Melihat Kebo Mundarang mundur, Raden Wijaya lari bersama pengikutnya, setelah jauh maka mereka berkumpul. Lembusora, Ranggalawe, Pedang Gajah dan Dangdi diberi celana geringsing oleh Raden Wijaya. Kemudian mereka kembali memapak pasukan Daha yang masih mengejar, Lembusora mengamuk menerjang musuh hingga banyak yang mati. Setelah merasa payah lalu mundur sejenak, Raden Wijaya menggantikan posisi Lembusora, mengamuk sekuat tenaga, hingga musuh banyak yang mati. Setelah malam lalu mereka menjauh cari peristirahatan. Pada malam hari ketika para prajurit musuh tertidur, Raden Wijaya mendatagi mereka lalu dubantai sekuat tenaga, hingga banyak yang mati. Yang terbangun merasa bingung saling tusuk dengan kawannya sendiri dan ada pula yang melarikan diri pontang panting.
Tribuwanatunggadewi adalah permaisuri Raden Wijaya putri Prabu Kertanegara kena tawan musuh. Raden Wijaya mengajak Ranggalawe untuk mesuk ke benteng musuh merebut sang istri dari tangan musuh. Ditengah malam Raden Wijaya mendekat kesarang musuh yang sedang membuat api unggun, maka tampaklah Dewi Tribuwanatunggadewi bersama Dewi Gayatri bersama ditengah mereka. Raden Wijaya bersama Lembusora menerobos pertahanan musuh, mengamuk sekuat tenaga hingga banyak yang tewas. Kemudian Dewi Tribuwanatunggadewi cepat direbut lalu dilarikan menuju arah perkemahannya sendiri. Tapi Dewi Gayatri tertinggal, karena dikala ribut bersembunyi dan masuk kedalam perkemahan. Tak lama kemudian Raden Wijaya mengajak Lembusora untuk kembali lagi merebut Dewi Gayatri, tapi ditahan olenya agar tidak kembali, mengingat musuh sangat banyak. Dan kalau dipaksakan nanti bagaikan laron masuk kedalam kobaran api kata Lembusora, raden Wijaya menurut.
Kemudian Raden Wijaya dengan pengikut setianya menjauh dari perkemahan musuh kearah utara. Keesokan harinya dikejar lagi oleh pasukan Daha, sampai di telaga Pager terjadilah pertempuran lagi. Pasukan Raden Wijaya sambil lari ke utara juga sambil mempertahankan diri terhadap serangan lawan. Karena barisan musuh lebih banyak maka Gajah Pagon kena tombak betisnya dan luka tembus. Setelah musuh agak menurunkan pegendorkan penyerangannya, maka Raden Wijaya bersama pengikutnya kembali ke dusun Telaga Pager.
Selanjutnya menyusup kehutan yang sangat lebat, ditelah hutan mereka berunding untuk melakukan langkah selanjutnya. Dan Lembusora mengusulkan kepada Raden Wijaya untuk mengungsi ke Madura yakni pada kadipatennya Arya Wiraraja di Sumenep. Rupanya usul masih menjadi pertanyaan bagi Raden Wijaya, apakah kira-kira Arya Wiraraja mau menerima mereka. Secara bersamaan Ranggalawe, Lembusora dan nambi mengatakan bahwa Arya Wiraraja tidak akan melupakan jasa baik leluhur dari Raden Wijaya, dan pasti akan menerima kedatangannya.
Akhirnya usulan tersebut disetujui, dan berangkatlah rombongan kecil tersebut menuju desa Kudadu[1] yang kepala dusunya adalah Macan Kuping. Sesampainya di Kudadu Raden Wijaya diberi kelapa muda oleh Macan Kuping untuk penawar haus. Setelah diminum airnya maka kelapa muda tersebut dibelah menjadi dua, dan ternyata berisi nasi putih bersih. Para pengikut Raden Wijaya sangat heran dengan kejadian tersebut, karena sebelumnya tak pernah menyaksikan keanehan tersebut.
Setelah nasi dimakan bersama lalu istirahat sebentar, kemudian Raden Wijaya melanjutkan perjalanannya, serta menitipkan Gajah Pagon yang sedang terluka parah di betisnya. Oleh Macan Kuping lalu Gajah Pagon dideri tempat ditengah ladang ilalang yang dibuatkan dangau, agar tidak diketahui oleh prajurit Daha. Setiap hari dirawat serta diantakan makanan. Pada malam harinya Raden Wijaya bersama rombongannya berangkat meuju desa Datar. Dari sama mereka mencari perahu untuk melanjutkan perjalannya.(Lontar Madura)
Tulisan bersambung: