Marlena, Antara Dua Pilihan

Keduanya juga mendekat. Yang lain memperhatikan penuh tanda tanya.

“Kalian adalah anak-anakku. Berbaiklah kalian semua. Nanti, bila ayah dipanggil, kalian tetaplah rukun,” ujar Pak Toha dengan suara lemah, namun nampak jelas terdengar di telinga ketiga anaknya itu. Mendengar ungkapan ayahnya itu, ketiganya tidak mampu menahan gejolak hatinya, akhirnya gemuruh jantungnya jebol dalam isak yang memilukan.

“Jangan tinggalkan kami ayah,” seru Marlena.

“Ayah harus sembuh. Kami semua sayang ayah,” seru Fatimah yang sudah tidak mampu lagi membendung air matanya.

Ia pandangi wajah ketiga anaknya itu, lalu ia pandangi wajah yang lain satu persatu dan kemudian yang terakhir mata sayu Pak Toha memandang tajam ke  arah Ilham.

“Oooh, terima kasih, kalian semua telah berkumpul.”

Ayah, anak dan menantunya tidak mampu lagi melihat keadaan ayah mereka yang seakan memberikan isyarat akhir untuk menyuarakan hatinya.

Tampak Pak Toha memandang lepas ke arah langit-langit ruangan seakan ingin melepaskan gejolak hatinya yang semakin memuncak. Hal ini terlihat pada kerut-kerut kulit wajah Pak Toha, yang mulai mencekung dan pucat.

“Lena,” tiba-tiba Pak Toha menyebut nama anak angkatnya itu.

Marlena terlonjak seakan ia terbawa arus kegelisahan.

“Ilham,” sebut Pak Toha kemudian. Ilham terkejut mendengar namanya disebut Pak Toha. Demikian juga yang lain, seakan seonggok tulang dan kulit itu ingin melepaskan kungkungan alam fikirannya. Marlena heran.

“Telah lama aku ingin menyampaikan padamu Lena.”. Suaranya terbata-bata dan sangat lemah. Marlena terkesiap dan heran.

“Aku harap, kau bersedia mengabulkan harapanku.” Marlena semakin heran dan khawatir.

“Ayah, katakanlah. Katakan ayah,” sahut Marlena meyakinkan ayahnya.

“Terima kasih, nak,” Pak Toha memandang keduanya.

Setelah mengucapkan rasa syukur, Pak Toha seakan ingin menyampaikan gejolak hatinya, namun ia tak mampu lagi mengucapkan kalimat-kalimat yang telah terangkai di benaknya. Yang tampak hanya gerak-gerik bibir Pak Toha dan gemetar, sehingga Marlena merasa terjebak oleh berbagai pertanyaan-pertanyaan yang menyelimuti hatinya.

“Ayah, katakan ayah….,” seru Marlena setengah menjerit. Namun bibir Pak Toha hanya terlihat gerakan-gerakan pelan tanpa kata-kata.

“Ayah,” Fajar dan Fatimah khawatir.

“Le….na…., ham …… ka …..”

Kata-kata itu tidak mampu diteruskan oleh getaran bibirnya. Karena sebelum kata-kata itu diteruskan, tiba-tiba gerakan bibirnya terhenti seketika. Wajahnya semakin pucat dan pasi, sehingga tidak nampak lagi sebuah harapan. Yang tampak hanyalah jasad yang terbaring tanpa desakan nafas, karena semuanya telah terhenti.

Melihat kenyataan itu, bendungan haru dan duka yang tertahan kini lepas begitu saja dalam jerit tangis memilukan. Tak ada kalimat-kalimat lagi yang akan memberi harapan bagi pendampingnya. Karena kekembalian Pak Toha ke hadirat Yang Maha Kuasa, merupakan perjalanan terakhir manusia. Manusia hanya diberi waktu pendek untuk menikmati suasana dunia yang fana ini. Manusia tak akan dapat berbuat sesuatu untuk menentang kematian yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Sebab manusia diciptakan, semata-mata untuk berbakti sesuai dengan harkat kemanusiaannya. Untuk itu, apabila manusia selalu dihadapkan pada permasalahan-permasalahan hidupnya, hal itu merupakan satu isyarat, bahwa sebenarnya manusia turun di dunia ini dalam keadaan lemah.

Tapi bagi orang-orang yang berfikir, manusia merupakan khalifah (pemimpin) di bumi. Di bumi inilah manusia diberi keleluasaan menciptakan dirinya menjadi manusia sesuai dengan derajatnya. Kita harus sadar, bahwa manusia lahir itu dalam keadaan bersih dan suci. Untuk selanjutnya, manusia sendirilah yang akan menentukan langkah hidupnya.

