Untuk memahami posisi kesenian di Madura, pertama-tama kita harus memahami bahwa tradisi Islam dalam melihat seni (pertunjukan) tidak terlalu penting, selayaknya kaum Hindu yang mengadopsi unsur-unsur kesenian di dalam melakukan upacara keagamaan. Karena seni pertunjukan tidak menjadi bagian dari agama, maka orang Madura lebih melihat agama ketimbang tradisi. Agama lebih mengikat daripada tradisi, kalau bicara tradisi orang Madura bisa saja mengikuti tradisi Jawa. Berbeda dengan masyarakat Bali, yang memiliki pelindung dari kepunahan budaya, karena tradisi Bali sudah lebur menjadi tradisi Hindu. Sebaliknya, masyarakat Madura bisa menjadi orang lain ketika budayanya musnah.
Orang Madura bisa menjadi siapa saja, karena yang menjadi tolok ukur orang Madura adalah agama (Islam). Syarat menjadi orang Madura itu adalah, ia harus Islam. Bukan hanya identik tapi harus mutlak Islam. Lain dengan masyarakat Jawa, yang bisa memeluk berbagai macam agama dan kepercayaan. Hal inilah yang menjadi masalah pada masyarakat Madura. Tradisi itu dibentuk oleh mazhab Syafii sebagai mazhab dominan yang bersumber dari dalil akal dan dalil fikih. Ketika sebuah permasalahan muncul dan tidak bisa diselesaikan secara akal maka mekanisme penyelesaian dikembalikan pada kitab fikihnya. Mazhab Syafii mengutamakan dalil fikih yang sarat dengan kultur agraris feodal, hal ini lebih disebabkan pembentukan budaya masyarakat Jawa Timur pasca jatuhnya kerajaan Mataram yang kemudian dilanjutkan oleh VOC. Saat itu sempat ada kekosongan kekuasaan, sehingga tidak ada sosok di dalam masyarakat feodal yang bisa dijadikan pimpinan, kecuali ulama. Hukum yang bersumber pada mazhab Syafii dibuat untuk masyarakat agraris feodal. Mazhab Syafii ini tidak terlalu memperdulikan seni. Bagi mereka seni itu hanya untuk hiburan saja, bukan sebagai kontemplasi. Kalau di Jawa bagian tengah, orang berkesenian sebagai sarana kontemplasi, yang sifatnya sangat meditatif. Kebanyakan kesenian Jawa bagian timur berfungsi sebagai media hiburan. Jadi di Madura hanya ada kesenian rakyat yang bersifat populis. Pada tingkatan ini agama tidak campur tangan, agama hanya memberikan larangan, misalnya, karena perempuan tidak boleh tampil di depan umum maka kesenian-kesenian ini pada umumnya ditampilkan oleh laki-laki. Namun sekarang sudah berubah, inilah yang kemudian menimbulkan masalah gender.
Kenyataan bahwa seorang kiai (ulama) mampu memobilisasi pengikutnya, menunjukkan bahwa kedudukan kiai bertambah penting menjelang abad ke-20. Peran kiai mengalami evolusi, dari pemimpin ritual keagamaan semata-mata, kemudian menjadi pemimpin masyarakat ke pemimpin politik (Kuntowijoyo, 2002). Hal ini sangat berbeda dengan tradisi kepemimpinan di Mataram, di Jawa bagian timur pada abad ke-17 tidak ada keraton yang mendominasi, maka pada saat itu ketundukan orang Madura adalah pada kiai atau ulama. Sesudah direbutnya Madura, baik barat maupun timur, banyak sekali tawanan perang pria, wanita, dan anak-anak yang diangkut dari pulau Madura ke Gersik dan Jawa bagian tengah untuk dipekerjakan oleh para pemenang. Raja-raja Mataram memerintahkan dan melaksanakan pemindahan secara besar-besaran kelompok petani dan buruh dari daerah-daerah pendudukan ke pusat kerajaan mereka. Pemindahan penduduk dalam negeri, yang berabad-abad telah dilakukan oleh para raja terhadap kelompok-kelompok suku di Jawa dan Madura itu, berakibat leburnya tradisi lama suku-suku setempat maupun hubungan perkawinan penduduk desa (De Graaf 2003: hal. 195-199).