Joko Tole sebagai Arya Kuda Panoleh dan Pangeran Saccadiningrat II
Cerita rakyat tersebut memberikan berita yang berfungsi sebagai pengenalan terhadap sosok Joko Tole. Didapati keterangan tentang Joko Tole sebagai “cucu” dari seorang empu sakti. Pernyataan tersebut sedikit terkait dengan kisah Joko Tole yang dituliskan sebelumnya, yakni Empu Kelleng yang belum memiliki anak meski usianya telah tua. Informasi lain yang bisa dikuak adalah peran empu Madura dalam sebuah pekerjaan penting di pusat Majapahit.
Hingga sekarang jarang diungkap tentang profesi empu atau pandai besi Madura dalam sejarah nusantara. Maka penting untuk dipaparkan bahwa empu asal Madura juga sempat mengambil peran dalam bidang tosan aji. Keris adalah salah satu senjata tradisional yang tersebar luas penggunaannya di Indonesia. Jawa adalah wilayah asal keris yang diidentikkan dengan senjata ini. Kali ini akan sedikit diulas mengenai bidang perkerisan agar dapat menjadi jelas tentang latar historis yang di dalamnya turut terungkap dari kisah Joko Tole.
Dalam dunia pembuatan keris dikenal istilah Tangguh yang mengacu pada unsur garapan dan penamaannya menurut zaman saat keris dibuat. ‘Tangguh’ bisa juga disebut sebagai periodisasi pembuatan keris yang turut mencatat nama-nama empu yang terkenal. Saat mengingat tentang gelar atau panggilan “empu” pembuat keris maka dengan mudah kita akan mengingat nama Gandring, seorang tokoh penting dalam kisah keris kutukan yang ia buat dan telah memakan korban dirinya sendiri setelah dipakai Ken Arok (pendiri Kerajaan Singasari). Empu Gandring adalah ikon dalam ‘Tangguh Singosari’. Setelah masa Singasari, periode selanjutnya adalah ‘Tangguh Madura (Tua)’, Masa Tangguh Singasari terjadi pada pertengahan abad ke-11 bersamaan dengan Tangguh Jenggala’, tetapi Singasari lebih populer. Dua nama empu muncul pada Tangguh Madura, yakni Empu Macan dan Empu Kasa (Hasrinuksmo & S. Lumintu, 1988: 38).
Empu Kasa diperkirakan hidup pada zaman menjelang berdirinya Kerajaan Majapahit. Penampilan keris karya Empu Kasa secara keseluruhan dikenal menarik hati, memikat, dan anggun. Tidak jauh dengan Empu Kasa, Empu Macan hidup pada awal zaman Majapahit, keris buatannya berpenampilan keras, berwibawa, dan tegas. Tangguh Madura dalam perkerisan mempunyai ciri-ciri umum seperti sifat serta tanda dari bagian-bagian bilahnya hampir sama dengan Tangguh Majapahit, Pamor halus, lembut, dan cemerlang, berlapis-lapis, seolah mengandung lemak, kesan yang timbul apabila diraba adalah keras (Wijayatno & Sudrajat, 2011: 57). Peran orang Madura dalam membantu berdirinya Majapahit telah turut memopulerkan kalangan empu dari pulau ini.
Gerbang Keraton Majapahit yang terbuat dari batu dan telah rusak itu sudah cukup tua karena dimakan usia sebab dibuat oleh orang Madura di zaman Kertarajasa Jayawardana/ Raden Wijaya (Sadik, 2006: 34). Berita ini membuktikan kualitas bangunan yang dikerjakan oleh orang Madura. Prabu Brawijaya menginginkan gerbang baru yang terbuat dari besi sehingga dipanggillah seluruh empu pandai besi yang terbaik dari penjuru Majapahit, termasuk dari Madura. Empo Kelleng beserta beberapa empu Madura turut diundang. Tentunya para empu terbaik. Babad Songennep dalam Imam Farisi (1993: 90) mengisahkan keadaan Empu Kelleng dan para pandai besi dalam proses pembuatan gerbang Keraton Majapahit:
“Tersebutlah Raja Brawijaya, Sultan Majapahit berkehendak membangun pintu gerbang dari besi. Untuk itu segenap pandai besi di seluruh Jawa dan Madura dipanggil ke keraton. Singkat cerita, pada saat-saat akhir pembangunan itu, para pandai besi mengalami kesulitan membuat perekatnya (pejer), termasuk Empu Kelleng ayah angkat Joko Tole….”
Keberangkatan Empo Kelleng ke Majapahit membuat Joko Tole menggantikan pekerjaan ayah angkatnya sebagai pandai besi. Hilir mudik para pemesan datang untuk dibuatkan berbagai perkakas. Perkakas pertanian buatannya dipercaya mampu mendatangkan hasil panen yang baik. Senjata-senjata seperti keris dan tombak garapan Joko Tole diyakini sakti. Empu Kelleng kini telah sekitar setahun lamanya berada di Majapahit. Kendala membuat perekat gerbang membuat para pandai besi, termasuk Empo Kelleng, belum bisa kembali pulang. Material yang dipakai oleh para pandai besi kala itu adalah timah hitam.
