Ketika Bahasa Madura Tidak Lagi Bersahabat dengan Kertas dan Tinta

(Sebuah Kajian Ethnolinguistics Ditinjau Dari Sudut Pandang Sosiolingistics)

Oleh: Iqbal Nurul Azhar

Artikel Ini Telah Terbit di Buku Bahasa dan Sastra Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif , ISBN No. 978-979-1262-25-5. Diterbitkan atas kerjasama the Faculty of Language  and Art, Yogyakarta State University dan Tiara Wacana publisher. 2008

1. PENDAHULUAN

Pada judul artikel ini, kertas dan tinta yang dimaksud adalah alat yang digunakan untuk menulis. Bersahabat di sini didefinisikan sebagai frekuensi penggunaan Bahasa Madura. Dikatakan bersahabat apabila frekuensi penggunaan bahasa Madura dalam tulisan adalah sering. Dan dikatakan tidak bersahabat apabila frekuensi penggunaan bahasa Madura jarang atau bahkan mungkin tidak pernah. Tulisan ini mencoba mengupas sebuah terminologi yang biasa muncul dalam sosiolingistik yaitu “code shifting” atau “alih bahasa” dan menghubungkanya dengan realita yang berhubungan dengan pengunaan bahasa daerah di Madura,  daerah yang mayoritas penduduknya menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa komunikasi sehari-hari .

Madura dengan empat kabupatennya yaitu Bangkalan, Sampang Pamekasan dan Sumenep  tidak hanya didiami orang Madura saja,  tapi daerah ini didiami juga oleh orang Jawa, Sunda, Sumatera, Cina, dan Arab. Namun, meskipun struktur masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis, mayoritas dari populasi pulau ini adalah penutur asli bahasa Madura yaitu orang Madura dan bahasa komunikasi merekapun bahasa Madura.

Pemerintah menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional yang wajib digunakan oleh segenap suku bangsa di Indonesia, sehingga Madura sebagai bagian dari suku bangsa di Indonesia juga menggunakan bahasa tersebut. Akibatnya orang Madura menjadi bilingual, yaitu mereka mampu menguasai dua bahasa dengan baik. Bahkan ada sebagian daerah yang penduduknya multilingual karena mereka tidak hanya mahir bahasa Madura dan bahasa Indonesia, mereka juga mahir bahasa Jawa atau bahkan bahasa Kalimantan.

Berdasarkan kemampuan mereka yang bilingual atau multilingual ini, kita mungkin dapat bertanya, kira-kira apa yang terjadi andaikata masyarakat ini kemudian berada dalam sebuah situasi bilingual atau multilingual, sebuah situasi yang memberikan mereka kebebasan untuk memilih bahasa apa yang mereka gunakan? Bahasa apakah yang akan mereka pakai dalam konteks ini? Dan apabila pertanyaan ini kemudian dihubungkan dengan konteks komunikasi modern, yaitu sebuah konteks dimana komunikasi antar orang Madura dengan munggunakan piranti elektronika seperti handphone telah menjadi trend, fenomea linguistik apakah yang mungkin muncul dalam konteks tersebut? Bahasa apakah yang mereka pakai dalam komunikasi via handphone? Bahasa manakah yang mereka pilih dalam menulis pesan SMS? Ini beberapa pertanyaan yang sangat menarik untuk dikaji.

Penulis memiliki banyak teman yang berasal dari suku yang sama dan telah bergaul dengan mereka selama bertahun lamanya. Setelah sekian lama bergaul dengan mereka, penulis menjumpai sebuah fenomena menarik dalam interaksi kami yang berhubungan dengan pemilihan bahasa yang akan dipakai dalam tulisan. Dalam komunikasi sehari-hari, kami memang menggunakan bahasa Madura, namun ketika komunikasi ini beranjak menuju komunikasi tulis, katakanlah komunikasi dalam bentuk surat atau SMS, maka bahasa Madura tidak di pakai lagi. Ini menjadi sebuah tanda tanya besar dalam benak penulis. Dan pertanyaan yang pertama kali muncul adalah apakah absennya bahasa Madura dalam tulisan ini hanya terjadi pada interaksi kami saja, ataukah fenomena ini telah menjadi sebuah budaya dan dilakukan oleh hampir oleh seluruh orang Madura? Jika memang benar fenomena ini adalah budaya, maka kekhawatiran para tokoh Madura bahwa suatu saat bahasa Madura akan punah telah mulai terbukti adanya. Bahasa Madura telah mulai punah dalam tataran komunikasi tulisan.

