Bhuju’ Batuampar

Para Penyebar Islam Awal di Madura

Penulis: Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd dan Sapta Anugrah Ginting, S.Pd,

Kedua anak dari Syarif Husain Banyu Sangkah yang berhasil lolos dari penyerangan Arosbaya berangkat terus ke timur. Bagi keduanya, perjalanan ini adalah sebuah ‘hijrah’ yang tidak hanya untuk menjauhi malapetaka, tetapi mereka melakukannya juga untuk mewujudkan cita-cita sang ayah. Dalam perjalanan hijrahnya, keduanya memutuskan untuk berpisah, Abdurrahman pergi ke Desa Bira-Sampang (Fauzi, 2013: 18).

Sedangkan saudaranya, Abdul Manan memiliki dua versi penuturan sejarah mengenai nasabnya. Ada yang tidak mengaitkan nasab Abdul Manan kepada Syarif Husain yang merupakan keturunan Sunan Ampel. Namun, dengan melihat beberapa sumber secara bersamaan, sesungguhnya Abdul Manan yang dimaksud tetaplah satu orang. Versi lain dari kisah Abdul Manan menyebut bahwa ia bernama asli Sayyid Abdul Manan Al-Anggawi yang ditugaskan bersama kerabatnya, yakni Sayyid Yusuf Al-Anggawi oleh Sunan Giri untuk menyebarkan Islam.

Sayyid Yusuf ditugaskan untuk menyebarkan Islam ke bagian timur yaitu Sumenep dan pulau-pulau di sekitarnya, sedangkan Sayyid Abdul Manan diperintahkan menyebarkan Islam ke barat Pulau Madura, yakni wilayah-wilayah di masa modern yang bernama Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan. Sayyid Yusuf memiliki peninggalan berupa makamnya di Desa Talango, Pulau Poteran, berhadapan dengan Pelabuhan Kalianget Sumenep. Pertama kalinya Sayyid Abdul Manan tiba, ia datang ke Desa Salarom yang kini masuk Kabupaten Sampang di Kecamatan Omben. Di Salarom, Abdul Manan hanya sebentar sebab masyarakat setempat sangat kokoh memegang agama Hindu-Buddha sambil menunjukkan sikap bermusuhan yang teramat besar kepada Sayyid Abdul Manan. la kemudian pindah ke utara wilayah pesisir Sampang di Desa Bira yang saat ini berada di Kecamatan Ketapang.

Di Bira ia diterima sangat baik, di sana ia menikah dengan wanita setempat dan melahirkan seorang anak bernama Bhuju’ (Buyut) Bira. Namun, orang-orang Salarom yang mendengar tentang keberadan Sayyid Abdul Manan berencana untuk menyerang Desa Bira dan akan mencelakakan penyebar Islam itu. Mengetahui rencana itu, Sayyid Abdul Manan kemudian pindah ke tenggara (Sadik, 2006: 67). Versi sejarah ini beredar sebelum adanya penulisan ulang tentang sosok Abdul Manan yang dilakukan oleh seorang tokoh ulama Madura lulusan Mekkah dan keturunan langsung dari Sayyid Abdul Manan yaitu K.H. Jakfar Shodiq bin Ahmad Fauzi bin Damanhuri.

Tulisan K.H. Jakfar Shodiq Fauzi-sebagaimana beliau dikenal berbentuk Manaqib modern sangat membantu dalam merekonstruksi sosok Abdul Manan serta mengungkap kejelasan penyebaran Islam di Madura, tidak hanya melalui pendekatan geografis (dari satut pat ke tempat lainnya), sosok Abdul Manan dapat diketahui melalui latar belakang kejadian sejarah seputar prosesnya.

Interpretasi yang kemudian didapat ialah bahwa sebelum keduanya berpisah, Abdul Manan dan Abdurrahman sama-sama tiba di Desa Bira. Agar tidak kehilangan basis pemeluk Islam di Desa Bira itu, Abdul Manan menyerahkan kewenangan dakwah kepada Abdurrahman. Buyut Bira yang dimaksud tentunya adalah Abdurrahman sendiri atau gelar itu kemudian disematkan kepada keturunan Abdurrahman. Abdul Manan yang meneruskan perjalanannya ke tenggara akhirnya tiba di Desa Pangbatok.

Penyebaran Islam di Pangbatok tidaklah mudah bagi Sayyid Abdul Manan. Maka, dalam tutur kepercayaan setempat, Abdul Manan menghadapi lagi permusuhan masyarakat desa yang menolak Islam, dalam versi ini dikisahkan bahwa hal itu menyebabkan ia bersembunyi di rimbunnya dedaunan pohon kosambi “sampai tertidur pulas selama 30 tahun”.

