Eksistensi dan Fenomena Bahasa Madura

A.3  Karakter Bahasa Madura

Faktor ketiga berhubungan dengan karakter bahasa Madura itu sendiri. Kata-kata dalam Bahasa Madura memiliki karakter khusus yang berbeda dibandingkan bahasa lain. Karakter ini terletak pada banyaknya konsonan dan suara letup pada tiap katanya. Kata Beddha’ (bedak), adalah contoh nyata karakter khusus ini. Selain itu, banyaknya kata yang memiliki suku kata lebih dari dua menyebabkan masyarakat kadang menjadi bingung untuk menuliskannya. Kata  kamma’ah (mana) dalam kalimat  Dha’ kamma’ah? (Anda mau kemana) adalah contoh bahwa menuliskan kata dalam bahasa Madura tidaklah semudah menuliskan kata dalam bahasa Indonesia. Apabila penulisan kata ini dilakukan dalam bentuk SMS, dan format tulisannya mengikuti kebiasaan yaitu kalimat atau kata-kata dalam SMS dipotong jadi pendek, Tidak hanya si penerima yang jelas akan butuh waktu lama untuk memahami kalimat di SMS tersebut, sang pengirimpun pastinya akan berpikir keras untuk mengirimkan tulisan yang dapat dipahami dengan mudah oleh penerima. Sebuah kalimat Tng bdhn rassna sake’ yang mengikuti pola SMS yaitu dipotong menjadi pendek beberapa kata di dalamnya dan dikirimkan lewat SMS akan benar-benar membingungkan bagi pembacanya. Arti kalimat ini sebenarnya adalah ”badanku terasa sakit”, kata bdhn apabila dituliskan lengkap adalah badhan yang artinya badan. Namun, karena kurang terbiasanya orang Madura terhadap tulisan Madura, bisa jadi kata bdhn kemudian dibaca menjadi budhun yang artinya bisul. Untuk memecahkan kesulitan penulisan ini utamanya dalam SMS, maka orang Madura mengambil sebuah solusi yaitu dengan mengalihkan bahasanya tulisannya ke Bahasa Indonesia yang lebih mudah dipahami. Alih bahasapun terjadi.

A.4 Diglossia.

Digglosia, sebuah fenomena yang biasa muncul dalam kajian sosiolinguitik dapat dijumpai keberadaannya di Madura. Diglosia ini mengacu pada perbedaan penggunaan bahasa yang disuaikan dengan konteks waktu, tempat, dan lawan bicara. Bahasa Madura memiliki tiga tingkatan. Tingkat pertama disebut Enja’-Iya yaitu bahasa Madura kasar yang biasa dipakai ketika orang Madura berkomunikasi sehari-hari dengan lawan bicara yang seusia atau lebih muda. Enggi-Enten, sebagai bahasa Madura tingkat sedang dipakai ketika orang Madura berkomunikasi dengan orang yang lebih tua namun status sosialnya setara, dengan orang yang baru dikenal, atau kadang dengan teman yang tidak terlalu akrab.  Yang terakhir adalah Enggi-Bunten, bahasa Madura halus yang biasa digunakan kepada lawan bicara yang jauh lebih tua, atau kepada seseorang yang sangat dihormati. Orang Madura harus mematuhi aturan penggunaan bahasa ini jika tidak ingin dikatakan sebagai seseorang yang kurang berpendidikan, dan tidak tahu sopan santun

Sayangnya, pengetahuan orang Madura utamanya generasi muda yang biasa tinggal di pusat kota tentang penggunaan bahasa Enggi Bunten mulai berkurang. Yang lebih ironis lagi, ada banyak generasi muda Madura hanya paham bahasa kasar saja. Banyak hal sebenarnya dapat menjelaskan mengapa hal memprihatinkan ini terjadi, namun secara umum faktor dominan yang berperan dalam degradasi pengetahuan bahasa halus ini adalah karena proses pengajaran bahasa Madura dalam keluarga dan di sekolah yang dijalankan dalam bentuk muatan lokal bahasa daerah dinilai kurang berhasil. Minimnya pengetahuan tentang bahasa halus ini menyebabkan banyak orang menjadi enggan untuk menggunakan bahasa Madura. Ketika seorang pemuda terpaksa harus berbicara dengan seseorang yang dihormati dalam masyarakat, dan pemuda ini menyadari bahwa bahasa yang harus ia pakai ketika berbicara dengan orang ini adalah bahasa halus, padahal ia tidak terlalu yakin dengan kemampuan bahasa halusnya, maka daripada dianggap tidak sopan dan kurang berpendidikan karena menggunakan bahasa Madura yang kurang baik, pemuda inipun memilih menggunakan bahasa Indonesia.