Firman Allah dalam Al-Qur’an, “Telah kami ciptakan manusia dalam sebaik-baiknya acuan. Kemudian kami kembalikan dia jadi yang paling rendah di antara yang rendah, kecuali mereka yang beriman dan beramal baik, karena mereka beroleh pahala yang tiada habisnya.”(QS. At-Tin: 4-6).

Begitulah akhir perjalanan hidup manusia. Dan kini setelah menghadap ke hadirat Yang Kuasa, manusia-manusia yang lain akan mencatat  sejauh mana porsi yang diamalkan selama bergelut dalam lingkungan sekitarnya. Pencatatan ini tentu terbatas sesuai dengan pengalaman-pengalaman selama hidupnya. Bila ia pernah menciptakan suasana resah bagi sesamanya, maka pencatatan itu akan bergaris hitam oleh lingkungan sekitarnya. Sebaliknya bila ia menciptakan  suasana tentram kepada sesamanya, maka pencatatan itu akan membuahkan penghargaan setinggi-tingginya, bahkan kepada sanak keluarga yang ditinggalkan. Itulah ciri-ciri manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Bela sungkawa atas wafatnya Pak Toha, berdatangan dari penjuru kota. Dari pejabat tinggi, tokoh masyarakat hingga masyarakat paling bawah, merasa kehilangan Pak Toha. Tidak ada kata-kata yang paling berarti kecuali pujian dan sanjungan penghargaan atas keberhasilan Pak Toha membina masyarakat sekitarnya. Pak Toha patut dijadikan tauladan bagi yang lain. Almarhum ternyata berhasil mengangkat dirinya sebagai warga yang memiliki tanggung jawab moral kepada sesamanya. Begitu komentar seorang pelayat, saat mengantarkan jenazah ke tempat pemakaman.

“Sulit kita menemukan seperti almarhum,” kata yang lain.

”Itu sebagai tanda bahwa selama hidupnya, almarhum telah membekali diri jiwa dan hati yang luhur.”

“Benar. Bila kita bandingkan dengan pejabat yang lain. Biasanya menjelang mereka pensiun, saat itu berusaha mengumpulkan harta kekayaan bertumpuk-tumpuk. Maka tak heran, bila saatnya jatuh waktu pensiun mereka tinggal menikmati hasilnya. Meskipun dengan cara yang salah.

“Tapi, bila kita lihat almarhum justru selama menikmati masa pensiun masih tetap mengandalkan gaya hidup sederhana. Bahkan sisa hidupnya itu banyak dimanfaatkan mengisi kegiatan sosial kemasyarakatan.

Mudah-mudahan, nantinya akan bermunculan Toha-Toha yang lain, sehingga suasana daerah ini semakin tentram dan bebas dari oknum pejabat yang ……

Semoga sajalah.

Memang, kesan-kesan yang disuarakan oleh para pelayat itu hampir tidak terdengar berkomentar kurang baik terhadap almarhum. Namun demikian, tentu masih terdengar suara-suara kecil yang menganggap diri Pak Toha terlalu idealis dan tidak mengikuti arus jaman. Semua itu tentu tergantung persepsi serta penilaian masing-masing individu.

Matahari telah ditangkup malam. Namun suasana duka di rumah keluarga Pak Toha masih nampak jelas. Wajah-wajah muram dari sanak keluarga yang ditinggalkan, merupakan pertanda bahwa kepergian Pak Toha merupakan jejak terakhir yang tak mungkin akan terdengar lagi, suara-suara lembut yang arif dan bijaksana yang selalu menghiasi suasana rumah tangga. Kedukaan itu justru yang paling terpukul adalah Marlena sendiri. Ia seakan tidak puas menerima kenyataan yang dihadapi. Akibatnya, Marlena kerap jatuh pingsan bila ia merasakan bahwa dirinya belum dapat berbuat yang lebih berarti bagi ayah angkatnya.

Di telinganya masih terdengar jelas ketika detik-detik akhir ayahnya dijelang maut. Kata itu, kata harapan yang jauh terpendam di lubuk hati Pak Toha. Namun Pak Toha belum mampu melepaskan hingga akhir hayatnya.

Setelah semuanya berlalu, Marlena semakin tersadar bahwa karena banyak memikirkan dirinyalah mengakibatkan Pak Toha berakibat fatal.

“Semuanya telah berlalu Len. Kita sekarang harus pasrah dan menyerahkan diri kepada kekuasaan-Nya,” kata Fatimah ketika berkali-kali Marlena menyampaikan penyesalannya.

“Tapi kak, kenapa sejak dulu tidak segera ayah sampaikan padaku?” (bersambung)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.