aktif dalam kegiatan sanggar kesenian. Nampaknya bakat yang dulu terpendam, kini nampak semakin menonjol. Setiap dia tampil di panggung seni, Marlena terasa makin hidup.
Marlena bersyukur hidup dalam keluarga Toha. Dia tidak pernah menyangka akan dapat merasakan kehidupan yang demikian menyenangkan. (*)