Marlena, Perjalanan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku.
Episode Dua Puluh Dua
Dokter itu tidak segera menyahut.
“Ia mengalami komplikasi,” kata dokter kemudian.
“Apa dokter, komplikasi?” kata Fajar terkejut dibarengi keterkejutan Fatimah dan Marlena.
Dokter menjelaskan, selain ginjal. juga gerjangkit kencing manis dan liver.
Mendengar penjelasan dokter itu, hati Marlena bagaikan disayat-sayat seribu sembilu di dadanya. Nafasnya terasa sesak, seakan tidak mampu lagi mengucapkan kata-kata yang paling berarti bagi dirinya. Ia hanya mampu memuaskan hati yang telah luka itu dalam tangis lirih namun terasa bergema keras di dadanya.
Fajar dan Fatimah maklum akan suasana hati adiknya itu, meskipun sebenarnya mereka juga merasakan betapa sedih dan dukanya menghadapi kenyataan ini. Namun, mereka masih berusaha meredam kedukaan itu dengan seloroh hati lapang. Bagi Marlena, kepedihan hatinya itu merupakan kedalaman duka yang tak mungkin terlukis dalam ungkapan kata.
“Ayah, kenapa harus jadi begini ayah.” seru Marlena dalam isak di hadapan ayahnya. Sementara Pak Toha sendiri, tidak mampu berbuat lebih banyak kecuali menampakkan wajah lemah.
“Lena……,” seru Pak Toha lirih dan lemah. “Jangan menangis nak, ayah tidak apa-apa.”. Itulah kalimat jawaban yang selalu curahkan.
“Ayah, maafkan Lena ayah,”. Tangis Marlena semakin terasa.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan nak.”
“Oh……,” isak Marlena semakin pilu.
Matahari telah condong ke barat ketika burung-burung wallet bercicit menuju sarang berseliweran di atas rumah sakit. Dan sebentar lagi petang akan menjejak. Adzan maghrib yang bergema ternyata membangkitkan semangat Marlena untuk mencuci hatinya yang telah dibaluri beribu gumpal duka. Duka itu akhirnya menyatu dalam larutan doa Marlena. Ia mulai sadar, sebenarnya manusia tak lebih dari pesakitan yang digariskan oleh Sang Pencipta. Sebab kalau manusia merasa dirinya selalu kuat dan tangguh menghadapi kenyataan, maka tidak akan ada lagi suatu harapan dan usaha untuk menghindar dari segala cobaan dunia. Dan manusia akan menjadi sombong dan takabbur. Itulah ciri-ciri manusia yang tidak merasa dirinya dalam kekuasaan Sang Pencipta-Nya.
“Jangan terlalu larut dalam kesedihan dik. Jaga kesehatanmu,” harap Fatimah melihat Marlena terlarut dalam dukanya. “Makanlah dulu, telah dua hari ini kau belum kemasukan nasi.”
Marlena lalu menyuapkan nasi ke mulutnya. Namun setelah masuk beberapa puluk saja, ia merasa mual. “Apa kubilang, bila kau jatuh sakit, maka akan semakin merepotkan kita sendiri.”
Dua minggu Pak Toha terbaring di rumah sakit, namun tidak ada tanda-tanda akan membaik. Hal ini semakin meresahkan ketiga anaknya. Hingga jatuh pada minggu ketiga, saat mereka sedang digalau rasa khawatir, saat itu pula Pak Mahmud beserta anak lelakinya berada di samping Pak Toha.
“Toha, kenapa jadi begini,” seru Pak Mahmud yang nampak sedih di wajahnya. “Kenapa aku tidak dikabari keadaan ayah kalian,” ujar Pak Mahmud kemudian yang ditujukan kepada Fatimah dan Marlena.
“Maaf Pak, kami tidak sempat,”
“Mulai kapan ia jatuh sakit?”
“Sebulan lalu.”
“Oh…….”