Hal yang sama terjadi juga dalam tulisan. Menulis memerlukan ketrampilan yang kompleks. Selain sang penulis harus pandai mencari ide tentang apa yang akan disampaikannya dalam tulisan tersebut, ia juga harus mampu mencari diksi yang tepat agar ide dan pikiran yang hendak disampaikan dapat ditangkap dengan mudah oleh pembacanya. Proses mencari ide dan mencari diksi yang pas ini bagi sebagian orang sudah sangat sulit dilakukan. Jika  proses ini kemudian harus ditambah dengan kegiatan menganalisa tulisan apakah benar atau tidak, atau ditambah dengan kegiatan harus mencari bahasa halus yang tepat dan sopan, pastilah akan sangat berat dan melelahkan. Ketika orang Madura menulis bahasa Madura dengan menggunakan bahasa halus, maka dia harus melalui proses melelahkan ini. Tidak banyak orang mau direpotkan dengan urusan yang panjang dan melelahkan ini, dan untuk lebih mudahnya akhirnya mereka kembali memakai cara lama yaitu mereka tuliskan ide mereka dalam bahasa Indonesia.

A.5 Trend

Yang dimaksud dengan trend disini adalah fenomena aktual yang ada dalam masyarakat. Ketika era komunikasi digital berkembang dengan pesat, tidak ada batasan jarak antara orang Madura dengan orang yang berada di daerah lain. Orang Madura dapat dengan mudahnya mengakses jutaan informasi hanya melalui tabung kecil yang disebut televisi, dan internet-komputer. Pusat tren bangsa Indonesia adalah Jakarta. Budaya masyarakat Jakarta inilah yang kemudian dijadikan patokan kebanyakan orang Madura dalam berbuat dan bersikap. Termasuk juga budaya berbicara dan menulis. Program-program yang ditampilkan di TV hamper seluruhnya berbahasa Indonesia. Bahasa yang ada di TV inilah yang dijadikan contoh oleh masyarakat Madura. Memang, tidak semua masyarakat Madura kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia, namun secara tidak langsung, program diTV tersebut telah memberikan gambaran bahwa bahasa Indonesia-betawi dan Inggrislah yang menjadi bahasa trend saat. Menggunakan bahasa selain itu dianggap sebagai kolot, tidak modern dan tidak trendy. Demikian juga dalam tulisan. Menggunakan bahasa Madura dalam tulisan kini dianggap sebagai perbuatan merepotkan, aneh, kurang modern, dan tidak berpendidikan. Faktor trend inilah yang membuat kebanyakan pemuda Madura mengikhlaskan bahasa Madura tulis untuk tidak dihidupkan dan kemudian dimusiumkan.

  1. Dampak Alih Bahasa Madura Dalam Tulisan Terhadap Keberadaan Bahasa Madura Ke Depan

Alih bahasa yang terjadi dalam masyarakat Madura merupakan sebuah fenomena linguistik yang biasa terjadi. Di masyarakat manapun di seluruh dunia terutama masyarakat majemuk yang terbentuk dari  berbagai macam suku bangsa pasti akan mengalami fenomena ini. Alih bahasa ini muncul dan dilakukan oleh satu masyarakat karena adanya sebuah kebutuhan terhadap cara jitu untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang lain yang berbahasa beda. Selama alih bahasa ini terjadi secara temporer dan tidak permanen, maka keberadaan bahasa domain (bahasa yang dialih bahasakan) akan tetap terjaga. Namun, andaikata alih bahasa ini dilakukan secara terus menerus atau bahkan permanen, ini akan dapat berimbas negatif dan mengancam bahasa domain. Ketika alih bahasa Madura ke bahasa Indonesia dilakukan secara terus menerus, kondisi ini jelas akan membawa dampak negatif pada bahasa Madura. Orang Madura yang terbiasa berbahasa Indonesia pastinya akan merasa tidak nyaman ketika dipaksa untuk kembali berbahasa Madura. Kebiasaan tidak menggunakan bahasa Madura ini apabila kemudian diwariskan pada anak cucu, akan menyebabkan anak cucu tersebut tidak memiliki kemampuan berbahasa Madura, padahal darah mereka adalah darah Madura. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, eksistensi bahasa Madura ke depannya akan terancam