Untuk menjawab pertanyaan inilah artikel ini ditulis. Artikel ini pada intinya berusaha menjawab tiga pertanyaan mendasar yang berhubungan dengan absennya bahasa Madura dalam tulisan, yaitu: a. Faktor-faktor yang melatar belakangi alih bahasa orang Madura dalam komunikasi via tulisan, b. Dampak alih bahasa terhadap bahasa Madura, dan c. Peranan bahasa Madura terhadap perkembangan bahasa Indonesia.

2. PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor yang melatar belakangi alih bahasa dalam bahasa tulis orang  Madura
Beberapa penelitian dalam bidang sosiolinguistik mengusulkan setidak-tidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi kelahiran alih bahasa. Gil menyebutnya sebagai tiga faktor dominan. Ketiga faktor tersebut antara lain, status bahasa, demografi and institusi. (Gil dalam Setiawan 2001:175). Sedang dalam konteks bahasa Madura, penulis mengajukan setidak-tidaknya ada lima faktor yang mungkin mempengaruhi kemunculan alih bahasa dalam tulisan. Faktor tersebut antara lain, demography, status bahasa, karakteristik bahasa madura, diglossia  dan yang terakhir trend.

A.1  Demografi

Faktor demografi menjadi faktor pertama yang dibahas dalam artikel ini. Pada bagian pendahuluan, penulis menyebutkan bahwa pulau Madura tidak hanya dihuni oleh etnis Madura saja, namun juga oleh etnis-etnis yang lain seperti Jawa, Sunda, Arab, Cina, dan Sumatera. Keberagaman etnis inilah yang kemudian membentuk demografi Madura seperti yang kita lihat dewasa ini. Etnis-etnis tersebut saling berbagi peran dan bersatu membentuk masyarakat yang harmonis.

Meskipun etnis di luar etnis Madura, katakanlah etnis Jawa, hanyalah etnis minoritas, dan komunitas merekapun tidak terlalu luas, namun etnis ini berperan penting dalam aktivitas keseharian masyarakat Madura. Banyak diantara orang Jawa memiliki peranan sosial cukup penting. Mereka ada yang menjadi pegawai PEMDA, guru, dosen, dokter, kuli bangunan, bahkan pedagang kaki lima. Mereka harus dapat bertahan hidup di tempat yang baru tersebut, dan mereka mulai melakukan pertahanan hidup ini dalam bentuk melakukan interaksi dengan penduduk lokal. Pendatang ini memiliki kekurangan, dan kekurangan ini adalah mereka tidak mengerti bahasa Madura. Untungnya mereka menguasai bahasa lain yang mampu menutupi kekurangan mereka yaitu bahasa Indonesia. Bahasa inilah yang menjembatani komunikasi penduduk pendatang dengan penduduk lokal. Orang Madura sangat menghargai warga pendatang ini dan merekapun menggunakan bahasa Indonesia untuk berinteraksi. Bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana komunikasi yang dimengerti oleh dua etnis yang berbeda ini. Demikian juga dalam bahasa tulis. Kedua belah bihak tanpa ada kata sepakat lebih memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam tulis. Menggunakan bahasa Madura untuk menulis surat atau mengirimkan SMS pada orang yang berasal dari etnis Jawa, boleh dikatakan hampir mustahil dilakukan oleh orang Madura, demikian juga sebaliknya.

A.2 Status Bahasa

Faktor ke dua yaitu status, mengacu pada definisi Appel dan Muysken yang menyatakan bahwa alih bahasa terjadi karena status bahasa itu sendiri. Status ini mereka namakan sebagai  ”minority language”  atau bahasa minoritas (Gil dalam Setiawan 2001:175). Trudgill di lain pihak meyakini bahwa bahasa minoritas yang kekuatannya kecil dan peranannya tidaklah terlalu vital dalam mendukung pelaksanaan tata masyarakat sebuah negara tidak akan pernah menjadi bahasa resmi. (Trudgill dalam Setiawan 2001:175). Dan ketika bahasa ini tidak menjadi bahasa resmi, maka keberlangsungan hidup termasuk di dalamnya keberlangsungan pemakaiannya sangat sukar untuk dipertahankan. Dengan kata lain, pemakaian bahasa  ini akan semakin menyempit dan alih bahasapun tidak akan mungkin dapat dihindarkan. (Setiawan 2001:176). Hal ini sejalan dengan apa yang sedang terjadi pada bahasa Madura yang pemakaiannya mulai menyempit, dan mencakup hanya pemakaian lisan saja. Meskipun bahasa Madura digunakan secara luas oleh masyarakat Madura, namun karena bahasa ini bukanlah bahasa resmi, maka bahasa ini akan tetap menjadi bahasa minoritas. Sebagai bahasa yang tidak resmi, pemakaian bahasa Madura selalu menjadi pilihan kedua dalam berbagai kegiatan formal. Termasuk di dalamnya dalam  penyelenggaraan kegiatan pendidikan di sekolah.