Versi lainnya menyebutkan bahwa ia saat pertama kali tiba di sebuah kampung di Desa Pangbatok dan melihat “Pohon Kosambi yang Berkilauan”, ia pun memilih untuk bersemedi selama 40 tahun. Dekat pohon kosambi itu terdapat sebuah sumur yang bernama Todungi yang berasal dari kosakata Madura “e kodungi” (ditutupi) sebuah batu, dengan bantuan Allah Swt. konon Abdul Manan dapat membuka tutup batu itu manakala ia memerlukan air.

Kisah sumur Todungi dengan batu tersebut kemungkinan besar ialah cikal bakal nama ‘Bato Ampar’ atau ‘Batu Ampar’ (artinya adalah “batu yang menghampar”) sebagai situs wisata sejarah religi yang dikaitkan dengan sosok Abdul Manan beserta keturunan keturunannya. Cerita tertidurnya serta bertapanya Abdul Manan selama 30 dan 40 tahun itu tidak begitu bisa diterima kebenarannya karena kehidupan bertapa/ bersemedi lebih menunjukkan unsur kebatinan.

Nisbat atau pengaitan makna Abdul Manan yang kelak disebut sebagai Bhuju’ Kasambhi (Buyut Pohon Kosambi), lebih menekankan pada manifestasi akhlak dirinya yang tinggi kepada alam, terutama pada tumbuhan (Fauzi, 2013: 22). Tampak dalam fase ini, Abdul Manan sebagai penyebar Islam telah mempelajari dan mengoreksi berbagai tantangan dalam usaha Islamisasi di tempat tempat sebelumnya maka ia kini lebih “menyatu dengan alam” termasuk dengan membangun pengertian tentang masyarakat sekitar sehingga usaha dakwahnya-meski awalnya mendapat cobaan-mampu berjalan baik serta dapat diterima. Kesuksesan besar ini diibaratkan pencapaian “selama 30 atau 40 tahun” yang artinya adalah pencapaian besar yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya akan dapat dicapai.

Sayyid Abdul Manan yang pengikutnya semakin bertambah jumlahnya tidak lagi hanya menempati kawasan dekat pohon kosambi yang dinisbatkan kepadanya, kini ia membangun padepokan kecil untuk membina para pemuda Islam dalam memperkuat ilmu agama, bertaqarrub (mendekatkan diri secara spiritual) kepada Allah, mengajarkan pengolahan ilmu batin, dan tidak lupa untuk mengajarkan seni bela diri.

Seolah ia tidak melupakan bagaimana ancaman-ancaman fisik yang pernah ia terima saat masa-masa awal berdakwah dan bahkan ayahandanya pun gugur sebagai martir/ syahid akibat serangan pasukan Arosbaya. Konon masyarakat Pangbatok ketika itu tengah dalam keadaan tertindas. Meski berada di sekitar wilayah Proppo yang dahulu dibangun oleh Arya Menak Senoyo, penduduk setempat berada dalam keadaan tidak aman karena wilayah tempat tinggal mereka dikuasai oleh kekuatan para bromocora.

Tidak mengherankan apabila lingkungan mereka tinggal rawan dengan aksi perampokan dan pencurian. Melihat kondisi ini, tampaknya dahulu hal itu juga menjadi penyebab lain sebagai akibat kepergian Arya Menak Senoyo dari wilayah Proppo. Perjuangan di tengah masyarakat yang kompleks ini disebut oleh K.H. Jakfar Shodiq Fauzi sebagai “chandradimuka” bagi Sayyid Abdul Manan.

Beberapa program pembinaan masyarakat muslim itu turut melibatkan para pemudanya, kegiatan kegiatan yang dilakukan di padepokan itu antara lain adalah latihan bela diri, salat berjamaah, istigfar, pembacaan selawat, serta pengajian tentang akhlaqul karimah dan tauhid (Fauzi, 2013: 24-25). Kegiatan kegiatan itu merupakan dasar-dasar pendidikan pesantren yang ternyata bahkan telah dibina sejak zaman Sayyid Abdul Manan Bhuju’ Kasambi.

Tulisan bersambung:

  1. Para Penyebar Islam Awal di Madura
  2. Arya Menak Senoyo
  3. Syarif Husein Banyusangkah
  4. Bhuju’ Batuampar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.