Marlena dan Fatimah tertunduk. Sedang Ilham yang sejak tadi membisu, hanya mampu menatap teman ayahnya itu dengan perasaan sedih pula. Tapi di balik kesedihan itu, merasakan suatu keanehan yang ditimbulkan oleh gerak hatinya, ketika matanya sempat memandang ke arah Marlena. Meski demikian, Ilham berusaha menentramkan gemuruh hatinya yang selama ini tersiksa oleh suatu harapan menatap wajah gadis itu. Tatapan mata Ilham itu sempat tercuri oleh sudut mata Fatimah. Sehingga Fatimah merasakan ikut terharu memperhatikan kenyataan ini dalam suasana duka.
“Oh….Mah…..mud,” seru Pak Toha lemah dengan kalimat terbata-bata. Melihat bayangan sahabatnya itu, Pak Toha ingin melemparkan senyum, tapi yang tampak hanya getaran bibir Pak Toha yang seakan ingin menyampaikan sesuatu bagi sahabatnya itu.
“Tenangkanlah, Toha.”
“Kapan kau datang,” kata Pak Toha dengan kalimat samar seakan terlepas dari jeratan halus di bibirnya.
“Sudah tadi,” sahut Pak Mahmud tenang.
“Dengan anakmu ya?”
Pak Mahmud mengangguk.
“Oh, syukurlah.”
“Maaf Pak. Kami tidak tahu sebelumnya, bila Pak Toha jatuh sakit,” ujar Ilham yang juga berada di samping pembaringan.
Melihat adegan itu, Marlena tidak merasakan bila sebenarnya saat ini hatinya akan didaulat untuk memahami suasana itu. Sedang Fatimah sendiri mulai timbul dugaan yang mungkin akan terjadi pada diri ayahnya.
“Terima kasih nak,” ucap Pak Toha berusaha melemparkan senyum. Dan senyum Pak Toha nampak lemah namun jelas.
“Tim,” panggil Pak Toha dengan nada lemah kepada anaknya. Fatimah mendekat.
“Fajar mana?” tanyanya kemudian.
“Sebentar lagi datang ayah, masih mengambil obat.”
“Suruhlah dia segera ke sini.”
Marlena mengangguk curiga. Namun beberapa saat kemudian Fajar muncul beserta istri dan anaknya serta Darwis, suami Fatimah.
Mata Pak Toha nampak tenang, seakan ia ingin menjelajahi sudut-sudut kamar rumah sakit itu. Tapi yang tergambar di matanya hanya bayang-bayang muram orang yang ada di dekatnya, bayangan yang ditampakkan oleh harapan hatinya untuk segera dituntaskan. Meski demikian, Pak Toha masih mengenal suara dan bentuk wajah-wajah muram yang ada di sekitarnya.
“Munsyi mana?” tanya Pak Toha melihat cucunya itu tidak tampak dalam bayangan matanya.
“Ada di sini ayah,” sahut Fajar haru.
“Mana?”
Anak kecil itu didekatkan kepada kakeknya. Tapi ia tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi di hadapannya.
“Kakek akit ya?”
“Oh cucuku,” seru Pak Toha, seraya tangannya ingin menggapai cucunya, namun tangan itu sangat lemah dan tidak mampu digerakkan lagi.
Melihat adegan itu yang lain menjadi trenyuh, seakan tubuh yang terbaring di hadapannya itu, seperti sebuah benda mati yang tidak dapat difungsikan lagi.
“Ayah,” seru Marlena lirih. Ia seakan di hadapkan dengan sebuah tantangan yang paling berat selama hidupnya. Sebuah tantangan yang menjadikan dirinya putus asa dan bertanya-tanya. Namun yang lain berusaha menentramkan hati Marlena yang tampak mulai digerayangi rasa khawatir dan takut.
“Lena?” seru Pak Toha. Marlena mendongak seraya menatap lemah ke arah ayahnya itu. “Ke sini nak.”
“Iya, ayah,” jawab Marlena, seraya mendekat ke Pak Toha.
“Timah, Fajar, kalian ke sini.”