Tidak digunakannya bahasa Madura di sekolah menjadi inti dari permasalahan absennya bahasa Madura dalam tulisan. Kemampuan menulis adalah produk dunia pendidikan. Kemampuan ini didapatkan dari serangkaian proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Berhubung proses pembelajaran ini resmi, maka bahasa pengantarnyapun adalah bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia. Karena bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia, maka materi yang siswa baca dan siswa tulis adalah materi yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Kegiatan mendengar, berbicara, membaca dan menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia ini dilakukan selama bertahun lamanya sehingga akhirnya proses panjang ini menjadi sebuah kebiasaan. Ketika mereka diminta berbicara, maka mereka akan berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ketika mereka diminta untuk memilih bacaan, mereka akan memilih bacaan yang berbahasa Indonesia. Dan ketika mereka diminta menulispun, mereka akan menuliskan kalimat berbahasa Indonesia dengan menggunakan huruf alfabet dan tidak menggunakan sistem ha na ca ra ka, sebuah sistem tulisan yang dipakai orang Madura kuno. Kebiasaan ini membentuk pola tersendiri dalam masyarakat, dan sepertinya sangat jarang dijumpai ada orang yang lebih memilih menulis sesuatu dengan menggunakan bahasa Madura daripada bahasa Indonesia. Andaikata ada orang seperti ini, yaitu menulis dengan menggunakan bahasa Madura, maka dapat dipastikan bahwa kegiatan ini dilatar belakangi oleh tujuan tertentu, semisal mengerjakan tugas muatan lokal bahasa daerah yang didapat dari sekolah, menuliskan kata sambutan dalam acara budaya Madura, membuat spanduk yang intinya menarik masyarakat Madura melakukan sesuatu, dan sekedar promosi produk barang.

Keengganan masyarakat Madura untuk menulis sesuatu dengan menggunakan bahasa Madura, dan minimnya tulisan-tulisan berbahasa Bahasa Madura yang beredar di masyarakat ternyata menimbulkan masalah baru. Masalah ini berhubungan dengan kemampuan mereka untuk memahami teks yang ditulis dengan menggunakan bahasa Madura. Mereka  lama tidak bersinggungan dengan tulisan berbahasa Madura dan apabila suatu ketika mereka berhadapan dengan teks seperti itu, mereka akan butuh waktu untuk memahami sebuah teks tersebut. Sebuah kalimat na’ kana’ rowa raja akan sulit dipahami maknanya oleh masyarakat Madura karena mereka tidak terbiasa membaca tulisan seperti ini. Selain itu, kata raja yang ada dalam teks ini juga bermakna ambigu karena merepresentasikan dua makna yang berbeda, tergantung cara pelafalan kata tersebut.  Raja dalam kalimat ini bisa dibaca  /r ? d j ? h/ yang artinya besar dan     /r ? d j ?/ yang artinya raja. Kesulitan ini diperparah dengan adanya kekurangjelasan pola penulisan bahasa Madura. Pola yang dimaksud disini adalah tata cara penulisan kata dalam bahasa Madura yang disepakati dan dikenal luas oleh seluruh Masyarakat Madura. Permasalahan inilah yang kemudian membuat masyarakat Madura enggan menulis sesuatu dengan menggunakan bahasa Madura, dan sebagai konsekuensinya, bahasa Madura secara lambat laun absen dalam tulisan. Permasalahan ini bisa diibaratkan sebagai lingkaran setan yang tidak berujung dan tidak berpangkal.

Tulisan bersambung:

  1. Ketika Bahasa Madura Tidak Lagi Bersahabat dengan Kertas dan Tinta
  2. Eksistensi dan Fenomena Bahasa Madura
  3. Bahasa Madura Pelingdung Bahasa Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.