Joko Tole sebagai Arya Kuda Panoleh dan Pangeran Saccadiningrat II

Terlepas dari fakta bahwa kejadian-kejadian sedemikian ini dipercaya oleh manusia dalam konteks agama, perlu ditelaah lebih mendalam agar mampu memisahkan unsur yang rancu atau bahkan mustahil dalam penulisan maupun tutur sejarah tradisional agar dapat dipakai di masa kini. Untuk itu kita harus membaca kembali lanjutan penulisan Joko Tole dalam kumpulan cerita rakyat:

“Joko Tole kemudian membuat perekat yang unik untuk menyusun batu-batu di atas fondasi baru. Dengan dibantu oleh para empu, Joko Tole mengerjakan pintu gerbang itu siang malam.

Konon, menurut legenda dikisahkan bahwa Joko Tole dibakar di atas sebuah belanga raksasa. Lalu, dari pusar Joko Tole keluar cairan perekat (semacam semen). Dikisahkan pula bahwa keringat Joko Tole juga ampuh dijadikan perekat untuk membangun pintu gerbang Kerajaan Majapahit…” (Sambangsari, 2008: 177)

Sulaiman Sadik mungkin adalah sejarawan yang cukup mampu memberi interpretasi alternatif yang rasional tentang hal ini. Menurut pendapatnya, justru Joko Tole menerima bantuan bahan timah putih dari pamannya, saudara ayah kandungnya yang bernama Adirasa yang turut menjelaskan asal-muasal Joko Tole. Pekerjaan mengganti gerbang keraton yang panjang dan melelahkan pun akhirnya usai.

Ganjaran yang diterima Joko Tole tidak sedikit karena peran besarnya itu ia dihadiahi emas seberat badannya, Empo Kelleng akhirnya bisa kembali ke Madura. Sosok Joko Tole dalam kisah tersebut menegaskan kembali betapa orang Madura turut memberi peran yang penting dalam berbagai urusan peradaban Jawa. Joko Tole tidak kembali ke Madura, tetapi ia telah kian dekat dengan lingkar kekuasaan Majapahit.

Di Majapahit, Joko Tole kembali menarik hati sang Raja Majapahit. Saat ini ia telah diangkat menjadi seorang pegawai kerajaan Majapahit. Jabatan ini tidak terlalu berlebihan. Babad Songennep melanjutkan kisah tentang karier Joko Tole selama berada di Majapahit. Secara garis besar ada dua kisah penting yang termaktub di dalamnya. Pertama adalah saat Joko Tole mendapatkan gelar “Kuda Panoleh” karena ia berhasil menjinakkan kuda tunggangan Prabu Brawijaya yang bernama Si Sembrani tatkala tak seorang pun prajurit kerajaan mampu melakukannya.

Selanjutnya adalah peran Kuda Panoleh (Joko Tole) dalam membantu memadamkan pemberontakan raja bawahan Majapahit di Blambangan bernama Menak Jayengpati. Patih utama Majapahit pada masa itu yang bernama “Gajah Mada”¹0-berbeda dengan Mahapatih Gajah Mada masa Hayam Wuruk-yang ternyata membenci dan kemudian mengkhianati Kuda Panoleh. Kepala Raja Blambangan yang berhasil ditewaskan Kuda Panoleh diminta Gajah Mada. Setelah tiba di keraton, kepala itu diakui oleh Patih Gajah Mada sebagai hasilnya membunuh Raja Blambangan itu (Sadik, 2006: 52). Dalam versi lain dikatakan Gajah Mada menyebarkan isu bahwa Kuda Panoleh kalah dan meninggal di dalam peperangan (Farisi, 1993: 90).

Kedatangan Joko Tole sangat mencengangkan Raja Majapahit yang telah demikian menyayanginya. Meskipun berhasil mencegah Prabu Brawijaya untuk menikahkan putrinya yang bernama Dewi Maskumambang dengan Kuda Panoleh (Joko Tole), Patih Gajah Mada tidak bisa berbuat banyak saat Brawijaya memberikan gelar kehormatan “Raden Arya Kuda Panoleh” kepada Joko Tole serta menikahkan putrinya yang bernama Dewi Ratnadi dan kemudian mempersilakan Raden Arya Kuda Panoleh pergi ke Sumenep untuk tugas yang lebih besar.

Arya Kuda Panoleh sebelumnya telah bertemu dengan Adirasa, paman kandungnya. Di saat yang sama ia bertemu juga dengan Banyak Wedi yang kelak kemudian diangkat menantu penguasa Gresik. Dengan membawa Dewi Ratnadi menuju Sumenep, ia kini bukan lagi seorang anak pandai besi dari Pekandangan. Jika andai saja Joko Tole memang bukan anak bangsawan Adi Poday dan Potre Koneng, peran besarnya dalam masalah renovasi pintu gerbang hingga dalam mengalahkan Menak Jayengpati telah sedikit membuatnya pantas dipertimbangkan mendapat penghormatan seperti itu. Penganugerahan putri Raja Majapahit adalah legitimasi secara politis. Kisah perjalanan Joko Tole menuju Madura bahkan menjadi sebuah legasi kepercayaan atas asal-usul nama beberapa tempat di Madura. Demikian ini salah satu legenda penamaan kecamatan Soca di Kabupaten Bangkalan:

“Setelah rombongan Joko Tole beristirahat di Gresik, mereka melanjutkan perjalanan dengan menyeberangi laut ke arah Kamal-Ujung barat Pulau Madura. Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di sebuah daratan. Ketika itu, Dewi Ratnadi ingin sekali mandi…. Joko Tole mengambil tongkat milik Dewi Ratnadi dan menancapkannya ke tanah. Hal ajaib pun terjadi. Ketika tongkat itu dicabut dari dalam tanah, keluarlah air tawar yang memancar dengan deras. Dewi Ratnadi yang kala itu berada di samping Joko Tole, terkena cipratan air dari sumber air itu. Wajahnya basah oleh air. Secara tiba-tiba, mata Dewi Ratnadi yang buta dapat melihat.” (Sambangsari, 2008: 178)

Semenjak itu wilayah di mana Dewi Ratnadi memperoleh penglihatannya-sembuh dari kebutaan-disebut sebagai Socca yang artinya “mata”. Kisah berikutnya adalah saat Joko Tole dan Dewi Ratnadi melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Di sana mereka menemukan sumber mata air yang cukup besar. Pada saat tersebut Dewi Ratnadi mandi dan mencuci pakaian termasuk amben atau sejenis pakaian dalam berupa pembalut karena kebetulan sedang mengalami menstruasi.

Tanpa disengaja pakaian dalam itu lepas dari tangannya dan hanyut. Dewi Ratnadi dibantu Joko Tole berusaha mencarinya, tetapi sia-sia. Dengan perasaan jengkel, Joko Tole bersumpah serapah atau dalam bahasa Madura adalah abasto-tendensi penggunaannya biasanya adalah mengutuk-sumber air itu tidak akan keluar dari kawasan tersebut. Air tadi tidak mengalir terlalu jauh, walaupun sumber mata air itu besar. Dari sebab itulah, sumber mata air itu disebut “Omben” (Werdisastra, Hadi (Penj.), 1996: 89). Joko Tole dan Dewi Ratnadi beserta rombongannya kini menuju Sumenep.

Setelah memperkenalkan diri kepada kakeknya yang masih berkuasa di Sumenep, Joko Tole yang bergelar Raden Arya Kuda Panoleh berhasil menarik hati Saccadiningrat I. Bukan suatu hal yang mustahil apabila ketenaran Joko Tole semasa mengabdi di Majapahit telah terdengar luas di Madura, apalagi kini ia telah memiliki istri seorang putri Majapahit yang telah sembuh dari kebutaannya. Saccadiningrat I bisa menerima keberadaan Joko Tole dan telah jelas baginya kisah asal-usul tentang cucunya itu. Kesudian Saccadiningrat I juga tidak lepas dari usia lanjutnya (telah tua).

Babad Songennep mencatatkan bahwa Saccadiningrat lebih senang hidup bertapa di masa tuanya (Werdisastra, Hadi (Penj.), 1996: 106). Takhta Kerajaan Sumenep akhirnya dilanjutkan oleh Joko Tole Raden Arya Kuda Panoleh dengan gelar Pangeran Saccadiningrat II sejak 1415. Dalam tradisi Kerajaan Sumenep tampaknya kekuasaan tidak pernah jatuh kepada anak anak perempuannya, tetapi kepada saudara laki-laki atau anak laki-laki (Farisi, 1993: 81). Adapun jika harus jatuh kepada Potre Koneng, Sumenep tidak pernah mencatatkan adanya kekuasaan ratu/penguasa wanita. Apabila Adi Poday kemudian dianggap berhak mewakili istrinya, ia pun kala itu tengah menggantikan posisi ayahnya sebagai penguasa Pulau Sapudi. Kesimpulannya adalah kesempatan Joko Tole untuk menerima takhta tidak menemukan rintangan sedikit pun.

Joko Tole memerintah dengan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya sebagai konsentrasi utama. Masa lalu dari kehidupan Joko Tole yang kini telah menjadi penguasa Sumenep membuatnya mempunyai perhatian mendalam kepada rakyat kecil. Sumenep kemudian menjadi tempat yang penting bagi perekonomian di Pulau Madura. Keberadaan Sumenep sebagai penghasil garam terbesar di Madura tak jarang dihubungkan dengan kenyataan bahwa Sumenep lebih dahulu menjadi (pusat) vassal (kerajaan bawahan) Majapahit pada masa berkuasanya Joko Tole (Gunawan & Kuncoro, 2004: 18).

Selain itu, sektor peternakan dan pertanian juga dikembangkan. Pada sekitar abad ke-14, Panembahan Blingi memerintah di Sapudi. Sapudi adalah pulau kecil di sebelah timur Madura. Beliau sangat berjasa dalam melakukan cara-cara beternak sapi. Keahliannya diwariskan kepada putranya yang bernama Adi Poday. Putranya ini mempunyai keahlian lain di bidang pertanian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.