Sulaiman Sadik (2006: 34-35) mengungkapkan bahwa para pedagang China yang kebetulan sedang berdagang di Majapahit berkata seharusnya perekat gerbang itu memakai timah putih, bukan timah hitam yang disebut orang Madura sebagai bhudheng. Para pandai besi yang khawatir karena tidak bakal dapat pulang, tidak juga berani untuk menyarankan penggunaan timah putih. Mereka takut karena raja telah murka, jika itu disampaikan maka raja akan menyuruh mereka sendiri mencari timah putih dan apabila tidak berhasil menemukannya maka mereka akan menerima hukuman. Beberapa pandai besi juga telah ada yang telah meninggal dalam tugas pembangunan gerbang ini, Empo Kelleng kemudian jatuh sakit. Joko Tole yang berada di Pekandangan mendengar berita sakit ayah angkatnya dari Nyi Kelleng yang merasa khawatir akan suaminya.
Keterkaitan antara orang-orang China dan komoditas timah putih memiliki kesejarahan yang erat. Orang-orang China telah menambang timah putih sejak 700 SM di Provinsi Yunnan yang hingga sekarang masih beroperasi (Emsley, 2011: 554). Dalam konteks perdagangan di sekitar nusantara harus dilihat dalam konteks yang lebih luas yakni di Asia Tenggara. Kekayaan timah yang sangat besar di dunia terletak pada jalur utara-selatan, mulai dari pegunungan Myanmar (Birma) bagian timur ke Semenanjung Melayu hingga ke Pulau Bangka dan Belitung. Banyaknya kandungan timah di bumi Bangka dan Belitung baru diketahui setelah tahun 1709, tetapi bagian tengah Semenanjung Melayu sudah diketahui sejak abad ke-10 Masehi (Djaenuderadjat (Ed.), 2013: 159).
Meskipun komoditas tersebut telah populer di bagian timur Asia seperti halnya China, tidak dapat dipastikan bahwa akses untuk mendapatkannya terbilang mudah di masa silam. Penelitian sejarah mengenai komoditas timah mengisyaratkan bahwa keterbatasan teknologi transportasi atau jauhnya jarak tempuh antar wilayah kepulauan telah menjadi sebab sulitnya para empu guna memperoleh timah, meski bukan tidak mungkin pula komoditas tersebut telah diperdagangkan ke Majapahit meski dalam jumlah terbatas.
Di samping itu, jika dikaitkan dengan pengetahuan ilmiah yang lebih modern maka akan dimengerti penyebab memburuknya kesehatan para empu yang di antaranya telah meninggal. Kepemimpinan monarki kerap tidak memedulikan dan kejam kepada rakyatnya, dalam hal ini adalah para pandai besi itu bekerja di bawah ancaman, tidak mendapat izin pulang sebelum gerbang itu selesai, maupun tidak diperhatikannya kesehatan mereka. Masalah lainnya justru mengenai pemakaian timah hitam (Madura: budheng) itu sendiri.
Timah hitam sering juga disebut dengan timbal adalah elemen kimia dengan simbol (Pb). Timah hitam dalam unsur merupakan logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak bumi. Apabila timbal itu terhirup atau tertelan oleh manusia maka elemen itu akan beredar mengikuti aliran darah, diserap kembali dalam ginjal, otak, dan disimpan dalam tulang dan gigi. Salah satu penyebab peningkatan kadar timah hitam dalam lingkungan adalah kegiatan peleburan. Tingginya kadar timbal ini dapat mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh (Mangunjaya, 2006: 206). Ini dapat memperjelas kondisi para pandai besi dan kemungkinan penggunaan timah hitam atau timbal juga berpengaruh buruk terhadap kesehatan mereka.
Joko Tole segera meminta izin untuk menggantikan posisi ayahnya dalam mengerjakan pintu gerbang keraton. Ia memohon pamit kepada ibu angkatnya untuk berangkat ke Majapahit. Nyai Kelleng berharap Joko Tole dapat membantu ayahnya agar segera pulang. Kedatangan Joko Tole dalam membantu penyelesaian pintu gerbang keraton dicatat dalam Babad Songennep sebagai sebuah penyelamatan di masa masa kritis ini. Berikut ini adalah nukilannya:
“….. Pada saat kritis inilah muncul Joko Tole, yang datang ke Majapahit untuk menyusul ayahnya Empu Kelleng karena telah lama ditunggu, tetapi belum juga pulang. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Joko Tole berhasil membuat perekat, dengan cara menyuruh para pandai besi untuk membakar tubuhnya sampai hangus, dan nanti dari pusarnya akan keluar cairan putih yang dapat dipakai sebagai perekat gerbang. Akhirnya pintu gerbang tersebut dapat diselesaikan oleh Joko Tole sekaligus dipasangkan ke bingkainya….” (Farisi, 1993: 90).
Versi kisah tersebut sangat populer dan dipercaya secara tradisional. Kisah-kisah seorang tokoh dalam kesusastraan masa lampau memang hampir tidak bisa dilepaskan dari kosmis magis. Penyebabnya bisa saja karena memang tokoh-tokoh tersebut dikenang dan dicatatkan sedemikian rupa berdasarkan peran pentingnya pada sebuah kejadian. Hal itu dapat menjadi alasan masuknya unsur pengkultusan akibat kekaguman berlebih. Di samping itu, dapat juga dikarenakan penulisan atau pencatatan peran seorang tokoh secara khusus ditujukan untuk pengagungan maka cara yang sesuai untuk memberi legitimasi adalah dengan aspek supranatural.
Dibawah layak dibaca