Ancaman terhadap eksistensi bahasa Madura telah mulai terlihat dalam fenomena alih bahasa Madura tulis ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa Madura telah mulai hilang dalam tulisan. Hal ini didukung oleh fakta-fakta menarik yang penulis temukan di lapangan. Fakta-fakta tersebut adalah:

  1. Dari hasil pengamatan penulis terhadap tulisan pada 65 spanduk yang bertebaran di Kabupaten Bangkalan, bisa dihitung dengan jari jumlah spanduk yang menggunakan bahasa Madura. Hanya 2 spanduk yang menggunakan bahasa tersebut. Sisanya, yaitu 63 buah, menggunakan bahasa Indonesia. Padahal spanduk-spanduk tersebut ditujukan untuk orang Madura.
  2. Diantara 50 siswa di sebuah sekolah di Kabupaten Bangkalan yang penulis wawancarai untuk memastikan apakah mereka menulis SMS dengan menggunakan bahasa Madura ataukah tidak, ternyata dijumpai tidak satupun diantara mereka yang memiliki komitmen untuk selalu menulis SMS dengan menggunakan bahasa Madura. Lebih dari separuh atau sekitar 43 orang menyatakan belum pernah SMS dengan menggunakan bahasa Madura. Sisanya mereka menyatakan pernah SMS dengan menggunakan bahasa Madura dan itupun hanya satu atau dua kali saja.
  3. Penulis juga menjumpai diantara tulisan yang terdapat di belakang 29 bak truk yang melewati jalan telang Bangkalan, hanya 2 buah truk yang bertuliskan bahasa Madura, itupun hanya sebuah frase bahasa Madura yaitu te ngate, (hati-hati), dan Ale’ sayang (adek sayang). Padahal plat nomor kendaraan tersebut M, plat nomor Madura.
  4. Diantara papan nama toko yang bertebaran di kecamatan Bangkalan, tidak ada satupun papan nama itu bertuliskan nama-nama dalam bahasa Madura.
  5. Diantara 250-an nama teman seangkatan penulis waktu SMA, hanya ada dua nama yang berbau bahasa Madura, yaitu Rimbi Ari Raja (Lahir di hari raya) dan Tera Athena (Terang hatinya). (Bandingkan dengan daerah Jawa, yang kebanyakan nama penduduknya diambil dari bahasa Jawa seperti Suryo, Putro, Noto, dan Eka)
  6. Diantara koran lokal (kebanyakan milik PEMDA) yang ada di Madura, tidak satupun yang menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa utama untuk menyampaikan informasi. Radar Madura, koran dengan oplah terbesar dan merupakan bagian dari koran lokalpun hanya mencantumkan peribahasa Madura saja untuk dikaji. Belum pernah dijumpai koran ini menuliskan beritanya dalam bahasa Madura.

Jika semua fakta ini hanya didiamkan saja, maka suatu saat Bahasa Madura akan benar-benar punah. Pertama memang tulisan Madura hilang dari masyarakat, suatu saat bahasa Madura lisanpun akan hilang.

Untuk mempertahankan bahasa Madura dari kepunahan, hanya ada satu cara yaitu berusaha menggalakkan kembali kegiatan menulis dengan menggunakan bahasa Madura. Apabila kegiatan ini dilaksanakan, hal ini akan memberikan efek domino positif terhadap perkembangan bahasa Madura. Memang pertamanya akan sangat sulit untuk membuat masyarakat Madura menulis sesuatu dengan bahasa Madura. Mereka akan sering buka kamus untuk memastikan apakah tulisan mereka benar ataukah tidak. Mereka juga akan sering banyak bertanya kepada para orang tua apakah bahasa tulisan mereka sudah cukup halus ataukah tidak. Tapi segi baiknya, dengan melaksanakan hal ini mereka akan kembali belajar. Mereka akan mencari buku-buku berbahasa Madura untuk mencari contoh tulisan yang bagus. Ketika mereka menemukannya, mereka akan mencontoh tulisan itu. Lama kemudian mereka akan memproduksi tulisan mereka sendiri. Ketika kegiatan tulis menulis berbahasa Madura menjadi budaya, akan banyak sekali dijumpai karangan-karangan dalam bahasa Madura. Ketika buku-buku dan tulisan berbahasa Madura banyak beredar dipasaran, maka akan selamatlah bahasa Madura dari kepunahan.

Tulisan bersambung:

  1. Ketika Bahasa Madura Tidak Lagi Bersahabat dengan Kertas dan Tinta
  2. Eksistensi dan Fenomena Bahasa Madura
  3. Bahasa Madura Pelingdung Bahasa Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.