Madura: Sejarah, Sastra, dan Perempuan Seni

Bukti-bukti otentik mengenai sejak kapan sastra Madura berkembang masih belum ditemukan. Sebuah bukti yang terdapat di Kebon Agung, sebelah Barat Sumenep, hanya menunjukkan bahwa pada zaman kerajaan Singasari di Madura sudah dikenal tulis menulis. Inskripsi menunjukkan angka tahun 1280 atau tahun saka 1212, dan tahun 1438 atau tahun saka 1360 (Zawawi Imron dalam Huub de Jonge (ed.), 1989: 181-205). Ada beberapa jenis bentuk sastra Madura, antara lain: Dungngeng, berisi tentang budi pekerti, cerita fabel, dan legenda serta cerita kepahlawanan seperti, Joko Tole, dan Trunojoyo. Lok-Alok, sebuah jenis sastra lisan yang terdapat pada pacuan sapi atau karapan sapi. Kemudian sastra lisan berbentuk puisi mainan anak-anak, yang berupa kumpulan kata-kata yang bisa ditafsirkan bebas dengan unsur bunyi yang cukup dominan, mensaratkan lompatan-lompatan imajinasi. Selain itu sastra lisan Madura juga tertuang di dalam puisi ritual, yang digunakan sebagai sarana tolak bala, biasanya terdapat di desa-desa terpencil atau tepi pantai. Sampai pada tembang, pengaruh kesusasteraan Jawa pada awal abad ke-20 terlihat sangat kental. Tembang biasanya berisi tentang kisah atau hikayat zaman dahulu.

Perempuan Seni di Madura

Perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Kalau tidak ada perempuan maka tidak akan ada masyarakat. Namun demikian kalau tidak ada laki-laki juga tidak akan ada masyarakat. Jadi keduanya merupakan sesuatu yang inklusif dan merupakan bagian integral dari masyarakat.

Untuk konteks Indonesia, jika kita lihat sebagian sejarah Indonesia, perempuan memegang peranan penting. Misalnya, Teuku Malahayati pada abad ke-7 sudah menjadi panglima angkatan laut di Aceh. Selanjutnya, lima orang raja Aceh itu adalah perempuan. Melayu juga punya raja perempuan yang punya kekuasaan. Sehingga permasalahan ketimpangan gender bukanlah menyoal tentang ketertidasan perempuan oleh patriarki (laki-laki) saja, akan tetapi lebih pada penindasan antara kasta yang satu dengan kasta yang lain.

xx

Misalnya saja di keraton-keraton Jawa, perempuan-perempuan bangsawan itu juga menindas perempuan lainnya. Jadi persoalannya bukan gender, melainkan kelas. Di Eropa memang pernah mengalami fase penindasan yang berbasis pada gender, karena setelah revolusi industri timbul suatu masalah ketika lapangan perkerjaan yang seharusnya dikerjakan bersama (perempuan), malah dipegang oleh laki-laki. Hal tersebut terjadi karena masih ada anggapan yang bias gender, karena laki-lakilah yang bisa melakukan pelayaran jauh, bisa kemana-mana. Sementara perempuan tidak bisa, karena perempuan tugasnya adalah reproduksi. Di dalam perang juga demikian, kalau perempuan ikut berperang, maka habislah penduduk. Jadi karena perempuan jarang yang ikut berperang, maka proses reproduksi tetap berlanjut.

Dikaitkan dengan permasalahan di atas, perempuan di Madura juga tidak sepenuhnya mengalami masalah ketimpangan gender. Perempuan di Madura memang tidak dijunjung seperti di Bugis, tapi dia punya hak yang tinggi. Seorang istri bahkan bisa mengusir suami ketika misalnya si suami ini tidak pernah memberi nafkah dan pergi selama tiga bulan. Selain itu dia juga punya ilmu santet, sehingga kalau seorang suami pergi jauh dan berhubungan dengan perempuan lain, sang istri bisa membuatnya menjadi impoten. Jadi perempuan dan laki-laki di Madura sangat berbeda daya seksnya. Perempuan Madura lebih tinggi daya seksnya. Hal ini disebabkan karena adanya pendidikan seks yang diberikan sedari kecil. Anak-anak perempuan usia 12 tahun menjelang pernikahan sudah tahu ramuan-ramuan, serta pola gaya berhubungan seks. Pendidikan ini memang sifatnya informal dari nenek atau ibu. Mereka punya konsep kering atau basah. Kalau kering itu dianggap sehat, kalau basah atau becek itu malah tidak sehat. Jadi perempuan yang akan menikah jangan makan timun atau makanan yang mengandung banyak air karena tidak bagus. Jadi daya seksnya dijaga.

Selain itu, perempuan Madura juga bekerja. Kalau misalnya suaminya berlayar, maka istrinya di rumah akan membatik. Inilah yang kemudian berkembang jadi seni rupa. Perempuan juga mengukir, sebagai aktifitas seni dan produksi. Persentase laki-laki Madura yang menikah dengan perempuan dari luar jauh lebih banyak dibandingkan dengan perempuan Madura yang menikah dengan laki-laki dari luar. Perempuan itu adalah tempat pemurnian, kalau ibunya orang Madura, maka dia akan dikatakan sebagai orang Madura murni. Kalu ibunya Jawa maka artinya tidak murni berdarah Madura. Jadi kebudayaannya lebih bersifat matrilinial. Kalau menikah maka pasangan itu akan tinggal di rumah orang tua perempuan. Pengawasan yang ketat pada perempuan di Madura, menyebabkan perempuan kurang bisa berpartisipasi dalam seni pertunjukan. Dalam hal ini, sinden dan tandha’ muncul sebagai anomali dalam ruang tradisi patriarki yang kaku di Madura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.