Oleh Abdul Hadi WM
(Disarikan dari hasil wawancara mendalam oleh Franditya Utomo)
Perempuan seni dalam dimensi patriarki masyarakat Madura, telah menciptakan kelonggaran relasi gender. Seni pertunjukan yang tidak meninggalkan tradisi diasporik masyarakat Madura telah memposisikan perempuan dan laki-laki sebagai elemen pembentuk harmonisasi.
Dengan demikian, rentang sejarah yang panjang telah menjadikan perempuan seni di Madura teruji menjadi subjek dalam formasi sosial masyarakat Madura.
Terkadang, faktor ekologis sebuah wilayah bisa menjadi faktor utama pembentukan kultur sebuah masyarakat. Tradisi diasporik masyarakat Madura, berawal dari sejarah kelangkaan ekologis (ecological scarcity) yang panjang pada abad ke-18, yang memaksa penduduknya untuk berimigrasi ke daerah lain terutama pulau Jawa. Jika melakukan pendekatan sejarah ekologi (eko-historikal) pada masyarakat Madura untuk menemukan pola atau formasi sosial serta perubahan sosialnya, maka motif ekonomi terlihat sebagai sebuah kesadaran yang mengembalikan sentimen kooperatif masyarakat Madura pada awal abad ke-20.
Migrasi dan Pembentukan Tradisi
Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan saling keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis dengan pelaku sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu. Ekotipe ladang kering yang menetap atau ekotipe tegal telah menghasilkan unit eko-historikal tersendiri, berbeda dengan ekotipe sawah di Jawa dan ekotipe perladangan di Indonesia bagian Timur (Kompas, 24 Februari 2005).